Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
DUNIA gimik dan rupa-rupa remeh-temeh kian mendapatkan panggung di negeri ini. Sebaliknya, kedalaman, kecerdasan, dan pertarungan pikiran makin ditenggelamkan. Semakin redup dari hiruk pikuk ruang publik.
Persis seperti yang pernah dikatakan penulis dan jurnalis Uruguay, Eduardo Galeano. Dengan sarkas Galeano menulis, 'Kita hidup di dunia ketika pemakaman lebih penting daripada kematian, pernikahan lebih penting daripada cinta, dan fisik lebih penting daripada kecerdasan. Kita hidup dalam budaya wadah yang meremehkan isi'.
Dunia maya dan dunia nyata ditaburi jargon-jargon penuh gimik. Apalagi saat kampanye pemilu tiba seperti hari-hari ini. Di Jakarta dan berbagai tempat lainnya, kita saksikan bertaburan baliho bertuliskan 'politik santuy', 'pilih yang gemoy'. Jargon yang sama menyesaki dunia maya.
Santuy seolah dipromosikan untuk melumerkan protes publik atas masih maraknya ketidakadilan. Gemoy seperti hendak dipertandingkan melawan keluhan publik atas harga-harga pangan dan jerat kehidupan. Belum lagi joget-joget yang disetarakan dengan ide besar mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
Nyaris tidak tersisa perdebatan politik yang keras seperti Soekarno, Sjahrir, Hatta, dan Tan Malaka. Situasi senyap juga terlihat saat sebagian orang bicara nasib demokrasi yang kian dipukul mundur, reformasi yang mati suri. Semuanya seperti dipaksa dibawa santuy, tidak ada persoalan serius yang mesti dihadapi.
Di dunia maya, sama saja. Di media sosial, orang ramai lebih banyak bicara gimik, memainkan gimik, memeragakan gimik. Kalaupun ada yang berkomentar, siapa saja bereaksi atas apa saja, tema apa saja. Seolah semuanya ahli, bisa mengomentari, dan memprediksi.
Kepakaran, kata Tom Nichols dalam The Death of Expertise, memang telah mati. Buku itu menyoroti betapa publik luas di era media sosial ini lebih mendengarkan suara para micro-celebrity di medsos ketimbang mengacu para ahli yang jelas-jelas lebih punya kompetensi.
Era digital, terlebih lagi era medsos, memang membawa perubahan lanskap yang cukup signifikan pada peta kebudayaan. Dulu, tidak semua orang bisa 'berbicara'. Sekarang, profesor politik boleh jadi kalah suara ketimbang orang yang seumur-umur jadi pedagang. Jurnalis senior bisa jadi kalah dipercaya tukang sulap.
Dari situlah matinya kepakaran bermula. Pada titik itu, wadah lebih penting daripada isi. Orang didengarkan bukan karena dia ahli dalam suatu bidang. Orang diikuti kata-katanya lebih karena pengaruhnya yang besar di media sosial. Semakin banyak follower, semakin berjibun subscriber, semakin dia disimak, diperhatikan, ditiru, jadi tren.
Begitu ngetren, politikus, caleg, bahkan capres dan cawapres pun ikut-ikutan menebar gimik. Joget para politikus di Tiktok kian jadi menu. Publik diajak gembira di tengah kegetiran. Betul bahwa ini bukan berarti medsos merupakan akar pendangkalan nalar publik. Akan tetapi, saat para pendidik politik takluk oleh gimik dan soal remeh-temeh di medsos, kiranya kita perlu mengelus dada.
Politikus perlu membawa medsos sebagai daya tawar demokrasi. Politikus mestinya menaklukkan medsos dan ruang publik dengan gagasan mendalam, perdebatan bermutu, dan membawa kecerdasan. Ruang publik, termasuk medsos, mesti banyak ditaburi pertarungan gagasan, bukan disesaki gimik.
Apakah berarti gimik itu buruk, merusak, dan racun demokrasi? Tentu bukan seperti itu. Gimik itu perlu untuk melumerkan ketegangan. Dia semacam ice breaker agar ketegangan tidak berujung adu fisik.
Bagaimanapun, masakan butuh penyedap. Namun, bila kebanyakan penyedap, tentu rasanya justru tidak keruan. Terus-terusan kebanyakan bumbu penyedap juga bisa merusak kesehatan, bahkan bisa berujung sakit berkepanjangan.
Jadi, kalaupun gimik, ya jadikan sebatas pelumer ketegangan dan penyedap rasa, bukan menu utama. Seperti kata Rhoma Irama dalam lagunya, 'Yuk kita santai agar saraf tidak tegang. Yuk kita santai agar otot tidak kejang'.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved