Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
BANYAK orang, termasuk saya, resah dengan kondisi negeri ini. Pokok kegundahan mereka, juga saya, ialah soal tidak mendapatkan jawaban memuaskan atas pertanyaan: apakah etika dan moral masih mendapatkan tempat di Republik ini? Apakah ketidaknormalan, keculasan, kecurangan sudah dianggap kewajaran dalam urusan menang dan kalah?
Universalitas bahwa etika mesti dijunjung tinggi, yang curang mesti dilawan, yang culas mesti digilas seolah tidak berlaku lagi saat ini. Perubahan teknologi, kemudahan untuk menyebarkan informasi, dan kemelekan teknologi tidak dibarengi kedalaman literasi. Media sosial kian banal. Ia menjadi kuburan bagi sikap kritis dan kedalaman pikiran.
Apa yang terjadi di depan mata akhir-akhir ini ialah pertunjukan telanjang bagaimana prinsip-prinsip moral dan etike telah ditabrak dan dikesampingkan. Kepentingan meraih kemenangan elektoral dicapai dengan menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara yang mestinya diharamkan.
Survei Indikator Politik Indonesia menemukan bahwa hanya 49,6% responden yang menganggap politik uang harus dilawan. Itu menunjukkan bahwa cara haram pun sudah mulai dianggap halal. Padahal, pada Pemilu 2019, survei serupa masih mendapati mereka yang menolak politik uang ada di angka 67%.
Dari survei itu juga terekam bahwa 46,9% orang menganggap politik uang hal yang wajar. Mereka menganggap perilaku politik uang itu bisa ditoleransi. Kalaulah dianggap korupsi, mungkin dikategorikan 'korupsi kecil-kecilan'. Kalaulah dimasukkan ke kategori dosa, begitu kira-kira yang ada di benak 46,9% orang itu, bukanlah dosa besar dan bisa diampuni dengan bertaubat. Inilah pertaubatan dengan 'menyiasati Tuhan'.
Tidak mengherankan bila perilaku serbapermisif itu kian tergambar dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita. Dalam dua tahun terakhir (2022 dan 2023) skor IPK kita cuma 34, kian jauh dari cita-cita target skor IPK di angka 45 tahun ini. Skor IPK 34 itu sama persis dengan skor saat Joko Widodo memulai mandat menjadi presiden di 2014.
Keresahan para kelompok masyarakat kritis kian mendalam saat mendapati defisit keteladanan dari para elite di negeri ini, termasuk dari elitenya elite. Mereka yang mestinya menjadi pemandu netralitas, malah terjun menjadi promotor keberpihakan. Mereka yang seharusnya memegang teguh sumpah, malah mencontohkan secara terbuka melanggar sumpah.
Maka, saya sangsi akan prediksi Goldman Sachs bahwa pada 2050 hingga 2070, Indonesia akan menjadi negara terbesar keempat di dunia. Keempat negara tersebut adalah Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Indonesia. Prediksi itu bahkan sudah dijadikan acuan pemerintah dalam memformulasikan rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2045 untuk mencapai Indonesia emas.
Kesangsian saya berangkat dari masalah utama kita, yakni kian merosotnya kepercayaan kelompok kritis di masyarakat terhadap elite pengendali pemerintahan. Mereka sudah menyalakan lampu kuning pada praktik pemerintahan dan aksi penyelenggaraan negara yang kian menjauh dari etika dan moral. Jika peringatan dan seruan itu terus diabaikan, bisa jadi prediksi Goldman Sach tersebut tinggal menjadi prediksi.
Sebaliknya, bila prasyarat persiapan teknokratik berupa strategi dan eksekusi langkah-langkah sistematis menuju 2045 itu menggenggam erat etika dan moral, boleh jadi prediksi itu benar-benar menjadi kenyataan. Gerak perubahan menuju 2045 jelas tidak akan sama dengan gerak perubahan sebelumnya. Namun, universalitas standar moral dan etika mestinya permanen, tidak berubah .
Kecepatan perubahan jelas tidak boleh mengubah standar etika dan moral. Sebab yang baik dan buruk, yang pantas dan tidak pantas, yang benar dan salah, akan selalu sama tolok ukurnya, yakni hati nurani dan akal sehat. Sejak era kerasulan hingga zaman kekinian, standar-standar etik dan moral tidak pernah berubah.
Ini berbeda dengan gerak perubahan teknologi yang makin ke sini makin cepat. Dulu, perubahan terjadi setiap 1.000 tahun sehingga dikenal instilah milenium. Lalu, sejak revolusi industri, perubahan terjadi setiap 100 tahun. Makanya dikenal istilah abad. Namun, kini, akibat revolusi teknologi 4.0, perubahan terjadi setiap 10 tahunan (dekade), dan bukan tidak mungkin mulai 2030, perubahan disruptif akan terjadi setiap 5 tahunan, bahkan setiap 2 tahunan.
Seorang ahli Mc Kinsey pernah mengatakan strategy is a journey karena perubahan datang begitu cepat dan membawa ketidakpastian. Namun, panduan moral dan etik tetap permanen. Justru karena kian pastinya ketidakpastian itu, kita mestinya kian menguatkan basis moral dan etik. Itulah sumbu peradaban. Itulah suluh bagi ketidakpastian.
Bejana etika dan moral kita memang sudah nyaris kosong. Namun, saya masih menyisakan optimisme dan harapan akan ada generasi yang terus berjuang untuk mengisi kembali bejana yang nyaris kosong itu. Bisa dalam waktu singkat, atau butuh beberapa waktu lebih lama. Namun, bejana moral dan etika itu bakal terisi kembali.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved