Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
BANGSA Indonesia dikenal karena kesopanannya, karena keramahannya. Bangsa ini kesohor lantaran menjunjung tata krama, meninggikan etika. Namun, itu dulu. Sekarang?
Sopan santun boleh jadi merupakan bagian dari DNA orang Indonesia. Suku apa pun, etnik apa saja, di negeri ini dikenal sopan, ramah, dan beretika dari sananya. Hal-hal yang baik itu telah menjadi karakter dalam melakoni hidup sehari-hari. Orang Sunda, misalnya, dikenal punya karakter periang, murah senyum, lemah lembut, dan sangat menghormati orang tua.
Hidup mereka erat dengan kesopanan, keramahan. Mereka biasanya tarapti (tertib), siloka (tak membuat orang lain tersinggung), someah (sopan), dan handap asor (merendah). Sifat dan perilaku yang berkebalikan dengan semua itu dianggap pamali, tabu untuk dilakukan.
Demikian halnya dengan orang Jawa. Mereka diajari hidup dengan memegang teguh unggah-ungguh, toto kromo, dalam baik berkomunikasi maupun bersosialisasi. Sopan santun, tata susila, dan etika menjadi bagian tak terpisahkan dari mereka.
Di Sulawesi Selatan, memuliakan adat istiadat dan sopan santun kepada sesama ialah keharusan. Suku Bugis, Makassar, punya tabe yang merupakan budaya warisan leluhur untuk menghargai orang lain. Tabe ialah simbol penghormatan. Asal usulnya dari dari bahasa Sanskerta, ksantawya. Artinya salam atau maaf.
Suku Batak atau orang Indonesia Timur memang dikenal keras. Namun, percayalah hati mereka sebenarnya selembut salju dan penuh cinta. Seperti halnya orang Indonesia lainnya, mereka sopan, beretika pula.
Namun, sekali lagi, itu dulu. Sekarang, masih dimuliakankah sopan santun? Masih dijunjung tinggikah etika? Memang terlalu dini untuk membuat konklusi, terlalu prematur untuk menyimpulkan bahwa kepatuhan pada etika kian mahal, semakin langka. Namun, barangkali beragam contoh betapa semakin banyak orang yang mempertontonkan pengabaian etika bisa memberi gambaran.
Tak usah jauh-jauh kita menoleh ke belakang. Beberapa kejadian belakangan kiranya cukup untuk membuat kita gundah ihwal ke mana etika bangsa ini mengarah. Contoh pertama ditunjukkan anak muda bernama Arie Febriant. Dia bukan orang sembarangan. Dia karyawan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), salah satu BUMN papan atas idaman para calon mertua. Dia disebut-sebut lulusan UI, universitas top di negeri ini yang jadi dambaan setiap orangtua untuk anak mereka.
Dengan curriculum vitae seperti itu, Arie pasti anak pintar. Akan tetapi, kepintaran tak selalu linier dengan kesopanan. Dia menjadi samsak hujatan setelah video yang mengisahkan dirinya menabrak etika beredar di mana-mana. Dalam video yang viral, Arie dinarasikan memarkirkan mobilnya sembarangan di jalan hanya demi membeli gorengan hingga membuat kemacetan. Saat ditegur, bukannya menyadari kesalahan, bukannya meminta maaf, dia malah marah-marah. Dia bahkan meludah ke arah perempuan yang menegur.
Perilaku seperti itu jelas tidak elok, tak beretika. Lumrah publik bereaksi keras. Layak kalau perusahaan tempatnya bekerja kemudian bertindak. Pun, sudah sewajarnya jika Arie kemudian meminta maaf meski nasi telah menjadi kerak. Dia kiranya melupakan petuah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani bahwa menjadi orang berilmu memang penting, tetapi jauh lebih penting menjadi orang yang beradab.
Contoh terkini lebih parah lagi. Bukan anak muda seperti Arie, kali ini pelakunya orang tua. Dalam rekaman video, seorang bapak-bapak terlibat cekcok dengan pengendara lain. Cekcok di jalan raya memang sudah biasa. Yang tak biasa, bapak itu mengaku jenderal yang berdinas di Mabes TNI.
Semakin tak biasa, saat didesak, dia kemudian bilang kakaknya jenderal dengan menyebut nama jelas. Entah benar entah tidak nama yang terucap. Yang jelas, mobil yang dikendarai memang berpelat TNI. Usut punya usut, pelat nomor itu palsu. Bapak itu telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Sama seperti respons terhadap perilaku Arie, sang bapak yang ternyata seorang pengusaha itu dihujat habis-habisan. Dia dicap sebagai orang yang tak punya sopan santun, tak beretika, arogan, mentang-mentang. Publik marah, sangat marah, karena dia juga membawa nama TNI, institusi yang sangat mereka cintai.
Apa yang dipertontonkan Arie dan bapak itu hanyalah sedikit contoh dari banyaknya pengabaian etika. Apalagi dalam bermedia sosial. Sekadar pengingat, pada 2020 Microsoft melalui survei Digital Civility Index (DCI) menempatkan Indonesia di urutan ketiga daftar negara paling tidak sopan, di bawah Afrika Selatan dan Rusia. Mencemaskan, bukan?
Ya, kiranya kita patut cemas. Lebih-lebih lagi, etika dan adab seolah tak lagi ada harganya di hadapan para pemimpin dan calon pemimpin. Pemilu yang baru lewat menguatkan asumsi itu. Celakanya lagi, alih-alih dijauhi, orang-orang seperti itu justru didukung, diglorifikasi. Kontras betul dengan penyikapan terhadap perkara Arie dan semacamnya. Sungguh menyedihkan.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved