Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Aroma Feodal yang Mulia

18/11/2024 05:00
Aroma Feodal yang Mulia
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

AROMA kolonial tidak hanya tercium dari istana buatan Belanda. Sebutan berbau kolonial, bahkan feodal sekalipun, masih sadar dilestarikan hingga kini.

Istana berbau kolonial diungkapkan Joko Widodo, Presiden Ke-7 RI, pada 13 Agustus 2024. Jokowi memberikan pengarahan kepada para kepala daerah di Istana Negara Ibu Kota Nusantara. Jokowi yang selama 10 tahun menghuni Istana Bogor mengatakan dirinya dibayang-bayangi, setiap hari merasakan bau-bau kolonial.

Bau kolonial yang sangat subjektif itulah salah satu alasan yang mendasari Jokowi membangun Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur. Amat disayangkan Jokowi tidak tergerak penciumannya untuk menghentikan sebutan yang berbau kolonial.

Ada tiga sebutan yang resmi dinyakan berbau kolonial dan feodal, yaitu paduka yang mulia, paduka tuan, dan yang mulia. Dua sebutan yang pertama sudah tidak dipakai lagi dalam acara resmi. Sebutan yang mulia masih lestari hingga kini, terutama dalam persidangan di pengadilan.

Sudah 74 tahun keberadaan peraturan perundang-undangan yang secara resmi memutuskan untuk tidak menggunakan istilah paduka yang mulia, paduka tuan, dan yang mulia. Ada keputusan perdana menteri pada 1950 dan ada pula ketetapan MPRS pada 1966.

Perdana Menteri Abdul Halim belum genap sebulan menjabat. Pada 10 Februari 1950, Halim mengeluarkan surat bernomor 657/50 perihal penghapusan sebutan-sebutan. Halim menjabat perdana menteri pada 16 Januari 1950 hingga 5 September 1950.

Isi surat Halim yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri itu ialah menggantikan sebutan paduka yang mulia, yang mulia, dan paduka tuan dengan saudara. Kemudian Mendagri meneruskan surat itu kepada seluruh kepala daerah.

Alasan yang dikemukakan Halim sangat menarik. Menurut dia, sebutan paduka yang mulia, yang mulia, dan paduka tuan merupakan suatu rintangan yang menjauhkan rakyat dari pemimpin mereka. Padahal, kata dia, suasana kekeluargaan dan persaudaraan yang diinginkan untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Dalam surat itu, Halim menyatakan bahwa terkait dengan percakapan dengan seseorang yang di dalam masyarakat pantas dihormati karena kedudukan atau umurnya, dapat juga dipergunakan sebutan bapak (pak) atau ibu (bu). “Perlu juga ditegaskan di sini, bahwa tindakan ini hanya menuju ke dalam, artinya terhadap luar Republik Indonesia, hendaknya tetap dipergunakan sebutan-sebutan yang lazim dipakainya.”

Satu dekade kemudian giliran MPRS mengeluarkan ketetapan bernomor XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan Paduka yang Mulia (PYM), Yang Mulia (YM), Paduka Tuan (PT) dengan Sebutan Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari.

Alasan utama penggantian sebutan itu tertuang dalam poin menimbang di dalam ketetapan tersebut. “Bahwa untuk mewujudkan kembali kepribadian bangsa secara konsekuen berdasarkan Pancasila dan untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme serta kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, perlu menetapkan dalam bentuk Ketetapan MPRS penggantian sebutan ‘Paduka yang Mulia, Yang Mulia, Paduka Tuan menjadi Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari’.”

Ketetapan MPRS itu sudah berjalan 58 tahun dan selama itu pula bangsa ini pura-pura melupakan kewajiban untuk menjalankannya. Status Tap XXXI/MPRS/1966 ialah tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Status itu tertuang dalam Pasal 6 Tap I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

Sebutan paduka yang mulia dan paduka tuan sudah tidak pernah dipakai lagi dalam kegiatan resmi. Hanya sebutan yang mulia dilestarikan dalam sidangan di pengadian. Bahkan di luar pengadilan, hakim dan hakim yang sudah pensiun masih dipanggil yang mulia.

Sungguh ironis para hakim bangga dengan panggilan yang mulia meski sebutan itu berbau kolonialisme dan feodalisme. Kini, dalam persidangan terkait dengan etik pun, diresmikan sebutan yang mulia seperti di persidangan Majelis Kehormatan DPR. Setelah banyak hakim masuk bui, muncul gugatan sebutan yang mulia itu.

Sepucuk surat dilayangkan ke Mahkamah Agung (MA) pada 17 Juni 2020. Isi surat bernomor 01/Kppha/VI/2020 cukup menggelitik karena menggugat sebutan yang mulia untuk hakim.

Gugatan itu menyedot perhatian karena surat dilayangkan Pengurus Kerukunan Keluarga Purnabakti Hakim Agung (KKPHA) dan Persatuan Hakim Indonesia (Perpahi). Surat diteken ketua mereka, Harifin A Tumpa, yang notabene Ketua MA periode 2009-2012.

Predikat yang mulia bagi hakim, menurut Tumpa, tidak mencerminkan antara kenyataan dan perbuatan yang mereka lakukan. Predikat yang mulia memantik sindiran di masyarakat sehingga tidak layak diterapkan kepada para hakim.

Gugatan yang mulia masih berlangsung hingga kini. Teranyar ialah gugatan dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Ia menulis di status aplikasi X pada 7 November 2024 dengan judul Yang Mulia atau Yang Memalukan.

Ganti saja sebutan hakim yang mulia dengan yang terhormat saudara hakim sesuai dengan Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.06.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang Sidang. Pasal 13 peraturan tertanggal 16 Desember 1983 itu menyatakan penyebutan bagi hakim dan penuntut umum dalam persidangan ialah yang terhormat saudara hakim dan yang terhormat saudara penuntut umum.

Sebutan yang terhormat saudara hakim jauh lebih elegan ketimbang hakim yang mulia berbau kololialisme dan feodalisme. Toh, presiden saja dalam sidang resmi di MPR/DPR disapa yang terhormat saudara presiden, tidak pernah disapa yang mulia presiden.



Berita Lainnya
  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima

  • Keabadian Mahaguru

    22/7/2025 05:00

    IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.

  • Macan Kertas Pertimbangan MK

    21/7/2025 05:00

    ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.  

  • Debat Tarif Trump

    19/7/2025 05:00

    MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka? 

  • Jokowi dan Agenda Besar

    18/7/2025 05:00

    PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.

  • Obral Komisaris

    17/7/2025 05:00

    SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).

  • Uni Eropa, Kami Datang...

    16/7/2025 05:00

    Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.

  • Aura Dika

    15/7/2025 05:00

    TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.