Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
SAYA hakul yakin tidak banyak orang Indonesia yang tahu kalau besok, tanggal 25 Agustus, ialah Hari Perumahan Nasional. Tidak semata lantaran hari itu bukan merupakan hari libur nasional sehingga mereka tidak peduli, tetapi memang karena isu di sektor perumahan selama ini tidak dipandang sebagai isu yang seksi. Ia hampir selalu terlupakan dan tenggelam di antara perbincangan tentang isu-isu kepublikan lain.
Namun, tak bisa juga menyalahkan publik karena sesungguhnya ketidaktahuan dan ketidakpedulian mereka adalah refleksi dari minimnya perhatian pemerintah terhadap sektor perumahan. Coba saja lihat di pemerintahan sekarang, di balik kengototan pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur dan beberapa proyek mercusuar, ada potret yang memiriskan tentang kurangnya kesungguhan negara membangun sektor perumahan.
Selama sembilan tahun terakhir ini, urusan perumahan digabung dalam satu kementerian dengan urusan infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Harapannya dulu, kebijakan pemenuhan perumahan bagi masyarakat akan lebih holistik karena perumahan dan infrastruktur sangat berkait erat. Pikiran sederhananya, mustahil membangun perumahan tanpa kesiapan infrastruktur di sekitarnya.
Akan tetapi, apa yang terjadi? Semakin ke sini semakin jelas terlihat ada ketimpangan perhatian terhadap dua sektor itu. Urusan perumahan seolah hanya kegiatan tambahan di antara kesibukan kementerian tersebut mengurusi infrastruktur. Kalau bisa jalan, syukur, kalau tidak bisa, ya tidak apa-apa. Terobosan nyaris tak tampak. Yang muncul malah persoalan yang sebetulnya dari dulu, ya itu-itu saja.
Mau bukti? Presiden Joko Widodo saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) XVII Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) di Jakarta, beberapa waktu lalu, menyodorkan angka kekurangan (backlog) kepemilikan rumah saat ini sebesar 12,1 juta unit. Menurut Presiden, backlog itu ialah sebuah opportunity, sebuah peluang yang bisa dimanfaatkan oleh pengembang.
Mohon maaf, Pak Presiden, kalau kita lihat lagi data-data lama, backlog rumah itu terus berkutat di angka segitu-segitu saja. Pernah di 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut backlog secara nasional mencapai 13,6 juta unit rumah. Lima tahun kemudian, 2015, Kementerian PU-Pera merilis angka backlog sudah turun menjadi 11,4 unit. Kini, menurut data yang dipaparkan Presiden, lho kok malah naik lagi menjadi 12,1 juta unit.
Ini salah yang survei sehingga menghasilkan angka yang naik turun tak jelas itu, atau memang pemerintahnya yang tak menghasilkan prestasi dalam hal penurunan backlog? Harus kita ingat bahwa di dalam angka backlog itu, sebagian besar atau bahkan semua ialah menyangkut pemenuhan rumah bagi kalangan menengah bawah. Dalam bahasa perumahan sering diistilahkan sebagai masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Artinya, merekalah yang sebetulnya belum terlayani kebutuhan utamanya akibat minimnya kesungguhan pemerintah mengurusi sektor papan.
Padahal, dahulu, Bung Hatta sudah mewanti-wanti, "Cita-cita untuk terselenggaranya kebutuhan perumahan rakyat bukan mustahil apabila kita sungguh-sungguh mau dengan penuh kepercayaan. Semua pasti bisa." Kalimat itu disampaikan Sang Proklamator saat membuka Kongres Perumahan Rakyat Sehat, 25 Agustus 1950. Tanggal itu pula yang kemudian dijadikan dasar penentuan Hari Perumahan Nasional.
Ya, persoalannya memang ada di kemauan dan kesungguhan. Kemauan dan kesungguhan dari pemimpin negeri untuk menguatkan politik perumahan sampai hari kiranya ini belum juga tampak. Sampai-sampai seorang kawan pengamat properti senior dengan gaya kelakarnya pernah berujar, "Jangan-jangan tanpa diurus negara sama sekalipun, industri perumahan rakyat tetap akan jalan seperti biasa dan dengan kecepatan sama?"
Tentu saja itu sarkasme. Sebuah bentuk sindiran bahwa selama ini negara memang tidak total mendukung sektor perumahan. Setengah hati.
Akibatnya, dalam mendukung pengembangan hunian bagi MBR pun mereka kedodoran. Tidak mengherankan bila untuk soal perumahan, banyak petuah yang menyarankan agar kita tidak perlu berekspektasi terlalu tinggi terhadap pemerintahan ini. Lagi pula apa yang bisa diharapkan dari sisa waktu setahun pemerintahan, apalagi akan diselingi dengan gelaran kontestasi politik?
Barangkali akan lebih afdol kalau kita menggantungkan harapan itu kepada rezim pemerintahan berikutnya hasil Pemilu 2024. Mumpung kandidat-kandidat pemimpin sudah bermunculan, mesti diingatkan sedari awal bahwa ada satu tugas besar yang selama ini kerap dilupakan pemimpin-pemimpin sebelumnya, yaitu merumahkan rakyat. Mengakselerasi pemenuhan hunian bagi seluruh rakyat seperti cita-cita Bung Hatta semestinya menjadi prioritas, bukan sekadar kegiatan tambahan yang dikerjakan ala kadarnya.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved