Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
SUATU hari di pertengahan 1993, saya datang ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Tanpa membuat janji, saya nekat datang ke Fisipol UGM untuk menemui sang dekan, Ichlasul Amal. Saya berniat mengundangnya sebagai pembicara untuk sebuah diskusi di Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, tempat saya menjadi ketua panitia diskusi.
Ketika melihat tampangnya yang selalu tersenyum, saya yakin Pak Ichlasul Amal tidak akan tersinggung walau saya nekat menemuinya, tanpa janjian. Apa yang jadi 'prasangka baik' saya terbukti. Saat ketemu di selasar, saya cegat dia. "Pak, bolehkah saya bicara?" tanya saya yang dijawab dengan senyum ramah sembari menggamit pundak saya dan diajak ke ruangannya.
Saat saya memperkenalkan diri bahwa saya bukan mahasiswa UGM, melainkan UNS, ekspresi mukanya tidak berubah. Pak Ichlasul justru menyambut kami dengan hangat. Menyediakan minuman teh 'ginasthel' (legi, panas, kenthel), malah.
Singkat cerita, saya menyampaikan maksud kedatangan saya yang memintanya menjadi narasumber diskusi yang kalau tidak salah temanya Masa depan politik Orde Baru. Bukan perkara mudah membuat diskusi yang menyerempet bahaya. Diskusi 'pinggir jurang' kata para komedian tunggal kini.
Namun, Pak Ichlasul dengan senyumnya yang mengembang menyatakan bersedia. "Insya Allah saya akan datang," katanya yang membuat saya amat lega.
Bagi Pak Ichlasul Amal, kampus ialah mimbar akademik. Tempat bersemainya macam-macam pikiran. Alih-alih dihindari, ia justru mesti dipupuk. Baginya, membicarakan tema politik Orde Baru tidak haram kendati risikonya bisa dibubarkan intelijen. Pada saat itu, intelijen ialah momok bagi mereka yang bernyali ciut.
Karena nyali saya juga agak ciut, saya minta saran bagaimana sebaiknya isi pembicaraan dalam diskusi nanti. Apakah perlu 'disesuaikan' dosisnya? Atau malah digas saja tanpa kompromi? Sembari terkekeh, Pak Ichlasul malah tanya, "Umur kamu berapa?" Yang saya jawab, "Umur saya 22 tahun lewat sekian bulan."
Lalu, Pak Ichlasul bilang, "Umur segitu biasanya lagi garang-garangnya. Kok, kamu malah mikir dosis dan penyesuaian segala? Sudah, mengalir saja nanti. Kampus itu tempat menyemai beragam pikiran."
Diksi 'mengalir' memang kerap disampaikan santri kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 1 Agustus 1942, itu. Termasuk saat ditanya cita-citanya ketika kecil. "Saya tidak punya cita-cita spesifik di tengah banyak anak di kampung saya terpincut menjadi pedagang. Saya mengalir saja," kata dia dalam sebuah kesempatan.
Yang saya kagum dari sosok yang bersahaja ini ialah mental bajanya. Ia punya mentalitas petarung dan berani meski dengan mimik muka tersenyum (oleh sejumlah orang, mimik muka banyak senyum kerap dianggap penakut). Namun, di balik keramahan dan senyum yang selalu mengembang ada 'keberanian' yang bahkan tidak dimiliki orang-orang yang suka menggertak dan bermuka garang.
Saat menjadi pembicara dalam diskusi itu, Pak Ichlasul Amal dengan gamblang menjelaskan rezim otoriter di mana-mana akan 'dilumat' sejarah. Pun Orde Baru, katanya, akan selesai ketika tunas-tunas muda yang kritis akan bergerak bersama-sama. Ia menyampaikan narasi yang galak itu tetap dengan nada kalem, cool.
Itulah strategi khas Ichlasul Amal, putra seorang penggerak Masyumi di kampungnya. Satu hal yang amat sulit ditiru dari seorang Ichlasul Amal ialah ia mampu menyampaikan kritik tajam tanpa membuat pihak yang dikritik marah. Selain itu, Ichlasul Amal bukan sosok yang baperan dan mudah tersinggung.
Ia, misalnya, tidak pernah mempersoalkan honorarium saat menjadi pembicara. Bahkan, bila yang menyelenggarakan acara ialah para mahasiswa, Ichlasul Amal kerap mengikhlaskan honor itu. Ia tidak mau menerima, bahkan ia kembalikan kepada panitia.
Seorang mantan wartawan Masa Kini Hamid Basyaib punya kisah bagaimana Pak Ichlasul ini bukan pribadi yang baperan. Suatu hari, Duta Besar Australia di Jakarta, Richard Woolcott, akan menghadiri suatu acara budaya di Yogyakarta dan Hamid ingin mewawancarainya tentang isu politik yang sedang hangat antara Australia dan Indonesia.
"Tapi bagaimana cara terbaik mewawancarainya? Apa saja yang harus saya tanyakan? Pengetahuan saya tentang politik Australia hampir nol, pemahaman tentang sumber-sumber konflik antara Indonesia dan Australia tak kalah besar nolnya," kata Hamid.
Karena itu, di pertengahan 1980-an itu, ia mendatangi rumah Ichlasul Amal, dosen Fisipol UGM, yang belum lama lulus dari Universitas Monash, Melbourne. Itu cara instan untuk mendapatkan bahan-bahan dasar, di tengah kesulitan memperoleh material yang ia butuhkan kala itu.
Pak Ichlasul Amal menerima Hamid dengan senang hati kendati sudah diberi tahu bahwa kedatangannya itu bukan untuk mewawancarainya, melainkan untuk 'kursus kilat gratis' mencari bahan-bahan wawancara buat sang dubes. Ia tidak marah. Ekspresinya tetap dengan sunggingan senyum dan tetap antusias untuk berbagi.
Begitulah Pak Amal, ia punya mentalitas luar biasa untuk sekadar tersinggung atau baper. Ia pemberani dalam keramahan dan senyumnya. Kekaguman saya pada sosoknya saya abadikan dalam nama anak bungsu saya.
Hingga Kamis, 14 November 2024 pekan ini, saya menerima kabar duka. Pak Amal wafat dengan meninggalkan seluruh kebaikannya, keramah-tamahannya, keberaniannya, dan amal-amal saleh lainnya. Insya Allah husnulkhatimah, Pak Amal.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved