Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
KATA jembatan tak terlalu asing digunakan dalam politik, juga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Salah satunya datang dari Nikita Sergeyevich Khrushchev, politikus yang pernah memimpin Uni Soviet pada masa-masa awal Perang Dingin.
Kata Khrushchev, “Politicians are the same all over. They promise to build a bridge even where there is no river.” Kalau dibahasaindonesiakan kira-kira artinya, “Para politikus itu sama saja. Mereka berjanji akan membangun jembatan walaupun tidak terdapat sungai.”
Jembatan yang dimaksud Khrushchev kiranya berkonotasi negatif. Ia ingin menggambarkan bahwa janji politik ialah dagangan utama politikus dalam berkompetisi. Janji-janji yang terkadang tak masuk akal seperti membuat jembatan meski tak ada kali. Yang penting ia bisa memikat hati rakyat, tak peduli apakah janji itu mengada-ada atau apa adanya.
Istilah jembatan dipakai pula oleh Martin Luther King, aktivis hak sipil Amerika. Dia bilang, "Mari kita membangun jembatan, bukan tembok." Ungkapan ini juga disampaikan Paus Fransiskus. Saat mengenang 25 tahun runtuhnya Tembok Berlin pada 2014, Paus menyatakan, ''Kita butuh jembatan, bukan tembok.''
Makna jembatan yang dinarasikan Martin Luther King dan Paus Fransiskus jelas baik. Di mana ada jembatan, di situ ada penghubung antarmanusia, antarwarga negara. Sebaliknya, di mana ada tembok, di situ ada penutupan hati. Manusia tak boleh terpisah oleh tembok, tetapi harus selalu terhubung sehingga perlu ada jembatan.
Kini, istilah jembatan digunakan politikus yang juga Presiden RI, Jokowi. Dia mengaku ingin menjadi jembatan bagi semua kekuatan, partai-partai politik, selepas Pilpres 2024 ini. Perannya sebagai jembatan itu mulai dirintis dengan mengundang Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh ke Istana Kepresidenan Jakarta pada Minggu (18/2) malam.
Menurut Jokowi, pertemuan dengan Surya baru awal-awal. Selanjutnya, dia berkehendak menjadi penghubung bagi semuanya. Tidak jelas jembatan seperti apa yang dia maksud. Tak gamblang untuk menuju ke mana jembatan itu dia bangun.
Positif atau negatifkah jembatan Jokowi? Terlalu dini untuk menyimpulkannya. Kalau jembatan dibentangkan demi mendinginkan panasnya suasana, untuk merekatkan semangat kebangsaan yang terkotak oleh pemilu, itu ada baiknya. Sekeras apa pun berkompetisi, kita pada akhirnya memang harus menyatu kembali sebagai sesama anak negeri.
Akan tetapi, kalau jembatan dibuat untuk menyatukan seluruh kekuatan politik dalam satu kubu, ia tidaklah baik. Dalam politik, sama tak selalu bagus, berbeda kadang justru memberi warna. Apalagi dalam sistem demokrasi yang telah kita sepakati sebagai panduan bernegara sejak era reformasi.
Demokrasi memberikan tempat kepada penguasa dan oposisi, dua posisi yang jelas berbeda dengan sama terhormatnya, sama mulianya. Dalam demokrasi, oposisi ialah kebutuhan pokok yang, jika tak dipenuhi, akan menyebabkan ketidakseimbangan. Oposisi penting dan perlu. Karena itu, jangan pernah ada upaya untuk menegasi dan mengebirinya.
Memang belum ada kepastian siapa yang bakal berkuasa, siapa pula yang akan menjadi oposisi dari hasil pemilu kali ini. Hanya saja, jika tak ada sesuatu yang luar biasa, kiranya Koalisi Indonesia Maju tampil sebagai pemenang dan berhak mengendalikan kekuasaan lima tahun ke depan. Itu artinya, Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, dan Partai Demokrat akan menjadi partai penguasa.
Jika tak ada perubahan, partai-partai pengusung Anies dan Ganjar bakal menjadi oposisi di parlemen. Ada PDIP tentu saja, ada juga NasDem, PKS, dan PKB. Dari hasil hitung cepat, mereka lolos ke Senayan, sedangkan PPP masih menunggu peruntungan. Sekali lagi kalau tidak ada perubahan, kalau tidak ada godaan, kalau tidak ada yang tergoda untuk menyeberang ke koalisi sebelah.
Siapa tahan menjadi oposisi? Pertanyaan itu belakangan mengedepan. Menjadi oposisi memang tak enak. Menjadi partai penguasa sungguh mengasyikkan. Karena itu, tak mengherankan jika ada partai yang kalah dalam pilpres kemudian berubah pendirian, bergabung dengan pemenang.
Pada Pilpres 2014, misalnya, Partai Golkar mengusung Prabowo-Hatta dan kalah. Akan tetapi, di kemudian hari, Golkar yang memang tak punya tradisi menjadi partai oposisi menanggalkan baju oposisi mereka.
Pada Pilpres 2019, Gerindra mengusung ketua umum mereka, Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno, dan kalah. Akan tetapi, di hari kemudian, mereka pindah haluan ke pemerintahan Jokowi. Demikian halnya dengan PAN. Mereka meninggalkan Demokrat dan PKS. Oposisi pun ada, tapi tiada. Ada tidak menggenapkan, tiada tak mengganjilkan. Mereka tak punya daya sebagai penyeimbang karena kecilnya kekuatan. Apalagi kini, setelah Demokrat masuk kabinet Jokowi dan AHY akhirnya jadi menteri.
Pertanyaannya, siapa lagi nanti yang kegerahan berpakaian oposisi lalu melepasnya dan meniti jembatan Jokowi? Kursi kekuasaan memang menggoda. Kita, setidaknya saya, cuma bisa mengingatkan bahwa seperti yang dikatakan ilmuwan politik Ian Shapiro bahwa pemerintahan demokrasi tidak bisa berkembang secara dinamis tanpa oposisi.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved