Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
IDUL Fitri tahun ini diliputi beragam rasa. Ada kumpulan besar kegembiraan, kebahagiaan, dan kesenangan. Namun, ada onggokan keprihatinan, bahkan kesedihan mendalam. Atmosfer kegembiraan dan kebahagiaan itu lumrah karena ratusan juta orang bertemu sanak saudara dan para sahabat.
Namun, gumpalan kesedihan mestinya berkurang dari waktu ke waktu. Orang pasti ingin 'hidup yang hidup'. Dalam bahasa Jawa, urip iku urup (hidup itu menyala dan sarat energi). Kita pasti tidak ingin hidup 'hanya menunda kekalahan'.
Melihat banyaknya kecelakaan yang merenggut korban jiwa sedikitnya 67 orang dalam lalu lintas Lebaran 2024 hingga detik ini, tentu ada yang ternodai dalam hidup. Saat melihat kemacetan di Pelabuhan Merak yang tidak terantisipasi, keprihatinan dan kemarahan menggerus kebahagiaan berlebaran.
Apatah lagi saat melihat harga pangan yang turun sebentar lalu sekonyong-konyong naik lagi, batin yang gembira bisa kembali kecut. Publik bertanya, apa iya kebahagiaan hanya seterang kunang-kunang? Ketika melihat harga-harga itu, kian kentara bahwa kebahagiaan bagi sebagian besar masyarakat selalu mesti bersabung dengan rasa waswas.
Membaca panel harian harga kebutuhan pangan akhir-akhir ini kerap membuat jantung publik berdegup kencang. Pekan ini, misalnya, beras dan cabai merah keriting menjadi komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga lagi. Pada Kamis (11/4) atau hari kedua Idul Fitri 1445 Hijriah, rata-rata harga beras naik lebih dari Rp900 per kilogram.
Berdasarkan pantauan pada Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas) pukul 07.30 WIB, Kamis, rata-rata nasional harga beras premium di tingkat eceran naik secara harian sebanyak Rp980 menjadi Rp17.340/kg, beras medium naik Rp840 menjadi Rp14.960/kg, dan cabai merah keriting naik Rp1.130 menjadi Rp52.830/kg.
Selain itu, terdapat 11 komoditas lainnya yang naik secara harian di tingkat eceran, yakni kedelai biji kering (impor), bawang merah, daging ayam ras, dan telur ayam ras. Selanjutnya, ada minyak goreng kemasan sederhana, tepung terigu, jagung makanan ternak, tongkol, bandeng, garam halus beryodium, dan tepung terigu kemasan.
Ada memang sejumlah komoditas yang turun harga. Namun, jumlahnya tidak sesignifikan komoditas yang naik. Jenis komoditas yang harganya turun juga tidak semuanya 'selevel' komoditas yang naik. Tidak 'apel dengan apel'.
Sayangnya, kita tidak mendapatkan jawaban yang memadai dari para pemangku kepentingan. Sejak menjelang Ramadan, saat Ramadan, menjelang Lebaran, saat Lebaran, hingga usai Lebaran, penjelasan Menteri Perdagangan tidak beringsut dari itu ke itu. Kata Mendag Zulkifli Hasan, 'barang tersedia dengan cukup'. Atau, kadang dengan kalimat 'jangan khawatir, panen raya segera datang, harga beras akan turun'.
Pernyataan seperti itu mengingatkan saya pada era Orde Baru, saat pemerintah gemar membiakkan eufemisme, alias penghalusan bahasa. Di pasar, harga-harga pada naik, tapi pemerintah berkata, 'itu bukan kenaikan, melainkan penyesuaian'. Penghalusan istilah dilakukan agar kegetiran tidak terlalu dirasakan. Biar kebahagiaan, walau semu dan sekejap, tetap bisa dicecap.
Ada sindiran keras dari kolumnis legendaris Mahbub Djunaidi soal penghalusan bahasa yang gemar disebar pemerintah Orde Baru ini. Dalam kolom Asal Usul, Mahbub menulis: "Membaca koran itu bukan seperti makan lemper yang sudah pasti enaknya. Misalnya, sering kali orang melewatkan halaman depan yang memuat ucapan-ucapan aneh dan klise. Misalnya, pembaca tidak tertarik lagi dengan istilah 'penyesuaian', karena kata itu sudah pasti berarti kenaikan harga, dan bukan sebaliknya. Seorang murid SD malahan punya usul yang amat progresif, bagaimana kalau lawan kata 'turun' diganti saja dengan 'sesuai' dan bukannya naik".
Kini, gejala 'menenangkan hati' publik yang gundah itu seolah direpetisi lewat pernyataan-pernyataan klise. Namun, antara pernyataan dan kenyataan masih sejauh utara dan selatan, masih sesenjang timur dan barat. Sebagian rakyat yang masih terhibur dengan datangnya Idul Fitri tidak lama lagi akan gigit jari. Mereka akan bertanya, setelah Lebaran, mau apa? Lalu, seusai Idul Fitri, bagaimana? Serampung hari raya, akan bernasib seperti apa?
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved