Headline
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.
POLUSI di Jakarta dan sekitarnya belum berhenti menjadi perbincangan publik. Masih ramai. Sama ramainya dengan jumlah pasukan polutan jahat yang juga belum berhenti menyerang udara di Jabodetabek sampai membuat kadar kekotoran udara di Ibu Kota buruk seburuk-buruknya. Polusi itu, konon, sampai membuat kepala negara terbatuk-batuk. Sampai membuat ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan warga Jabodetabek terkena infeksi saluran pernapasan akut alias ISPA.
Tiba-tiba, pemerintah ramai pula mendiskusikannya. Tiba-tiba istana dan kantor gubernur rajin merapatkannya. Semua ramai, tapi serba-grasa-grusu, seolah-olah polusi datang secara tiba-tiba. Padahal, sejatinya polusi di Jakarta ialah persoalan lama, persoalan yang sejak dulu sudah ada dan terus diingatkan. Polusi udara bukan sesuatu yang ujug-ujug datang 1-2 bulan belakangan ini.
Polusi udara muncul sejak pemerintah tak mampu membendung asap operasional industri dan pabrik. Polusi bertambah banyak sejak negara tak bisa menyetop udara buangan kotor pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan semakin pekat ketika pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi tak bisa dihambat dan dikendalikan. Sejak saat itulah polusi udara menjadi problem serius di Jakarta dan sekitarnya, dan mungkin kota-kota besar lainnya.
Memang, sebelum ini polusi tak selalu ramai dibincangkan meskipun sebetulnya terus ada memayungi udara Jakarta. Kenapa? Karena hujan kerap menutup jejaknya dengan cepat. Curahan air dari langit itu yang membersihkan udara kotor. Kalaupun tidak terjadi hujan alami, bisa pula dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk membuat hujan artifisial. Hujan alami ataupun buatan sama-sama efektif mengikat kotoran yang berdiam di udara sekaligus membuangnya.
Karena terbiasa begitu, pemerintah sepertinya lupa cara menangani polusi dari hulunya. Mau yang praktis-praktis aja, mengandalkan hujan untuk menghapus polusi. Bereskan sisi hilirnya, persoalan hulu belakangan, toh yang penting polusi berkurang, udara kembali bersih, publik pun tak banyak protes karena dampaknya tak terlalu terasa.
Lalu, datanglah El Nino. Di saat El Nino datang, musim kemarau kering tiba, menunggu hujan ibarat menunggu Godot. Repotnya, mau melakukan TMC dengan metode cloud feeding untuk membuat hujan buatan, awan yang bakal disemai menjadi hujan juga tak muncul.
Itulah yang terjadi pada 24-27 Agustus lalu ketika tim gabungan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan TNI-AU membuat hujan buatan. Selama empat hari itu, sebanyak 4.800 kilogram garam (NaCl) dan 800 kilogram kapur tohor disemai di langit Jabodetabek dengan harapan hujan bakal mengguyur dengan deras.
Namun, apa mau dikata, awan 'gemuk' untuk bisa menyemai hujan tak banyak. Hasilnya, hujan lumayan deras hanya terjadi di pinggiran Jakarta, seperti Depok dan Tangerang. Itu pun tidak lama. Sementara, hujan di Jakarta relatif kecil, jauh dari kata cukup untuk membersihkan udara yang sudah terlampau pekat dengan polusi.
Padahal, Jakarta sedang dikejar waktu. KTT ASEAN sebentar lagi akan digelar, tepatnya pada 5-7 September mendatang. Biar enggak malu-maluin, pemerintah ingin setidaknya pada hari-hari penyelenggaraan itu langit dan udara Jakarta bisa bersih dari polusi. Karena itu, belakangan, langkah alternatif ditempuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu dengan melakukan TMC berskala mikro.
Cara pertama dengan menyiram jalanan Ibu Kota dan cara kedua, penyemprotan dari atas gedung menggunakan metode water mist system atau sistem kabut. Entahlah, seberapa efektif langkah-langkah itu untuk membersihkan udara dan mencerahkan langit Jakarta. Saya tidak yakin. Barangkali pemerintah juga tidak yakin, tetapi ketimbang tidak melakukan apa-apa, ya siapa tahu berhasil. Kalau gagal, coba cara lain.
Begitulah, dari cerita polusi tadi, kita bisa lihat bagaimana potret negeri ini dalam menangani persoalan. Mungkin tak hanya terhadap polusi, tapi juga persoalan di bidang lain. Kerap melupakan hulu masalah, lalu terkaget-kaget ketika masalahnya makin serius dan kompleks. Apa yang bisa dihasilkan dari kekagetan? Kebijakan yang reaksioner dan sangat mungkin trial and error.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved