Headline
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.
Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.
DENGAN berseragam baju putih celana hitam, puluhan orang berbaris rapi. Mereka menjalani prosesi yang barangkali baru pertama kali ada di dunia ini. Mereka secara serempak melafalkan permintaan maaf.
Mereka bukanlah anak sekolah yang dihukum karena berbuat salah. Mereka bukan karyawan yang menjalani sanksi lantaran melakukan kekeliruan. Mereka ialah pegawai institusi yang dulu luar biasa, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sedang menjalankan hukuman dari Dewan Pengawas alias Dewas KPK.
Ke-78 orang yang meminta maaf di Gedung Juang KPK, Jakarta, Senin (26/2) itu ialah bagian dari 90 pegawai KPK yang terbukti melakukan dan menerima pungutan liar (pungli) di Rutan KPK.
Tak cuma merupakan ranting tindak pidana umum (pemerasan), pungli ialah dahan pohon sialan bernama korupsi. Begitulah, pegawai lembaga pemberantasan korupsi melakukan tindak korupsi. Ironi, lucu, juga aneh, tapi nyata.
Lebih banyol dan aneh lagi, dengan kesalahan yang begitu berat, hukuman internal yang diketok palu oleh Dewas teramat sangat ringan. Cukup minta maaf.
Orang yang bersalah layaknya memang minta maaf. Namun, minta maaf harus tulus, datang dari hati, bukan karena sanksi. Semangat hukuman ialah pemaksaan. Apalah arti orang minta maaf lantaran dihukum karena dipaksa? Apalagi, mereka pegawai KPK yang soal kejujuran, ketulusan, dan integritas ialah harga mati.
Dewas sehat? Pertanyaan itu mencuat ketika lembaga penegak etika dan moral KPK itu menghukum pegawai KPK pelaku pungli dengan meminta maaf. Hukuman semacam itu menghina akal sehat rakyat. Dalih Dewas bahwa sesuai regulasi memang cuma itu sanksi terberat menistakan kewarasan. Lucu dan aneh betul pengelola negara ini membuat aturan seabsurd itu.
Sependek ingatan saya, Prabowo Subianto terakhir mengenakan seragam resmi tentara pada 25 Agustus 1998 tatkala menjalani upacara pemberhentian dirinya dari ABRI oleh panglima kala itu, Wiranto. Prabowo diberhentikan karena menurut Dewan Kehormatan Perwira terlibat penculikan pada saat menjabat sebagai Danjen Kopassus.
Namun, nasib orang tak ada yang tahu. Setelah 26 tahun berlalu, Prabowo kembali menyandang seragam militer. Bintang di pundak yang sebelumnya tiga bahkan bertambah satu. Dia kini berpangkat jenderal penuh setelah Presiden Jokowi memberikannya gelar Jenderal Kehormatan, Rabu (28/2).
Jenderal Kehormatan memang bukan barang baru. Ada sederet serdadu yang mendapatkan gelar itu. Sebut saja Sarwo Edhie Wibowo, Soesilo Soedarman, Agum Gumelar, Luhut Pandjaitan, Susilo Bambang Yudhoyono, Hari Sabarno, dan AM Hendropriyono. Namun, itu dulu. Kini, kata anggota Komisi I DPR Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, tidak bisa lagi.
Pak TB bilang, sejak UU No 34/2004 tentang TNI berlaku, tiada lagi istilah pangkat kehormatan. Tiada pula kenaikan pangkat dari purnawirawan ke purnawirawan. Jika begitu, berarti pangkat Jenderal Kehormatan kepada Pak Prabowo tak sesuai aturan. Lagi-lagi, aneh tapi nyata.
Penambahan bintang di pundak Pak Prabowo juga lucu. Lucu karena statusnya bukan lagi anggota TNI. Kita tak perlu berlarut-larut berdebat apakah dia dipecat atau bukan. Yang pasti dia diberhentikan.
Dengan alasan apa pun, pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo aneh, lucu, juga menyakitkan terutama bagi pegiat HAM. Lebih utama lagi, bagi keluarga korban penculikan yang puluhan tahun hingga sekarang terus berjuang mendapatkan kebenaran.
Model hukuman bagi pegawai KPK pelaku pungli dan penyematan bintang empat di pundak Prabowo ialah kelucuan dan keanehan yang nyata di negeri ini. Masih banyak kelucuan dan keanehan lain. Tidak sedikit tabiat elite, tindakan para penguasa, bahkan sikap rakyat jelata yang merusak akal sehat, menerabas akal waras. Akan tercatat hingga akhir zaman, misalnya, pemimpin yang menelikung hukum, yang merendahkan moral dan etika, justru banjir dukungan.
Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Itulah judul film garapan Deddy Mizwar pada 2010 yang mengangkat potret kehidupan bangsa Indonesia. Bak judul film drama komedi satire itu, begitulah negeri ini sekarang. Selaras pula dengan lagu Perahu Retak gubahan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun yang dipopulerkan Franky Sahilatua. ...Aku heran aku heran...Yang salah dipertahankan...Aku heran aku heran...Yang benar disingkirkan. Demikian petikan liriknya.
Negeri ini semakin lucu, semakin aneh, bahkan kian edan. Pujangga Jawa Ronggowarsito pun pernah meramalkannya lewat Serat Kalatidha. Kata dia, ''Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaruri. Rurah pangrehing ukara, karanatanpa palupi, atilar silastuti. Sujana sarjana kelu, kalulun kalatidha. Tidhem tandhaning dumadi, andayengrat dene karoban rubeda.'' (Keadaan keluhuran negara terlihat sudah semakin samar. Rusak kepemimpinannya karena tanpa teladan baik, (pejabat) meninggalkan aturan terpuji. Cerdik cendekia terseret, ikut tergulung jaman keragu-raguan. Sepi dari tanda-tanda kehidupan membuat seolah dunia tenggelam dalam kerepotan).
Di zaman yang aneh, di zaman edan, konon yang tidak edan tak akan kebagian. Namun, Ronggowarsito juga berpesan bahwa begja-begjaning kang lali luwih begja kang eling lan waspada. Betapa pun bahagianya orang yang lupa, lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada. Semoga di negeri yang aneh ini, kita tidak usah ikut-ikutan edan.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved