Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Dalam Jebakan Ekonomi Ekstraktif

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
23/12/2023 05:00
Dalam Jebakan Ekonomi Ekstraktif
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

APAKAH salah bila sebuah negara mengandalkan perekonomian mereka dari sektor ekstraktif? Tentu saja tidak salah. Namun, siap-siaplah menjadi bangsa bangkrut di kemudian hari bila melulu mengandalkan ekonomi ekstraktif.

Contohnya Nauru. Negara terkecil di dunia itu bernasib malang, jadi negara sangat miskin, setelah sempat mencecap sebagai salah satu negara terkaya di dunia. Sebelum 2000-an, Nauru jadi lumbungnya fosfat. Saat itu, permintaan fosfat sedang tinggi-tingginya.

Pada era 1980-an, negara bekas koloni Inggris itu menjadi salah satu negara terkaya di dunia dan salah satu negara dengan pendapatan per kapita tinggi di dunia. Semua predikat itu diperoleh dari banyak faktor, terutama ekonomi ekstraktif mereka karena memiliki lumbung fosfat. Setelah bebas dari penjajahan Inggris pada 1968, tambang fosfat mencuat di Nauru.

Puncaknya terjadi pada 1980, ketika produksi fosfat semakin menggila.

Fosfat yang ada di Nauru dinilai bermutu tinggi. Hal itu disebabkan fosfat tersebut terbentuk dari endapan kotoran burung yang telah ada selama berabad-abad di tempat itu.

Malang tidak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih. Mengutip The Guardian, Nauru yang dulunya negara kaya kini justru jatuh miskin karena menjadi korban kolonialisme yang rakus, salah urus, dan ketamakan.

Lantaran eksploitasi tambang yang menggila, 1990-an cadangan fosfat di Nauru semakin menipis. Puncaknya, 2006 penambangan fosfat di Nauru resmi ditutup. Padahal, tambang fosfat menjadi salah satu sumber perekonomian utama negara Nauru. Ketika aksi penambangan fosfat melemah, perekonomian Nauru juga ikut terseret. Alhasil, bertahun-tahun negeri itu hidup dalam kemiskinan karena kehabisan uang.

Bank sentral bangkrut. Realestat di luar negeri disita. Pesawat disita dari landasan pacu bandara. The Guardian melukiskan krisis keuangan yang terjadi membuat Nauru mengeksploitasi kedaulatan mereka. Pada 1990-an, Nauru menjelma menjadi surga pencucian uang. Nauru menjual izin perbankan dan paspor termasuk paspor diplomatik.

Nauru kiranya menjadi pembelajaran nyata bahwa ekonomi ekstraktif yang mengandalkan sumber daya alam pasti rapuh di kemudian hari. Namun, nyatanya, kendati banyak yang mengetahui bahwa ekonomi ekstraktif meninabobokan, toh hingga kini perekonomian Indonesia juga masih sangat bergantung pada konsumsi sektor ekstraktif itu. Padahal, aktivitas itu, bila dilakukan secara masif, sangat merusak lingkungan.

Jenis pembangunan ekonomi dengan jalan mengeruk sumber daya alam, seperti tambang, lahan, kayu, dan laut itu memang cepat menghasilkan, tapi pasti melenakan dalam jangka panjang. Sejak era sebelum kemerdekaan, Indonesia masih bergantung pada sektor ekstraktif.

Saat ini, 78 tahun setelah merdeka, ekonomi ekstraktif jadi andalan. Eksploitasi mineral, nikel, dan bauksit masih amat masif dilakukan. Di sisi lain, ekonomi hijau yang lebih menghasilkan, ekonomi berbasiskan teknologi dan riset yang kuat menopang negeri untuk jangka panjang, masih minim perhatian.

Begitu terjadi booming harga komoditas pada sektor ekstraktif, yang kaya semakin kaya karena mereka punya tambang. Namun, sebaliknya, mereka yang rentan menjadi miskin, yang miskin menjadi sangat miskin. Ekonomi ekstraktif pun jadi biang ketimpangan. Banyak ahli sudah mengingatkan bahwa jika kita hanya bertumpu pada ekonomi ekstraktif, dampak terhadap daya ungkit pertumbuhan ekonominya sangat minim dan berjangka pendek.

Center of Economic and Law Studies juga sudah mewanti-wanti agar Indonesia segera meninggalkan ekonomi ekstraktif yang menjadi biang ketimpangan itu. Uang dari daerah-daerah penghasil tambang mengalir ke Jakarta. Akibatnya, 70% peredaran uang terpusat di Jakarta, sedangkan masyarakat lokal penghasil tambang seperti di Maluku Utara tetap miskin. Semakin banyak pabrik di wilayah itu, semakin tinggi pula tingkat kemiskinan di daerah itu.

Berbeda bila negeri ini bertumpu pada ekonomi hijau. Ekonomi yang ramah terhadap lingkungan. Untuk jangka panjang, ekonomi hijau justru menjanjikan pendapatan berlipat, dengan lingkungan yang tetap terjaga kelestariannya.

Transisi dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi hijau tidak hanya menguntungkan negara dan pengusaha, tapi pendapatan masyarakat juga berpotensi meroket hingga dua kali lipat.

Negeri ini harus move on dari cengkeraman ekonomi ekstrak yang bisa membunuh menuju ke perekonomian yang lebih berkelanjutan, berdaya tahan, bahkan membangkitkan.



Berita Lainnya
  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

  • Enaknya Pejabat Kita

    12/6/2025 05:00

    "TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''

  • Ukuran Kemiskinan\

    11/6/2025 05:00

    BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan

  • Bahlul di Raja Ampat

    10/6/2025 05:00

    PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.

  • Maling Uang Rakyat masih Berkeliaran

    09/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.

  • Menyembelih Ketamakan

    07/6/2025 05:00

    ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.

  • Uji Ketegasan Prabowo

    05/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam

  • APBN Surplus?

    04/6/2025 05:00

    SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.

  • Pancasila, sudah tapi Belum

    03/6/2025 05:00

    NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.

  • Arti Sebuah Nama dari Putusan MK

    02/6/2025 05:00

    APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.

  • Para Pemburu Pekerjaan

    31/5/2025 05:00

    MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.

  • Banyak Libur tak Selalu Asyik

    30/5/2025 05:00

    "LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.

  • Apa Kabar Masyarakat Madani?

    28/5/2025 05:00

    SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.

  • Basa-basi Meritokrasi

    27/5/2025 05:00

    HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.

  • Perseteruan Profesor-Menkes

    26/5/2025 05:00

    ADA benarnya pernyataan Sukarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

  • Koperasi dan Barca

    24/5/2025 05:00

    KOPERASI itu gerakan. Ibarat klub sepak bola, gerakan koperasi itu mirip klub Barcelona. Klub dari Catalan, Spanyol, itu dari rakyat dan milik rakyat.