Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Mental Ichlasul Amal

16/11/2024 05:00
Mental Ichlasul Amal
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

SUATU hari di pertengahan 1993, saya datang ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Tanpa membuat janji, saya nekat datang ke Fisipol UGM untuk menemui sang dekan, Ichlasul Amal. Saya berniat mengundangnya sebagai pembicara untuk sebuah diskusi di Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, tempat saya menjadi ketua panitia diskusi.

Ketika melihat tampangnya yang selalu tersenyum, saya yakin Pak Ichlasul Amal tidak akan tersinggung walau saya nekat menemuinya, tanpa janjian. Apa yang jadi 'prasangka baik' saya terbukti. Saat ketemu di selasar, saya cegat dia. "Pak, bolehkah saya bicara?" tanya saya yang dijawab dengan senyum ramah sembari menggamit pundak saya dan diajak ke ruangannya.

Saat saya memperkenalkan diri bahwa saya bukan mahasiswa UGM, melainkan UNS, ekspresi mukanya tidak berubah. Pak Ichlasul justru menyambut kami dengan hangat. Menyediakan minuman teh 'ginasthel' (legi, panas, kenthel), malah.

Singkat cerita, saya menyampaikan maksud kedatangan saya yang memintanya menjadi narasumber diskusi yang kalau tidak salah temanya Masa depan politik Orde Baru. Bukan perkara mudah membuat diskusi yang menyerempet bahaya. Diskusi 'pinggir jurang' kata para komedian tunggal kini.

Namun, Pak Ichlasul dengan senyumnya yang mengembang menyatakan bersedia. "Insya Allah saya akan datang," katanya yang membuat saya amat lega.

Bagi Pak Ichlasul Amal, kampus ialah mimbar akademik. Tempat bersemainya macam-macam pikiran. Alih-alih dihindari, ia justru mesti dipupuk. Baginya, membicarakan tema politik Orde Baru tidak haram kendati risikonya bisa dibubarkan intelijen. Pada saat itu, intelijen ialah momok bagi mereka yang bernyali ciut.

Karena nyali saya juga agak ciut, saya minta saran bagaimana sebaiknya isi pembicaraan dalam diskusi nanti. Apakah perlu 'disesuaikan' dosisnya? Atau malah digas saja tanpa kompromi? Sembari terkekeh, Pak Ichlasul malah tanya, "Umur kamu berapa?" Yang saya jawab, "Umur saya 22 tahun lewat sekian bulan."

Lalu, Pak Ichlasul bilang, "Umur segitu biasanya lagi garang-garangnya. Kok, kamu malah mikir dosis dan penyesuaian segala? Sudah, mengalir saja nanti. Kampus itu tempat menyemai beragam pikiran."

Diksi 'mengalir' memang kerap disampaikan santri kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 1 Agustus 1942, itu. Termasuk saat ditanya cita-citanya ketika kecil. "Saya tidak punya cita-cita spesifik di tengah banyak anak di kampung saya terpincut menjadi pedagang. Saya mengalir saja," kata dia dalam sebuah kesempatan.

Yang saya kagum dari sosok yang bersahaja ini ialah mental bajanya. Ia punya mentalitas petarung dan berani meski dengan mimik muka tersenyum (oleh sejumlah orang, mimik muka banyak senyum kerap dianggap penakut). Namun, di balik keramahan dan senyum yang selalu mengembang ada 'keberanian' yang bahkan tidak dimiliki orang-orang yang suka menggertak dan bermuka garang.

Saat menjadi pembicara dalam diskusi itu, Pak Ichlasul Amal dengan gamblang menjelaskan rezim otoriter di mana-mana akan 'dilumat' sejarah. Pun Orde Baru, katanya, akan selesai ketika tunas-tunas muda yang kritis akan bergerak bersama-sama. Ia menyampaikan narasi yang galak itu tetap dengan nada kalem, cool.

Itulah strategi khas Ichlasul Amal, putra seorang penggerak Masyumi di kampungnya. Satu hal yang amat sulit ditiru dari seorang Ichlasul Amal ialah ia mampu menyampaikan kritik tajam tanpa membuat pihak yang dikritik marah. Selain itu, Ichlasul Amal bukan sosok yang baperan dan mudah tersinggung.

Ia, misalnya, tidak pernah mempersoalkan honorarium saat menjadi pembicara. Bahkan, bila yang menyelenggarakan acara ialah para mahasiswa, Ichlasul Amal kerap mengikhlaskan honor itu. Ia tidak mau menerima, bahkan ia kembalikan kepada panitia.

Seorang mantan wartawan Masa Kini Hamid Basyaib punya kisah bagaimana Pak Ichlasul ini bukan pribadi yang baperan. Suatu hari, Duta Besar Australia di Jakarta, Richard Woolcott, akan menghadiri suatu acara budaya di Yogyakarta dan Hamid ingin mewawancarainya tentang isu politik yang sedang hangat antara Australia dan Indonesia.

"Tapi bagaimana cara terbaik mewawancarainya? Apa saja yang harus saya tanyakan? Pengetahuan saya tentang politik Australia hampir nol, pemahaman tentang sumber-sumber konflik antara Indonesia dan Australia tak kalah besar nolnya," kata Hamid.

Karena itu, di pertengahan 1980-an itu, ia mendatangi rumah Ichlasul Amal, dosen Fisipol UGM, yang belum lama lulus dari Universitas Monash, Melbourne. Itu cara instan untuk mendapatkan bahan-bahan dasar, di tengah kesulitan memperoleh material yang ia butuhkan kala itu.

Pak Ichlasul Amal menerima Hamid dengan senang hati kendati sudah diberi tahu bahwa kedatangannya itu bukan untuk mewawancarainya, melainkan untuk 'kursus kilat gratis' mencari bahan-bahan wawancara buat sang dubes. Ia tidak marah. Ekspresinya tetap dengan sunggingan senyum dan tetap antusias untuk berbagi.

Begitulah Pak Amal, ia punya mentalitas luar biasa untuk sekadar tersinggung atau baper. Ia pemberani dalam keramahan dan senyumnya. Kekaguman saya pada sosoknya saya abadikan dalam nama anak bungsu saya.

Hingga Kamis, 14 November 2024 pekan ini, saya menerima kabar duka. Pak Amal wafat dengan meninggalkan seluruh kebaikannya, keramah-tamahannya, keberaniannya, dan amal-amal saleh lainnya. Insya Allah husnulkhatimah, Pak Amal.



Berita Lainnya
  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik