Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
JANGAN Ada Bansos di Antara Pilkada. Begitu barangkali jadinya bila lagu yang dipopulerkan duet Broery Marantika dan Dewi Yull, hampir tiga dekade silam, Jangan Ada Dusta di Antara Kita, dipelesetkan untuk menyindir praktik penyaluran bantuan sosial (bansos) yang amat mungkin dibelokkan demi kepentingan politik elektoral pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024, November mendatang.
Sindiran itu bukan tanpa alasan. Gara-gara politik, bansos ternodai. Contoh paling terang benderang terjadi pada Pemilu 2024. Nilai bansos yang digerojokkan menjelang pencoblosan boleh jadi merupakan yang terbesar sepanjang Republik ini berdiri. Bayangkan, total anggaran negara untuk bantuan-bantuan itu nyaris menembus setengah kuadriliun rupiah. Sayangnya, di balik pengucuran dana bansos sebesar itu, ada kepentingan nonsosial yang dikedepankan.
Bansos yang sejatinya merupakan instrumen altruisme (prinsip pengutamaan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi) teralihkan menjadi sekadar sarana untuk mendongkrak suara atau kepentingan kelompok tertentu. Bansos yang seharusnya diniatkan untuk membantu mengungkit daya beli masyarakat miskin, atau bahkan mengentaskan mereka dari kemiskinan justru dipakai untuk tujuan politik.
Betul saja, bansos pada akhirnya dianggap sukses mengubrak-abrik prediksi elektoral, terutama dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden. Jika menilik hasil akhir rekapitulasi KPU, kemarin, kelompok yang ditengarai didukung penguasa yang memiliki kuasa atas anggaran bansos, berhasil memenangi pemilu dengan skor cukup telak. Pendek kata, buat penunggang mereka, politisasi bansos kali ini sukses besar.
Di sisi lain, bansos juga dinilai punya andil membuat Pemilu 2024, seperti yang juga disuarakan berulang-ulang oleh para pakar, guru besar, mahasiswa, dan masyarakat sipil sebagai pemilu terburuk sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia. Kecurangan yang sangat masif dilakukan dari sebelum hingga pascapencoblosan, salah satunya disumbang pengucuran bansos yang beraroma politik.
Kira-kira delapan bulan dari sekarang, bangsa ini akan menyelenggarakan pilkada secara serentak. Banyak pihak cemas 'kesuksesan' kapitalisasi bansos pada Pemilu 2024 amat mungkin bakal ditiru di ajang pilkada tersebut. Kemenangan sebagai efek penggiringan bansos kiranya bisa menginspirasi calon-calon gubernur, bupati, atau wali kota untuk melakukan hal yang sama.
Jika tidak ada aturan main yang jelas, boleh jadi iming-iming bansos menjelang pelaksanaan pilkada memang bakal marak dilakukan demi menyedot suara pemilih. Pun bila para wasit pilkada, KPU, dan Bawaslu masih selemah dan seproblematik sekarang, para pemain dan penunggang bansos politik akan lebih leluasa melancarkan operasi mereka.
Belakangan KPK mulai bersuara. Mereka tegas meminta tidak ada lagi penyaluran bansos menjelang Pilkada 2024. Lembaga itu juga mengusulkan ada aturan yang melarang penyaluran bansos dan anggaran hibah, setidaknya 2-3 bulan sebelum pemilu, termasuk pilkada. Aturan itu diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas pilkada.
Agak lucu memang mengapa KPK baru sekarang memberi peringatan soal bansos. Sebelumnya, ketika bansos secara besar-besar diguyur ke masyarakat bahkan sampai menjelang hari H pemungutan suara Pemilu 2024, mereka bungkam, tidak ada suaranya. Kini giliran yang akan dilaksanakan 'hanya' selevel pilkada, mereka sejak jauh hari sudah melempar desakan dan peringatan.
Namun, saya tidak akan berprasangka apa pun. Tupoksi utama lembaga antirasuah memang bukan di ranah itu. Meski sebagian orang akan mengatakan imbauan KPK itu agak terlambat atau seharusnya disampaikan sebelum pemilu, bukan hanya saat menjelang pilkada, kiranya kita tetap mesti menghormati substansi pesan mereka.
Pesan KPK ialah jangan ada lagi penyaluran bansos menjelang pelaksanaan pesta demokrasi karena itu berpotensi mendegradasi kualitas demokrasi. Kalau sekarang saja demokrasi kita anjlok ke titik terendah akibat kelakuan elite, salah satunya dengan memolitisasi bansos, apa iya kita mau makin terperosok gara-gara ulah yang sama di pilkada nanti? Cuma keledai yang terperosok dua kali di lubang yang sama.
Cukuplah sampai di sini bansos dijadikan alat politik. Kembalikan bansos ke fungsi sebenarnya sebagai instrumen perlindungan sosial. Jangan terus dibelok-belokkan menjadi perlindungan elektoral. Ketika banyak orang sudah menyadari betapa hebatnya daya rusak politisasi bansos, sudah semestinyalah Pilkada 2024 betul-betul dijaga dari praktik jor-joran bagi-bagi bansos.
Bagilah bansos pada tempat dan waktunya. Jangan ada lagi bansos di antara pelaksanaan pilkada.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.
"LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.
SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.
HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.
ADA benarnya pernyataan Sukarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
KOPERASI itu gerakan. Ibarat klub sepak bola, gerakan koperasi itu mirip klub Barcelona. Klub dari Catalan, Spanyol, itu dari rakyat dan milik rakyat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved