Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
KETIKA politik nasional sedang pada situasi yang dalam bahasa Presiden Joko Widodo kebanyakan drama dan sinetron, bahkan bumbu pertarungan perasaan lebih mendominasi ketimbang pertarungan ide dan gagasan, menjadi wajarkah bila publik semakin menghindar dan menjauh dari politik, termasuk dari ingar-bingar Pemilu 2024 yang kurang lebih tinggal 90 hari lagi bakal digelar?
Pertanyaan seperti itu mungkin tidak terlontar secara langsung. Namun, nuansa yang tertangkap dari suara-suara publik melalui media sosial, terutama dari kalangan generasi muda (milenial ataupun Gen Z), menunjukkan kecenderungan itu. Cukup banyak yang mempertanyakan apa urgensi mereka ikut berpartisipasi dalam perhelatan politik nasional di saat politik justru lebih banyak dimanfaatkan sekaligus dimainkan untuk kepentingan individu, keluarga, atau kelompok tertentu.
Mereka memang belum sampai termasuk golongan yang tak acuh terhadap politik atau apolitik, tapi sangat mungkin mengarah ke sana kalau tidak diberikan teladan bahwa sesungguhnya politik tidak semelodramatik itu. Mereka belum antipolitik, tetapi boleh jadi akan begitu kalau para aktor politik di tingkat elite tidak menghentikan sandiwara dan seluruh rekayasa pencitraan politik yang kerap mereka buat.
Harus diakui, rentetan peristiwa politik belakangan ini berkebalikan dengan harapan ideal publik. Alih-alih makin mengasyikkan, politik justru kian terlihat menjengkelkan. Bayangkan saja, bagaimana publik tidak jengkel dan makin apatis ketika, misalnya, narasi kegundahan tentang situasi politik saat ini yang lebih banyak berisi drama dan sinetron malah disampaikan oleh orang yang dianggap sebagai salah satu aktor, bahkan mungkin sutradaranya.
Bayangkan pula kedongkolan kalangan anak muda ketika melihat ada perwakilan generasi muda yang pada awalnya dianggap lumayan layak dijadikan contoh bagaimana kaum muda terjun ke dunia politik, eh tiba-tiba merangsek ke panggung tertinggi perpolitikan nasional dengan cara memanjat yang tak lazim. Bahkan kata mayoritas pakar, cara yang ditempuhnya (dengan dibantu ayah dan pamannya) sangat kotor dan merusak tatanan politik demokrasi itu sendiri.
Masih banyak contoh lain yang membuat wajah politik kita saat ini terlihat menyebalkan, bahkan memuakkan bagi sebagian kalangan milenial dan Gen Z. Itu sebabnya tempo hari tagar #kamimuak sempat bertengger cukup lama sebagai trending topic di sejumlah platform media sosial. Muak karena di saat mereka masih meragukan politik dan perangkatnya mampu mewakili pandangan dan kepentingan mereka, yang terus-menerus disodorkan ke hadapan mereka justru contoh perilaku politisi yang buruk.
Kalau diumpamakan, politik Indonesia hari ini ibarat sekeranjang buah yang isinya cuma dua macam: buah yang hampir busuk dan buah yang matang karena dikarbit. Tidak ada pilihan yang bagus, lalu bagaimana mau menarik perhatian pembeli? Begitu pun dengan politik kita, bagaimana mau menawarkan nilai lebih dari suatu proses politik ke publik (pemilih) kalau sebagian pilihan yang ada malah membuat senewen?
Politik kita juga unik. Secara reguler, setiap menjelang pemilu atau pilkada, kita sering mendengar seruan kepada masyarakat agar menjadi pemilih yang cerdas, pemilih yang mengedepankan nalar bukan sekadar emosional. Seruan yang tentunya bagus untuk memotivasi publik meningkatkan literasi mereka di bidang politik dan pemerintahan.
Namun, semua menjadi sia-sia karena di sisi lain, para pelaku peran di dunia politik justru acap menonjolkan perilaku yang tidak mencerminkan kecerdasan. Beberapa malah kadang rela menanggalkan dulu kecerdasan mereka demi syahwat politik yang tak berkesudahan. Sudah bisa ditebak, produk yang dihasilkan dari kelakuan seperti itu, ya tidak jauh-jauh dari drama pencitraan dan sinetron politik menyebalkan tadi.
Politik pada akhirnya bagaikan panggung besar yang disesaki para aktor peran dengan segmen drama masing-masing. Terkadang mereka bersekongkol, berkoalisi, bertengkar, bahkan dengan mudah dapat bertukar peran. Mereka, para politikus itu, lebih fokus melakoni drama demi meraih atensi dan simpati publik ketimbang mengurusi persoalan-persoalan masyarakat yang sejatinya menjadi tugas utama mereka.
Kalau begini terus, saya khawatir kalangan muda bakal semakin menjauh dari lingkaran partisipasi politik. Kalau yang terus dipertontonkan ke publik hanyalah seputar sandiwara politik tidak bermutu, politik tanpa esensi, politik nirmakna, politik yang dekonstruktif, sekali lagi saya khawatir itu hanya akan membuat wajah politik di Republik ini bakal terlihat semakin menjengkelkan.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved