Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
DI banyak tempat, orang dilarang berisik. Obral suara ketika orang lain butuh ketenangan, tatkala situasi dan kondisi menolak kebisingan, memang tak elok dilakukan.
Di perpustakaan, berisik adalah musuh utama, barang yang paling diharamkan. Maka, tak mengherankan jika di berbagai sudutnya ditempel stiker atau papan pengumuman bertuliskan ‘Harap Tenang, Jangan Berisik’, komplet dengan ilustrasi seseorang menempelkan telunjuk di ujung bibirnya. Siapa pun yang menyambangi perpustakaan memang mendambakan ketenangan untuk konsentrasi, tak terganggu sana-sini.
Di tempat ibadah, orang juga dilarang berisik. Mereka yang datang ke rumah Tuhan butuh kekhusyukan sehingga suara-suara yang tak perlu tidak diperlukan. Pun dengan di kelas atau ruang pembelajaran. Bahkan, di lingkungan permukiman terikat hukum tak tertulis dilarang keras berisik. Kalau ada yang nekat, siap-siap saja kena damprat. Kalau tidak terima, bersiaplah ribut antartetangga.
Kenapa berisik dilarang? Salah satu alasannya terkait dengan budaya sopan santun. Di Jepang, orang yang banyak bersuara di tempat umum berarti tak punya rasa hormat kepada orang lain. Ia mengingkari budaya wa atau harmoni yang menekankan keseimbangan dan ketertiban dalam interaksi sosial.
Orang Jepang sangat meninggikan budaya itu. Di Indonesia juga. Di sini ada budaya tepo sliro, tenggang rasa, mengindahkan perasaan orang lain.
Berisik dilarang juga karena bisa merusak kesehatan baik fisik maupun mental. Dalam penelitiannya, Markus Mueller-Trapet dari Dewan Riset Nasional Kanada menyimpulkan, suara berisik dapat menyebabkan masalah kardiovaskular dan gangguan tidur. Di antara suara yang sangat mengganggu itu ialah tetangga yang berisik.
Oleh karena itu, sebisa mungkin hindarilah berisik di tempat-tempat publik, bahkan di rumah sendiri jika kira-kira bisa mengusik tetangga. Akan tetapi, sebenarnya berisik tidak selamanya buruk. Berisik terkadang baik, bahkan perlu. Orang tak boleh diam ketika situasi dan kondisi butuh suara lantang. Tujuannya, agar orang lain tetap terjaga, tidak terlena. Saat ini, negeri ini pun butuh orang-orang berisik.
Tentu, bukan berisik asal berisik, tetapi berisik yang berisi, yang berpenetrasi untuk terus mengingatkan nasib buruk demokrasi. Banyak yang berucap, demokrasi bagai kepiting dalam rebusan, dalam bahaya. Tidak sedikit yang bilang, demokrasi sedang menuju kematian lantaran manuver-manuver brutal, muslihat-muslihat jahat, di Pemilu 2024.
Tak bosan kiranya saya mengutip sejumlah kalangan bahwa pemilu kali ini adalah yang paling buruk, paling tak bermutu. Hukum dikangkangi, aturan diakal-akali, kekuasaan dikapitalisasi. Celakanya lagi, para perusak demokrasi, penabrak etika, mendapat dukungan luar biasa. Sungguh, saya tak habis pikir memikirkan pola pikir mereka.
Pada situasi itulah, orang-orang yang punya kelebihan urat leher, yang suka bersuara kencang menentang penyimpangan dibutuhkan. Terlebih ketika mereka yang semestinya menyehatkan justru membuat sakit demokrasi. Apalagi, mereka yang seharusnya sadar bahwa demokrasi butuh pertolongan darurat malah bersemangat membuatnya sekarat.
Pemilu kali ini mempertontonkan anomali, kontradiksi, inkonsistensi. Banyak yang dulu gigih, bahkan rela mempertaruhkan nyawa untuk memperjuangkan reformasi, berubah wajah. Banyak yang dulu menjadi pengingat, kini menjadi penjilat penguasa atau para calon penguasa.
Namun, pemilu kali ini juga menyuguhkan epos, wiracarita, cerita kepahlawanan. Banyak yang sejak dulu prodemokrasi, paling tidak sampai detik ini tak surut untuk terus membelanya. Rocky Gerung dan Eep Saifulloh Fatah dua di antaranya. Ada pula aktor dan aktris film dokumenter Dirty Vote: Feri Amsari, Zainal Arifin Mochtar, dan Bivitri Susanti.
Masih banyak yang lain. Para guru besar lintas universitas, umpamanya. Para aktivis demokrasi dan antikorupsi yang baru-baru ini menyurati ketua umum parpol agar seteguh karang menggulirkan hak angket penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilu, contohnya. Para demonstran di berbagai tempat menolak pemilu curang, amsalnya.
Mereka orang-orang yang suka berisik, tetapi berisik yang baik. Banyak pihak, setidaknya saya, menaruh hormat kepada mereka. Keep talking, begitu prinsip mereka. Terus bersuara, itulah komitmennya, karena ancaman terhadap demokrasi kiranya belum segera berkesudahan.
Presiden ke-44 Amerika Serikat Barack Obama pernah bilang, “Our democracy is threatened whenever we take it for granted (Demokrasi kita terancam setiap kali kita mengabaikannya).” Kita memang tak boleh abai agar demokrasi lepas dari ancaman.
Mumpung lagi bulan puasa, izinkan saya mengutip ajaran agama soal bagaimana kita seharusnya menyikapi kemungkaran. Diriwayatkan, “Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.”
Kemungkaran demokrasi sedang menjadi-jadi. Ia harus diubah, harus dihentikan, dengan segala daya upaya, termasuk dengan lisan, terus berisik, terus bersuara.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved