Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Trial and Error

Ahmad Punto Dewan Redaksi Media Group
31/8/2023 05:00
Trial and Error
Ahmad Punto Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

POLUSI di Jakarta dan sekitarnya belum berhenti menjadi perbincangan publik. Masih ramai. Sama ramainya dengan jumlah pasukan polutan jahat yang juga belum berhenti menyerang udara di Jabodetabek sampai membuat kadar kekotoran udara di Ibu Kota buruk seburuk-buruknya. Polusi itu, konon, sampai membuat kepala negara terbatuk-batuk. Sampai membuat ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan warga Jabodetabek terkena infeksi saluran pernapasan akut alias ISPA.

Tiba-tiba, pemerintah ramai pula mendiskusikannya. Tiba-tiba istana dan kantor gubernur rajin merapatkannya. Semua ramai, tapi serba-grasa-grusu, seolah-olah polusi datang secara tiba-tiba. Padahal, sejatinya polusi di Jakarta ialah persoalan lama, persoalan yang sejak dulu sudah ada dan terus diingatkan. Polusi udara bukan sesuatu yang ujug-ujug datang 1-2 bulan belakangan ini.

Polusi udara muncul sejak pemerintah tak mampu membendung asap operasional industri dan pabrik. Polusi bertambah banyak sejak negara tak bisa menyetop udara buangan kotor pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan semakin pekat ketika pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi tak bisa dihambat dan dikendalikan. Sejak saat itulah polusi udara menjadi problem serius di Jakarta dan sekitarnya, dan mungkin kota-kota besar lainnya.

Memang, sebelum ini polusi tak selalu ramai dibincangkan meskipun sebetulnya terus ada memayungi udara Jakarta. Kenapa? Karena hujan kerap menutup jejaknya dengan cepat. Curahan air dari langit itu yang membersihkan udara kotor. Kalaupun tidak terjadi hujan alami, bisa pula dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk membuat hujan artifisial. Hujan alami ataupun buatan sama-sama efektif mengikat kotoran yang berdiam di udara sekaligus membuangnya.

Karena terbiasa begitu, pemerintah sepertinya lupa cara menangani polusi dari hulunya. Mau yang praktis-praktis aja, mengandalkan hujan untuk menghapus polusi. Bereskan sisi hilirnya, persoalan hulu belakangan, toh yang penting polusi berkurang, udara kembali bersih, publik pun tak banyak protes karena dampaknya tak terlalu terasa.

Lalu, datanglah El Nino. Di saat El Nino datang, musim kemarau kering tiba, menunggu hujan ibarat menunggu Godot. Repotnya, mau melakukan TMC dengan metode cloud feeding untuk membuat hujan buatan, awan yang bakal disemai menjadi hujan juga tak muncul.

Itulah yang terjadi pada 24-27 Agustus lalu ketika tim gabungan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan TNI-AU membuat hujan buatan. Selama empat hari itu, sebanyak 4.800 kilogram garam (NaCl) dan 800 kilogram kapur tohor disemai di langit Jabodetabek dengan harapan hujan bakal mengguyur dengan deras.

Namun, apa mau dikata, awan 'gemuk' untuk bisa menyemai hujan tak banyak. Hasilnya, hujan lumayan deras hanya terjadi di pinggiran Jakarta, seperti Depok dan Tangerang. Itu pun tidak lama. Sementara, hujan di Jakarta relatif kecil, jauh dari kata cukup untuk membersihkan udara yang sudah terlampau pekat dengan polusi.

Padahal, Jakarta sedang dikejar waktu. KTT ASEAN sebentar lagi akan digelar, tepatnya pada 5-7 September mendatang. Biar enggak malu-maluin, pemerintah ingin setidaknya pada hari-hari penyelenggaraan itu langit dan udara Jakarta bisa bersih dari polusi. Karena itu, belakangan, langkah alternatif ditempuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu dengan melakukan TMC berskala mikro.

Cara pertama dengan menyiram jalanan Ibu Kota dan cara kedua, penyemprotan dari atas gedung menggunakan metode water mist system atau sistem kabut. Entahlah, seberapa efektif langkah-langkah itu untuk membersihkan udara dan mencerahkan langit Jakarta. Saya tidak yakin. Barangkali pemerintah juga tidak yakin, tetapi ketimbang tidak melakukan apa-apa, ya siapa tahu berhasil. Kalau gagal, coba cara lain.

Begitulah, dari cerita polusi tadi, kita bisa lihat bagaimana potret negeri ini dalam menangani persoalan. Mungkin tak hanya terhadap polusi, tapi juga persoalan di bidang lain. Kerap melupakan hulu masalah, lalu terkaget-kaget ketika masalahnya makin serius dan kompleks. Apa yang bisa dihasilkan dari kekagetan? Kebijakan yang reaksioner dan sangat mungkin trial and error.



Berita Lainnya
  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima

  • Keabadian Mahaguru

    22/7/2025 05:00

    IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.

  • Macan Kertas Pertimbangan MK

    21/7/2025 05:00

    ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.