Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
DEMOKRASI tanpa kepercayaan ibarat raga tanpa jiwa. Seolah hidup, tapi hakikatnya mati. Demokrasi yang dijalankan tanpa kepercayaan membuat ia sekadar ornamen, tanpa substansi.
Begitu juga, instrumen demokrasi yang dijalankan tanpa mendapat kepercayaan publik akan dipandang sebagai alat penggugur kewajiban saja. Karena aturannya harus ada instrumen itu, ya terpaksa harus diadakan. Kepercayaan ialah syarat mutlak legitimasi.
Tantangan seperti itulah yang dihadapi penyelenggara Pemilu 2024 ini. Mereka menghadapi situasi penuh ketidakpercayaan, bahkan kecurigaan secara bertubi-tubi. Sebagian besar karena mereka gagal menjelaskan secara terbuka kepada publik berbagai keganjilan, mulai aturan yang berubah-ubah, sistem yang kacau, hingga wasit yang seperti tidak menggenggam peluit dan kartu peringatan.
Dugaan kecurigaan kian menjadi-jadi terutama setelah Sistem Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) dijalankan dengan sangat amburadul. Muncullah dugaan sistem itu sengaja dibuat begitu. Ada kecurigaan suara mereka sudah dikunci di angka tertentu sehingga tidak berkembang lagi, hingga dugaan penggelembungan suara pihak tertentu.
Celakanya, penyelenggara pemilu tidak mampu menjawab berbagai kecurigaan dan tudingan dengan komunikasi yang memadai. Jawaban yang muncul malah memantik kecurigaan baru bahwa ada hal yang disembunyikan. Ketidakpercayaan juga menghinggapi wasit pemilu yang tidak kunjung meniup peluit kendati menyaksikan pelanggaran secara nyata di depan mata. Bahkan, tanpa bantuan VAR (video assistant referee) pun sudah nyata bahwa itu pelanggaran.
Saya jadi 'cemburu' kepada penyelenggaraan Pemilu 1955, pemilu pertama di Tanah Air. Ketika itu belum ada teknologi secanggih saat ini. Kala itu juga belum ada lembaga pengawas pemilu seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat ini. Namun, pemilu berjalan lancar. Tidak banyak yang berteriak curang karena memang tidak banyak ditemukan kecurangan.
Pada pelaksanaan pemilu pertama itu juga belum dikenal istilah pengawasan pemilu. Mengapa pemilu tidak bergejolak? Karena pada era tersebut terbangun trust di seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan pemilu yang dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai Konstituante.
Walaupun pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat, dapat dikatakan pemilu berlangsung dengan sangat minim kecurangan. Kalaupun ada gesekan, itu terjadi di luar wilayah pelaksanaan pemilu. Gesekan merupakan konsekuensi logis pertarungan ideologi pada saat itu. Hingga saat ini masih muncul keyakinan bahwa Pemilu 1955 merupakan pemilu di Indonesia yang paling ideal.
Kelembagaan pengawas pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu. Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan pemilu yang mulai dikooptasi kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu dilatari protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara oleh petugas pemilu pada Pemilu 1971.
Karena pelanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif, protes-protes itu lantas direspons pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan 'kualitas' Pemilu 1982.
Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Pemerintah juga mengintroduksi badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Sejak saat itu, sistem pemilu dicoba ditata. Namun, sekaligus mulai menumbuhkan benih-benih ketidakpercayaan. Padahal, kepercayaanlah yang membuat pemilu berlangsung ideal. Pemilu sebagai salah satu aspek demokrasi juga harus diselenggarakan secara demokratis sehingga bukan sekadar lambang, melainkan juga kompetitif, berkala, inklusif dan definitif.
Setidaknya terdapat tiga hal yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai apakah pemilu diselenggarakan secara demokratis atau tidak. Pertama, ada-tidaknya pengakuan, perlindungan, dan pemupukan. Kedua, terdapat persaingan yang adil dari peserta pemilu. Ketiga, terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang legitimate.
Begitulah. Ada relasi yang amat erat antara kepercayaan dan legitimasi. Tanpa kepercayaan, bisa tipis legitimasi. Semakin tebal ketidakpercayaan, semakin tipis legitimasi. Pemilu 2024 kiranya jadi pemilu paling banyak memantik kecurigaan. Apakah berarti pemilu kali ini paling tipis legitimasi?
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved