Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Horor Guru Honor

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
24/7/2024 05:00
Horor Guru Honor
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(Ebet)

SUATU kali, kolumnis beken Mahbub Djunaidi amat risau dengan banyaknya penghalusan bahasa yang tidak hanya digunakan para pejabat, tapi juga dipakai wartawan di sejumlah koran. Lalu, di sebuah kolom Mahbub menumpahkan unek-uneknya itu.

"Membaca koran itu bukan seperti makan lemper yang sudah pasti enaknya. Misalnya, sering kali orang melewatkan halaman depan yang memuat ucapan-ucapan aneh dan klise. Misalnya, pembaca tidak tertarik lagi dengan istilah 'penyesuaian', karena kata itu sudah pasti berarti kenaikan harga, dan bukan sebaliknya," tulis Mahbub.

"Seorang murid SD malahan punya usul yang amat progresif, bagaimana kalau lawan kata 'turun' diganti saja dengan 'sesuai' dan bukannya 'naik'," Mahbub melanjutkan sebagaimana saya nukil dari buku Asal Usul karya Mahbub.

Namun, kritik Mahbub tidak kunjung bersambut. Kian ke sini bukannya berkurang, gejala eufimisme ('penghalusan' bahasa atau tepatnya pengelabuan bahasa) itu makin merajalela. Jejaknya terasa hingga kini. Polisi lebih suka memakai istilah 'diamankan' ketimbang 'ditangkap'. Padahal, faktanya ditangkap dan belum tentu aman. Dalam beberapa kasus, ada demonstran yang tidak aman karena ditangkap.

Ada juga yang menggunakan istilah 'penertiban' pedagang untuk menggantikan 'penggusuran' meski faktanya digusur. Mereka yang 'ditertibkan' itu nyatanya malah kian tidak teratur, bahkan berjualan secara sembarangan karena kehilangan lapak setelah digusur.

Kini, yang masih hangat ialah istilah cleansing ratusan guru honorer Jakarta yang oleh Penjabat Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono dimaknai sebagai 'pemadupadanan data'. Padahal, faktanya ialah pemecatan guru-guru honor. Para guru yang terkena pembersihan itu, toh, akhirnya tidak mengajar lagi dan tidak menerima honor lagi. Jadi, apa bedanya dengan dipecat?

Beberapa daerah di Jawa Barat juga lebih senang memakai eufimisme dalam kasus pemecatan guru honorer ini. Mereka menggunakan istilah 'penggeseran' untuk sebuah tindakan pemutusan hubungan kerja alias pemecatan. Faktanya, sebagian besar guru honorer yang digeser ini 'nyemplung' ke 'kolam' pemberhentian permanen dari mengajar.

Saya, kok, jadi ikut-ikutan risau seperti Mahbub. Saya jadi bertanya-tanya, sudah sedemikian menjadi mantrakah pengelabuan bahasa yang dikenalkan Orde Baru? Bahasa yang sudah diintervensi kepentingan politik praktis seperti itu amat potensial menjadi alat hegemoni politik kekuasaan.

Saya lalu ingat pernyataan penyair Zawawi Imron soal bahasa. Kata Zawawi, bahasa memiliki daya magisnya sendiri. Zawawi mengisahkan Presiden Pertama RI Sukarno pernah mengenang puisi fenomenal Chairil Anwar berjudul Aku, sebagai contoh daya magis itu.

Bung Karno pernah mengatakan, "Saudara-saudara sebangsa, setanah air, salah seorang penyair kita, Chairil Anwar namanya, mengatakan 'aku mau hidup seribu tahun lagi'. Aku kagum kepada kalimat ini saudara," kata Bung Karno.

Dari puisi Chairil pun, Sukarno juga ingin hidup seribu tahun lagi. Sukarno yakin bahwa cita-cita kemerdekaan akan hidup 100 tahun lagi. Kalimat itu terus digaungkan Bung Karno. Itu artinya, kata-kata tidak sekadar formal, tapi mampu memotivasi kehausan atau dahaga masyarakat yang memang membutuhkan kalimat inspiratif dari para pemimpin.

Para empu kebudayaan dan ahli bahasa pun menyarankan agar bahasa yang inspiratif dan penuh hikmah muncul dari para pemimpin. Apa yang membuat bahasa hari ini terkesan begitu kaku ialah bahasa hanya digunakan sebagai alat komunikasi. Lebih parah lagi, bahasa digunakan sebagai pengelabuan demi citra diri agar terkesan positif.

Selain sebagai alat komunikasi, bahasa mestinya berfungsi sebagai penyambung rasa keindahan antara satu dan yang lain. Jadi, bila dari mulut pemimpin keluar bahasa inspiratif, kalimat empati, juga motivasi, ia melahirkan energi. Kalau seorang sakit, yang satu punya rasa simpati dengan merasa bahwa 'yang tertusuk padamu, berdarah padaku'.

Hari-hari ini, bagian terbesar dari rakyat menengah ke bawah tengah diimpit masalah ekonomi. Di tengah ketidakpastian ekonomi, mereka masih menghadapi tekanan ketidakpastian pekerjaan, termasuk para guru honorer. Tanggung jawab negara ialah menyediakan pekerjaan.

Janganlah pula karena ketidakmampuan menyediakan pekerjaan, mengelabui mereka dengan eufimisme bahasa. Mereka yang digeser mestinya ditampung ke tempat lain, bukan malah dibiarkan digeser ke pinggir lalu dibiarkan nyemplung ke jurang karena enggak ada pagar.

Pun dengan penggunaan istilah cleansing atau pembersihan guru honorer, secara tidak sadar (atau memang sadar?) menganggap bahwa para pendidik itu ialah sampah yang mengganggu sehingga mesti dibersihkan. Jangan begitu, ah. Istilah itu amat sadis dan horor buat guru honor.



Berita Lainnya
  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik