Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
KETIKA politik nasional sedang pada situasi yang dalam bahasa Presiden Joko Widodo kebanyakan drama dan sinetron, bahkan bumbu pertarungan perasaan lebih mendominasi ketimbang pertarungan ide dan gagasan, menjadi wajarkah bila publik semakin menghindar dan menjauh dari politik, termasuk dari ingar-bingar Pemilu 2024 yang kurang lebih tinggal 90 hari lagi bakal digelar?
Pertanyaan seperti itu mungkin tidak terlontar secara langsung. Namun, nuansa yang tertangkap dari suara-suara publik melalui media sosial, terutama dari kalangan generasi muda (milenial ataupun Gen Z), menunjukkan kecenderungan itu. Cukup banyak yang mempertanyakan apa urgensi mereka ikut berpartisipasi dalam perhelatan politik nasional di saat politik justru lebih banyak dimanfaatkan sekaligus dimainkan untuk kepentingan individu, keluarga, atau kelompok tertentu.
Mereka memang belum sampai termasuk golongan yang tak acuh terhadap politik atau apolitik, tapi sangat mungkin mengarah ke sana kalau tidak diberikan teladan bahwa sesungguhnya politik tidak semelodramatik itu. Mereka belum antipolitik, tetapi boleh jadi akan begitu kalau para aktor politik di tingkat elite tidak menghentikan sandiwara dan seluruh rekayasa pencitraan politik yang kerap mereka buat.
Harus diakui, rentetan peristiwa politik belakangan ini berkebalikan dengan harapan ideal publik. Alih-alih makin mengasyikkan, politik justru kian terlihat menjengkelkan. Bayangkan saja, bagaimana publik tidak jengkel dan makin apatis ketika, misalnya, narasi kegundahan tentang situasi politik saat ini yang lebih banyak berisi drama dan sinetron malah disampaikan oleh orang yang dianggap sebagai salah satu aktor, bahkan mungkin sutradaranya.
Bayangkan pula kedongkolan kalangan anak muda ketika melihat ada perwakilan generasi muda yang pada awalnya dianggap lumayan layak dijadikan contoh bagaimana kaum muda terjun ke dunia politik, eh tiba-tiba merangsek ke panggung tertinggi perpolitikan nasional dengan cara memanjat yang tak lazim. Bahkan kata mayoritas pakar, cara yang ditempuhnya (dengan dibantu ayah dan pamannya) sangat kotor dan merusak tatanan politik demokrasi itu sendiri.
Masih banyak contoh lain yang membuat wajah politik kita saat ini terlihat menyebalkan, bahkan memuakkan bagi sebagian kalangan milenial dan Gen Z. Itu sebabnya tempo hari tagar #kamimuak sempat bertengger cukup lama sebagai trending topic di sejumlah platform media sosial. Muak karena di saat mereka masih meragukan politik dan perangkatnya mampu mewakili pandangan dan kepentingan mereka, yang terus-menerus disodorkan ke hadapan mereka justru contoh perilaku politisi yang buruk.
Kalau diumpamakan, politik Indonesia hari ini ibarat sekeranjang buah yang isinya cuma dua macam: buah yang hampir busuk dan buah yang matang karena dikarbit. Tidak ada pilihan yang bagus, lalu bagaimana mau menarik perhatian pembeli? Begitu pun dengan politik kita, bagaimana mau menawarkan nilai lebih dari suatu proses politik ke publik (pemilih) kalau sebagian pilihan yang ada malah membuat senewen?
Politik kita juga unik. Secara reguler, setiap menjelang pemilu atau pilkada, kita sering mendengar seruan kepada masyarakat agar menjadi pemilih yang cerdas, pemilih yang mengedepankan nalar bukan sekadar emosional. Seruan yang tentunya bagus untuk memotivasi publik meningkatkan literasi mereka di bidang politik dan pemerintahan.
Namun, semua menjadi sia-sia karena di sisi lain, para pelaku peran di dunia politik justru acap menonjolkan perilaku yang tidak mencerminkan kecerdasan. Beberapa malah kadang rela menanggalkan dulu kecerdasan mereka demi syahwat politik yang tak berkesudahan. Sudah bisa ditebak, produk yang dihasilkan dari kelakuan seperti itu, ya tidak jauh-jauh dari drama pencitraan dan sinetron politik menyebalkan tadi.
Politik pada akhirnya bagaikan panggung besar yang disesaki para aktor peran dengan segmen drama masing-masing. Terkadang mereka bersekongkol, berkoalisi, bertengkar, bahkan dengan mudah dapat bertukar peran. Mereka, para politikus itu, lebih fokus melakoni drama demi meraih atensi dan simpati publik ketimbang mengurusi persoalan-persoalan masyarakat yang sejatinya menjadi tugas utama mereka.
Kalau begini terus, saya khawatir kalangan muda bakal semakin menjauh dari lingkaran partisipasi politik. Kalau yang terus dipertontonkan ke publik hanyalah seputar sandiwara politik tidak bermutu, politik tanpa esensi, politik nirmakna, politik yang dekonstruktif, sekali lagi saya khawatir itu hanya akan membuat wajah politik di Republik ini bakal terlihat semakin menjengkelkan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved