Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
SIREKAP dan Situng bernasib sama, sama-sama amburadulnya sehingga berpotensi memantik kekisruhan pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mau belajar dari kesalahan dan kelemahan Situng dalam pemanfaatan Sirekap.
Situng alias Sistem Informasi Penghitungan Suara digunakan pada Pemilu 2019. Setelah menimbulkan berbagai masalah, KPU membuang Situng, menggantikannya dengan Sirekap alias Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik. Sirekap digunakan pada Pemilu 2024.
Penggunaan Sirekap mengacu pada Keputusan KPU Nomor 66 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksaan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu. Keputusan itu ditetapkan pada 15 Januari 2024.
Pengertian Sirekap menurut Keputusan KPU 66/2024 ialah perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi sebagai sarana publikasi hasil penghitungan suara dan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara serta alat bantu dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilu.
Disebut sebagai alat bantu karena Sirekap tidak bisa dijadikan dasar penetapan hasil pemilu. Sesuai dengan ketentuan UU Pemilu, penetapan hasil pemilu berdasarkan penghitungan manual yang dilakukan secara berjenjang. Berdasarkan Pasal 413 UU 7/2017, KPU menetapkan hasil pemilu paling lambat 35 hari setelah hari pemungutan suara.
Sama seperti Situng, Sirekap hanya sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, akuntabel, dan terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU 7/2017 tentang Pemilu.
Sirekap sejatinya juga menjadi bentuk pelaksanaan kewajiban KPU untuk menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan Pasal 14 huruf c UU 7/2017.
Meski hanyalah alat bantu, Sirekap hendaknya dikelola secara benar dan bertanggung jawab sehingga tidak memicu kekisruhan. Teknologi kepemiluan yang bertujuan memperluas level kepercayaan publik terhadap pemilu justru memicu kekisruhan.
Kekisruhan muncul hanya 7 jam setelah pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS) berakhir. Media sosial diramaikan gambar dan video tentang hasil penghitungan suara yang diunggah ke Sirekap. Ada perbedaan signifikan antara jumlah suara formulir C hasil plano dan angka yang terbaca di Sirekap.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari meminta maaf kepada publik atas kekurangan aplikasi Sirekap. “Bahwa ada kelemahan-kelemahan tentunya kami akan segera koreksi. Kami mohon maaf," katanya dalam keterangan pers, Jumat (16/2).
Permintaan maaf saja tidak cukup. KPU harus memberikan penjelasan yang bisa dipercaya terkait dengan kekisruhan Sirekap. Jangan sampai muncul tudingan bahwa Sirekap dijadikan alat legitimasi kecurangan pemilu.
Cukuplah Situng yang memantik persoalan hukum. Situng menjadi persoalan yang diangkat dalam sidang sengketa perselisihan hasil Pemilu 2019. Ketika itu, pemohon kubu 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno menuding terjadi kecurangan salah entri perolehan suara Situng yang mengakibatkan berkurangnya jumlah suara kubu mereka.
Kata Situng disebutkan sebanyak 875 kali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019. Menurut pemohon, KPU mempunyai kewajiban untuk menjaga dan menyajikan data Situng yang benar dan dapat dipercaya. Namun, faktanya, data yang disajikan bermasalah sehingga menimbulkan kekacauan.
Kekacauan Sirekap pun berpotensi digugat. Sudah ada kubu capres-cawapres yang berancang-ancang membawa kejanggalan data dalam aplikasi Sirekap ke Mahkamah Konstitusi.
Kiranya Sirekap menjadi alat bantu untuk tetap menjaga kemurnian suara rakyat. Manipulasi hasil penghitungan suara akan berdampak serius karena memungkinkan penetapan hasil pemilu berbeda dengan kehendak rakyat yang disampaikan pada waktu pemungutan suara di tempat pemungutan suara.
Manipulasi pemilu, menurut ilmuwan politik Sarah Birch, bisa terjadi dengan memanipulasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu, memanipulasi pilihan pemilih, dan memanipulasi proses pemungutan dan penghitungan suara hingga pengumuman hasil pemilu.
Amat disayangkan jika aplikasi Sirekap dimanipulasi untuk penghitungan suara. Tugas KPU ialah menjaga Sirekap agar tidak memantik kekacauan pemilu. KPU mesti memastikan Sirekap tidak amburadul.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved