Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Untung Ada Amin

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group
20/12/2023 05:00
Untung Ada Amin
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

SAYA tidak bisa membayangkan apa jadinya bila pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) gagal menjadi kontestan Pilpres 2024. Saya sepakat dengan pendapat sebagian orang bahwa demokrasi akan terancam bila itu terjadi. Karena itu, masuknya Amin dalam gelanggang Pilpres 2024 ialah bagian dari menyelamatkan demokrasi.

Kenapa bisa begitu? Karena tanpa pasangan Amin, politik kita akan monolit, homogen, tunggal. Demokrasi hanya akan dijejali narasi 'melanjutkan' kendati banyak hal sejatinya butuh perubahan. Tanpa Amin ikut berkontestasi, publik hanya bisa menyaksikan para kandidat berebut legasi Jokowi.

Apakah itu buruk? Bisa jadi ya. Demokrasi itu meniscayakan pilihan-pilihan. Apalagi dalam masyarakat majemuk seperti negeri ini, demokrasi itu jalan politik yang menyediakan beragam alternatif. Kalau semua dilanjutkan, padahal banyak pula yang butuh perubahan, politik yang monolit ialah ancaman nyata demokrasi.

Pasangan Prabowo-Gibran jelas-jelas ingin melanjutkan semua program Jokowi tanpa reserve. Pasangan Ganjar-Mahfud pernah bertekad melanjutkan legasi Jokowi meski agak malu-malu. Belakangan, begitu Mahkamah Konstitusi membolehkan capres-cawapres belum 40 tahun masuk gelanggang dengan syarat yang disesuaikan, pasangan nomor urut 3 itu mulai agak terang-terangan berseberangan dengan Jokowi.

Karena itu, kehadiran Anies-Muhaimin menjadi alternatif. Masuknya pasangan nomor urut 1 itu boleh dimaknai sebagai bentuk penyelamatan demokrasi dari pilihan tunggal dan hegemoni kekuasaan. Apalagi gagasan perubahan yang dibawa pasangan Amin cukup jelas sebagai pembeda. Tidak ragu-ragu, tidak abu-abu.

Apalagi akhir-akhir ini, saat perjalanan demokrasi kita diliputi sejumlah rel yang belok-belok. Beberapa aturan ditekuk demi melempengkan jalan kekuasaan. Etika ditabrak, direndahkan, bahkan diumpat. Sebagian orang mulai mengkhawatirkan arah demokrasi yang hendak digiring menuju jebakan otoritarianisme.

Persis seperti alarm yang pernah dibunyikan dua ilmuwan politik dari Universitas Harvard, yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Dalam buku How Democracies Die, keduanya menyebut ada sejumlah perilaku elite yang menandakan mereka hendak membawa biduk demokrasi ke dalam jebakan otoritarian.

Mereka, sejumlah elite itu, tidak menghormati pendapat orang-orang yang memiliki pandangan politik berbeda. Bahkan, mereka mempertanyakan patriotisme kelompok yang tidak setuju, atau memperingatkan bahwa jika pemilik pandangan yang berbeda itu berkuasa, akan menghancurkan negerinya.

Mereka menolak atau setidaknya memiliki komitmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi. Ada sejumlah tanda dari lemahnya komitmen itu, seperti membatasi hak sipil warga negara, tidak patuh pada konstitusi, dan mengusulkan cara-cara antidemokrasi dalam mengelola kekuasaan mereka.

Mereka, tulis Levitsky dan Ziblatt, juga kerap menyangkal para lawan politik. Mereka menuduh lawan politik yang kritis sebagai pelaku makar, mengancam keamanan negara, dan menggunakan instrumen hukum untuk membungkam lawan politik.

Lebih parah lagi, para penjebak demokrasi itu menoleransi kekerasan yang dilakukan kelompok afiliasi politik mereka terhadap kelompok lain. Bahkan, mereka tidak sekadar melakukan pembiaran, tapi justru memanfaatkan tindakan itu untuk mengintimidasi dan menekan lawan.

Mereka melakukan, atau setidak-tidaknya membatasi, kebebasan sipil, termasuk kebebasan media. Tanda-tandanya seperti menyetujui kebijakan-kebijakan hukum atau undang-undang yang bertujuan membatasi kebijakan sipil, membatasi kritik dan protes, bahkan memidanakan para pengkritik pemerintah atau pejabat pemerintah.

Levitsky dan Ziblatt membunyikan alarm itu pada 2018 lalu. Itu artinya, keduanya mencium gelagat bahwa ancaman terhadap demokrasi kian nyata di berbagai negara. Tanda-tanda itu tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Munculnya kelompok kritis di tengah masyarakat akhir-akhir ini ibarat pelantang suara yang penting untuk menjaga agar demokrasi tetap sehat.

Demokrasi yang sehat, menurut Bung Hatta, ialah demokrasi yang membawa prinsip keadilan. Bentuk keadilan itu, salah satunya, memberi rakyat, termasuk rakyat yang gamang dengan pemerintahan, sejumlah pilihan.



Berita Lainnya
  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

  • Enaknya Pejabat Kita

    12/6/2025 05:00

    "TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''

  • Ukuran Kemiskinan\

    11/6/2025 05:00

    BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik