Headline

Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.

Anehnya Negeri Ini

Jaka Budi Santosa Dewan Redaksi Media Group
01/3/2024 05:00
Anehnya Negeri Ini
Jaka Budi Santosa Dewan Redaksi Media Group(Ebet)

DENGAN berseragam baju putih celana hitam, puluhan orang berbaris rapi. Mereka menjalani prosesi yang barangkali baru pertama kali ada di dunia ini. Mereka secara serempak melafalkan permintaan maaf.

Mereka bukanlah anak sekolah yang dihukum karena berbuat salah. Mereka bukan karyawan yang menjalani sanksi lantaran melakukan kekeliruan. Mereka ialah pegawai institusi yang dulu luar biasa, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sedang menjalankan hukuman dari Dewan Pengawas alias Dewas KPK.

Ke-78 orang yang meminta maaf di Gedung Juang KPK, Jakarta, Senin (26/2) itu ialah bagian dari 90 pegawai KPK yang terbukti melakukan dan menerima pungutan liar (pungli) di Rutan KPK.

Tak cuma merupakan ranting tindak pidana umum (pemerasan), pungli ialah dahan pohon sialan bernama korupsi. Begitulah, pegawai lembaga pemberantasan korupsi melakukan tindak korupsi. Ironi, lucu, juga aneh, tapi nyata.

Lebih banyol dan aneh lagi, dengan kesalahan yang begitu berat, hukuman internal yang diketok palu oleh Dewas teramat sangat ringan. Cukup minta maaf.

Orang yang bersalah layaknya memang minta maaf. Namun, minta maaf harus tulus, datang dari hati, bukan karena sanksi. Semangat hukuman ialah pemaksaan. Apalah arti orang minta maaf lantaran dihukum karena dipaksa? Apalagi, mereka pegawai KPK yang soal kejujuran, ketulusan, dan integritas ialah harga mati.

Dewas sehat? Pertanyaan itu mencuat ketika lembaga penegak etika dan moral KPK itu menghukum pegawai KPK pelaku pungli dengan meminta maaf. Hukuman semacam itu menghina akal sehat rakyat. Dalih Dewas bahwa sesuai regulasi memang cuma itu sanksi terberat menistakan kewarasan. Lucu dan aneh betul pengelola negara ini membuat aturan seabsurd itu.

Sependek ingatan saya, Prabowo Subianto terakhir mengenakan seragam resmi tentara pada 25 Agustus 1998 tatkala menjalani upacara pemberhentian dirinya dari ABRI oleh panglima kala itu, Wiranto. Prabowo diberhentikan karena menurut Dewan Kehormatan Perwira terlibat penculikan pada saat menjabat sebagai Danjen Kopassus.

Namun, nasib orang tak ada yang tahu. Setelah 26 tahun berlalu, Prabowo kembali menyandang seragam militer. Bintang di pundak yang sebelumnya tiga bahkan bertambah satu. Dia kini berpangkat jenderal penuh setelah Presiden Jokowi memberikannya gelar Jenderal Kehormatan, Rabu (28/2).

Jenderal Kehormatan memang bukan barang baru. Ada sederet serdadu yang mendapatkan gelar itu. Sebut saja Sarwo Edhie Wibowo, Soesilo Soedarman, Agum Gumelar, Luhut Pandjaitan, Susilo Bambang Yudhoyono, Hari Sabarno, dan AM Hendropriyono. Namun, itu dulu. Kini, kata anggota Komisi I DPR Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, tidak bisa lagi.

Pak TB bilang, sejak UU No 34/2004 tentang TNI berlaku, tiada lagi istilah pangkat kehormatan. Tiada pula kenaikan pangkat dari purnawirawan ke purnawirawan. Jika begitu, berarti pangkat Jenderal Kehormatan kepada Pak Prabowo tak sesuai aturan. Lagi-lagi, aneh tapi nyata.

Penambahan bintang di pundak Pak Prabowo juga lucu. Lucu karena statusnya bukan lagi anggota TNI. Kita tak perlu berlarut-larut berdebat apakah dia dipecat atau bukan. Yang pasti dia diberhentikan.

Dengan alasan apa pun, pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo aneh, lucu, juga menyakitkan terutama bagi pegiat HAM. Lebih utama lagi, bagi keluarga korban penculikan yang puluhan tahun hingga sekarang terus berjuang mendapatkan kebenaran.

Model hukuman bagi pegawai KPK pelaku pungli dan penyematan bintang empat di pundak Prabowo ialah kelucuan dan keanehan yang nyata di negeri ini. Masih banyak kelucuan dan keanehan lain. Tidak sedikit tabiat elite, tindakan para penguasa, bahkan sikap rakyat jelata yang merusak akal sehat, menerabas akal waras. Akan tercatat hingga akhir zaman, misalnya, pemimpin yang menelikung hukum, yang merendahkan moral dan etika, justru banjir dukungan.

Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Itulah judul film garapan Deddy Mizwar pada 2010 yang mengangkat potret kehidupan bangsa Indonesia. Bak judul film drama komedi satire itu, begitulah negeri ini sekarang. Selaras pula dengan lagu Perahu Retak gubahan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun yang dipopulerkan Franky Sahilatua. ...Aku heran aku heran...Yang salah dipertahankan...Aku heran aku heran...Yang benar disingkirkan. Demikian petikan liriknya.

Negeri ini semakin lucu, semakin aneh, bahkan kian edan. Pujangga Jawa Ronggowarsito pun pernah meramalkannya lewat Serat Kalatidha. Kata dia, ''Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaruri. Rurah pangrehing ukara, karanatanpa palupi, atilar silastuti. Sujana sarjana kelu, kalulun kalatidha. Tidhem tandhaning dumadi, andayengrat dene karoban rubeda.'' (Keadaan keluhuran negara terlihat sudah semakin samar. Rusak kepemimpinannya karena tanpa teladan baik, (pejabat) meninggalkan aturan terpuji. Cerdik cendekia terseret, ikut tergulung jaman keragu-raguan. Sepi dari tanda-tanda kehidupan membuat seolah dunia tenggelam dalam kerepotan).

Di zaman yang aneh, di zaman edan, konon yang tidak edan tak akan kebagian. Namun, Ronggowarsito juga berpesan bahwa begja-begjaning kang lali luwih begja kang eling lan waspada. Betapa pun bahagianya orang yang lupa, lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada. Semoga di negeri yang aneh ini, kita tidak usah ikut-ikutan edan.



Berita Lainnya
  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima

  • Keabadian Mahaguru

    22/7/2025 05:00

    IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.