Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Kisah kian Resah Kelas Menengah

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
31/7/2024 05:00
Kisah kian Resah Kelas Menengah
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(Ebet)

TULISAN ini merupakan episode ke sekian yang membahas kelas menengah. Saya bilang ke sekian karena saya belum sempat menghitungnya kembali. Pokoknya, sering. Saya tertarik untuk terus-terusan mengulik soal kelas menengah karena ada pandangan berbeda antara data yang disajikan ekonom dari sejumlah lembaga ekonomi dan keyakinan pemerintah.

Sejumlah ekonom mencatat terjadi penurunan proporsi jumlah kelas menengah di Indonesia setelah pandemi covid-19. Menurut data dari Bank Mandiri, proporsi kelas menengah RI pada 2019 masih mencapai 21% dari populasi. Namun, jumlah itu merosot pada 2023, alias seusai pandemi, menjadi 17%. Angka penurunan yang 4% jelas tidak menyenangkan bagi pemerintah yang merasa sudah pontang-panting menjaga daya beli demi mempertahankan pertumbuhan ekonomi minimal 5% per tahun.

Sejalan dengan penurunan jumlah kelas menengah itu, masyarakat yang masuk kelompok calon kelas menengah, atau aspiring middle class (AMC) juga naik. Begitu pun proporsi kelas rentan juga ikut naik. Pergeseran itu diduga terjadi karena banyak warga kelas menengah yang jatuh miskin setelah berbagai hantaman yang terjadi selama pandemi covid-19.

Namun, pemerintah tidak yakin terjadi penurunan kelas menengah. Seperti yang disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Ia menilai saat pandemi, banyak masyarakat yang beralih bekerja secara daring. Dia mencontohkan banyak anak muda yang saat ini bekerja secara jarak jauh di Singapura. Jadi, Suharso menyimpulkan, bukan berarti mereka yang tadinya kelas menengah kini jatuh miskin.

Menurut Suharso, keyakinannya itu bisa dikonfirmasi baik secara kasatmata maupun via data-data perekonomian lainnya. Dia mengatakan data kemiskinan yang dirilis BPS menunjukkan jumlah warga miskin di Indonesia tidak naik. Jumlah warga yang miskin juga turun. Begitu pun data pengangguran terbuka di Indonesia yang terus berkurang.

Namun, saya, kok, skeptis dengan keyakinan pemerintah itu. Saya justru melihat sejumlah data yang beruntun muncul akhir-akhir ini kian mengonfirmasikan bahwa ada masalah serius dengan kelas menengah kita. Pekan lalu, saya memotret kerisauan seorang teman yang merasa sudah 'bermigrasi' kelas tahun ini, dari yang tadinya 'gongahwah' menuju 'gongahwah'. Gongahwah yang pertama ialah golongan menengah agak mewah. Gongahwah yang terakhir ialah golongan menengah terbawah.

Apalagi setelah sejumlah analis dan ekonom menilai kondisi kelas menengah Indonesia benar-benar dalam keadaan serbasulit. Tabungan mereka mulai terkikis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, di sisi lain mereka juga terjerat oleh pinjaman. Data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia pada Mei lalu menunjukkan porsi cicilan pinjaman terhadap pendapatan meningkat pada hampir semua tingkat pengeluaran responden.

Untuk kelompok pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta per bulan, porsi dana yang dipakai untuk membayar cicilan dari pendapatan mereka meningkat, dari 7,1% ke 7,3%. Begitu juga untuk kelompok pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta per bulan, porsi bayar cicilan dari pendapatan mereka naik dari 9,2% ke 10,2%.

Warga kelas menengah yang masuk kelompok pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta per bulan menunjukkan porsi cicilan mereka melonjak dari 10,3% ke 11,2% dari pendapatan. Lonjakan pembayaran cicilan juga tercatat terjadi pada kelompok pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta yang naik dari 12,3% ke 12,9%. Hanya golongan paling atas dengan pengeluaran di atas Rp5 juta per bulan yang porsi cicilannya menciut dari 14,9% ke 13,9%.

Data-data itu, kok, rasanya cukup untuk menilai bahwa kelas menengah sedang terjepit oleh berbagai iuran dan pengeluaran kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Akibatnya, jumlah pinjaman ikut meningkat. Terjadi tren penurunan dari sisi tabungan, tapi muncul kenaikan pinjaman yang membuat cicilan juga membengkak.

Saya menduga kenaikan pinjaman ini terjadi karena pendapatan masyarakat yang habis untuk konsumsi sehari-hari. Hal tersebut membuat kelas menengah mulai menggunakan tabungan mereka dan melakukan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

Gejala itu terekam dalam data Mandiri Spending Index (MSI) yang menunjukkan porsi belanja kebutuhan pokok atas pendapatan masyarakat kita tahun ini meningkat, dari 13,9% tahun lalu menjadi 27% di semester I tahun ini. Itu artinya, 'ruang fiskal' kelas menengah kita tidak terlalu memadai untuk mendanai kebutuhan-kebutuhan di luar kebutuhan dasar.

Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menegaskan kian terjepitnya kelas menengah. Data itu menunjukkan tidak semua masyarakat yang mengambil cicilan mampu membayar cicilan itu. Pada sektor cicilan kendaraan bermotor, OJK mencatat rasio pembiayaan bermasalah atau non-performing financing (NPF) industri multifinance terus naik pada tahun ini. Hal itu diikuti pula dengan melambatnya pertumbuhan pembiayaan.

Lembaga pembiayaan pun mengakui belakangan ini sedang melakukan pengetatan pengajuan kredit. Alasannya, mereka menganggap daya beli masyarakat saat ini semakin rendah. Karena itu, tidak mengherankan bila dampaknya membuat kinerja penjualan mobil dan motor tertekan. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebut sepanjang Januari-April, penjualan mobil baru merosot 14,8% yoy. Pada periode yang sama, Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia mencatat penjualan motor baru juga turun 1,11% yoy.

Karena itu, ada baiknya bagi pemerintah untuk meneliti lagi gejala penurunan 'gongahwah' ini. Ketimbang menggenggam erat keyakinan bahwa 'kelas menengah baik-baik saja', lebih penting kiranya menimbang sejumlah solusi agar tidak terjadi penurunan kelas menengah yang kian mendalam. Itu dimaksudkan supaya kita tidak terkena Paradoks Cile: saat pertumbuhan ekonomi terlihat baik, tapi daya beli kelas menengah terus merosot. Anomali tersebut memicu instabilitas Cile.



Berita Lainnya
  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik