Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Sesak Napas karena Beras

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
21/2/2024 05:00
Sesak Napas karena Beras
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(Ebet)

DENGARLAH jeritan Sunarti, pedagang warung di Jalan Raya Kalisuren, Bogor. Ia mengeluhkan harga beras yang terus naik, bahkan hingga empat kali kenaikan dalam sebulan. Narti biasa membeli beras petruk yang sekarang harganya sudah Rp17.500 per kilogram. Tiga pekan lalu, harga beras yang ia beli masih Rp15.500 per kilogram.

Warung Sunarti membutuhkan 8 kilogram beras per hari. Ia pun mesti merogoh kocek Rp140 ribu untuk modal membeli beras. Tiga pekan sebelumnya, ia masih bisa mendapatkan 8 kg beras dengan merogoh kocek Rp124 ribu. Itu artinya, dalam sehari, keuntungan dagang di warung makannya tergerus Rp16 ribu akibat melonjaknya harga beras.

Jeritan serupa sudah menjadi orkestrasi di seantero negeri ini selama sepekan terakhir. Harga sejumlah bahan pangan pokok penting dan strategis, khususnya beras, masih terus memecahkan rekor dari hari ke hari. Banyak rakyat bertanya, ke mana para pengurus negeri ini?

Jawaban pemerintah sejauh ini belum menggembirakan. Rumus yang dipakai sekadar menyandarkan pada urusan jumlah pasokan dan permintaan. Pasokan berkurang, tapi permintaan tetap. Mengapa pasokan berkurang? Jawabannya juga bisa ditebak: karena produksi berkurang akibat musim kering ekstrem yang berujung pada panen yang terlambat.

Lalu muncul pertanyaan dan gugatan di sana-sini, seperti, 'bukankah bansos beras terus menggerojok sejak sebelum hari pencoblosan pemilu? Ke mana dong, mengalirnya gerojokan itu?'. Ada lagi yang mempersoalkan impor beras besar-besaran dalam setahun ini hingga lebih dari 3,3 juta ton. Ke mana beras impor itu? Ditujukan untuk siapa? Menguntungkan siapa?

Pertanyaan-pertanyaan bertendensi kecurigaan seperti itu amat wajar muncul karena kenyataan di lapangan tidak bisa dikompromikan lagi. Pernyataan pemerintah berulang-ulang bahwa stok beras aman dan cukup terasa sekadar hendak 'mendinginkan' suasana. Tapi, nyatanya, harga beras tetap memanas. Publik tidak dingin, malah resah.

Padahal, selama ini ada keyakinan bahwa keresahan rakyat akibat naiknya harga pangan secara terus-menerus bakal memicu instabilitas. Kendali atas sumber-sumber pangan berarti pengendalian politik publik secara keseluruhan. Sejauh sebuah rezim mampu mengendalikan sumber-sumber itu, menjaganya dari ancaman kelangkaan dan ketidakterjangkauan harga di konstituen strategis, sejauh itu pula stabilitas politik akan mantap sekaligus meraih simpati luas.

Sebaliknya, kekuatan politik akan terguncang bila gagal menjaga stabilitas harga pangan. Doktrin ini diyakini pemerintah di banyak negara berkembang dan miskin, termasuk Indonesia. Di negara-negara seperti itu, sebagian besar (60%) pendapatan warga terserap habis untuk membeli pangan.

Dalam masyarakat politik, masalah pangan bisa menjadi ancaman stabilitas politik yang bersifat laten dan setiap saat bisa meledak. Ada banyak penyebab jatuhnya Soekarno dan Soeharto, tetapi satu hal tak terbantahkan, ketidakmampuan rezim mengendalikan pangan membuat segala sendi rapuh lebih cepat. Inilah alasan mengapa hingga kini pemerintah masih memperlakukan beras sebagai komoditas politik.

Sejauh ini politik beras itu cenderung merugikan produsen dan konsumen. Melalui inpres perberasan yang direvisi setiap tahun, pemerintah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras. HPP bukan bentuk perlindungan harga. Batu pijak HPP ialah kuantitas untuk memenuhi stok nasional dan raskin.

Karena sifatnya target kuantum, pengaruh pembelian pada tingkat harga di pasar jadi residual. Saat harga gabah anjlok atau harga beras tinggi, beleid HPP tak bisa jadi alat kendali harga. Akibatnya, dalam dua posisi itu, petani (produsen) dan konsumen merugi.

Saat ini, misalnya. HPP gabah di tingkat petani cuma Rp5.000 per kilogram. Padahal, harga pasar gabah di tingkat petani sudah ada yang di atas Rp7.000 ribu per kilogram. Angka-angka ini tentu tidak menarik bagi petani sebagai patokan jual beli.

Celakanya lagi, saat harga kian tinggi dan tidak terkendali, petani juga tidak bisa menikmati karena beras tidak lagi ada di lumbung mereka. Dalam situasi saat ini, para petani itu bukan lagi produsen, melainkan konsumen. Mereka berada dalam situasi sama tercekiknya dengan konsumen beras.

Respons pemerintah yang tidak memadai dalam menyikapi lonjakan harga beras bakal kian menggaungkan orkestrasi jeritan rakyat. Repotnya, jeritan itu bukan tanda riang gembira karena sudah keluar dari bilik suara, melainkan teriakan pilu karena harga beras naik bertalu-talu.

Sudah cukupkah dijawab dengan kalimat 'Di mana-mana di dunia, beras sedang langka, maka harganya naik'? Sungguh terlalu.



Berita Lainnya
  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

  • Enaknya Pejabat Kita

    12/6/2025 05:00

    "TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''

  • Ukuran Kemiskinan\

    11/6/2025 05:00

    BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan

  • Bahlul di Raja Ampat

    10/6/2025 05:00

    PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.

  • Maling Uang Rakyat masih Berkeliaran

    09/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.

  • Menyembelih Ketamakan

    07/6/2025 05:00

    ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.

  • Uji Ketegasan Prabowo

    05/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam

  • APBN Surplus?

    04/6/2025 05:00

    SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.

  • Pancasila, sudah tapi Belum

    03/6/2025 05:00

    NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.