Headline

Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.

Kelas Menengah masih Resah

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
22/5/2024 05:00
Kelas Menengah masih Resah
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(Ebet)

APA enaknya jadi kelas menengah di Indonesia? Mayoritas kelas menengah saya duga akan menjawab: ndak tahu. Jawaban itu jujur. Karena, pertanyaan dengan menggunakan kata 'enak' memang berhubungan dengan apa yang dirasakan dan dialami. Sedangkan kaum menengah di negeri ini lebih sering dalam kondisi 'terjepit' dan belum banyak menikmati keuntungan, kecuali gengsi status.

Bahkan, kian ke sini, kondisi kelas menengah Indonesia semakin terjepit dan tertekan. Kenaikan harga pangan yang memicu inflasi, misalnya, membuat kelas menengah yang mestinya sudah naik level ke kelompok yang tidak terlalu risau dengan kebutuhan dasar, menjadi turun level ke kelompok yang meresahkan kebutuhan dasar.

Inflasi harga pangan membuat penghasilan mereka habis untuk membeli makanan dan minuman. Sebagian dari mereka bahkan menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka yang mulai 'mantab' (makan tabungan) sejak akhir pandemi, semakin 'mantab' sejak inflasi harga pangan itu.

Data Mandiri Spending Index (MSI) yang baru dirilis mengonfirmasi hal itu. Di data itu disebutkan bahwa pengeluaran masyarakat saat ini lebih terarah pada kebutuhan yang terkait dengan supermarket. Mayoritas kebutuhan yang terkait dengan supermarket itu berhubungan dengan belanja makanan dan minuman.

Data MSI menunjukkan porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk kebutuhan makan dan minum pada hampir paruh pertama tahun 2024 melonjak tinggi jika dibandingkan dengan tahun lalu. Pada Januari 2023, porsi penghasilan yang digunakan untuk membeli kebutuhan primer masih 13,9%. Ketika konsumsi makanan melonjak pada bulan puasa dan Lebaran 2023, porsi penghasilan yang digunakan untuk makanan juga masih di angka 16,6%.

Namun, pada Mei 2024, porsi penghasilan masyarakat yang dipakai untuk kebutuhan makan dan minum naik hingga 26%. Itu artinya naik dua kali lipat. Itu juga menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia semakin banyak mengalokasikan penghasilan mereka untuk kebutuhan sehari-hari. Hal itu bisa terjadi karena harga-harga bahan pokok naik, pada saat yang sama pendapatan masyarakat segitu-segitu saja. Maka, level kelas menengah kita pun merosot, bukan lagi memenuhi kebutuhan sekunder, apalagi tersier, melainkan berkutat di urusan primer.

Nasib kelas menengah makin terjepit karena mereka mesti bertarung sendiri untuk bisa kembali naik level. Sebab, bila yang terkena dampak kenaikan harga bahan pokok kelas bawah, pemerintah bisa dengan mudah membantu mereka dengan membagikan bantuan sosial. Adapun kelompok kelas atas sejauh ini tidak terlalu terkena dampak inflasi harga pangan karena level mereka yang sudah terlampau tinggi.

Tapi, siapa yang memedulikan kelompok menengah terkait dengan jepitan naiknya harga-harga? Mau meminta bansos, rasa-rasanya sudah tidak pantas. Berharap mendapatkan insentif, dianggap belum berada di lingkaran yang patut tersentuh insentif. Maka, nasib mereka seperti telur dalam makanan sandwich yang dijepit roti pada bagian atas dan bawah.

Data simpanan masyarakat di bank, sebagaimana yang pernah dirilis oleh Lembaga Penjamin Simpanan maupun Bank Indonesia, juga menunjukkan tabungan kelompok masyarakat terbawah sempat turun ketika harga makanan pokok naik. Namun, belakangan angka itu melandai seiring dengan pengucuran bantuan sosial dari pemerintah. Sebaliknya, untuk kelompok menengah, simpanan mereka kian tergerus dengan tabungan yang terus berkurang.

Kondisi itu jauh berbeda bila dibandingkan dengan tabungan kelas atas yang jumlahnya justru naik, plus daya beli yang terjaga. Tabungan kelompok atas ini ditopang oleh pendapatan dari investasi yang mereka lakukan di saham maupun obligasi yang masih bisa diandalkan. Kondisi-kondisi seperti itu mengingatkan saya kepada situasi 'The Chilean Paradox' yang pernah diungkapkan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri akhir tahun lalu.

Fenomena Paradoks Cile adalah situasi yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi yang relatif terjaga atau tinggi tanpa dibarengi dengan memperhatikan dan memfasilitasi kepentingan kelas menengah. Ketika kelas menengah terus-menerus dilanda kebingungan karena pendapatan mereka merosot dan pemerintah abai, muncul ledakan sosial yang mengguncang stabilitas Cile secara amat serius.

Cile merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Negara kaya minyak itu juga berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6%, lebih baik daripada Indonesia. Meski dengan semua pencapaian moncer itu, pada Oktober 2019 meletus kerusuhan sosial yang hampir berujung pada revolusi. Peristiwa itulah yang kemudian disebut dengan istilah The Chilean Paradox. Kerusuhan terjadi justru ketika ekonomi sedang bagus-bagusnya dan kemiskinan sudah sangat sukses ditekan. Perkaranya disulut oleh kaum menengah yang lalai diperhatikan.

Pemerintah mestinya segera mencari formula mengatasi ini. Saat kelas menengah gagal memenuhi impian mereka karena tabungan yang terus-menerus dipakai kian menipis, saat keresahan terus berkecamuk, solusi cepat mesti diambil. Mereka bisa saja tidak percaya bahwa ekonomi yang tumbuh di rata-rata 5% adalah capaian terbaik di tengah ketidakpastian global.

Para 'penghuni' kelas menengah itu akan terus mempertanyakan, bila memang ekonomi membaik, mengapa kehidupan yang mereka rasakan justru sebaliknya? Kalau ekonomi kuat, mengapa banyak dari mereka justru susah meraih kenaikan pendapatan? Justru yang mereka alami, kian hari kian 'mantab' saja.



Berita Lainnya
  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima

  • Keabadian Mahaguru

    22/7/2025 05:00

    IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.