Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
ADA falsafah Jawa yang sampai saat ini masih relevan kita simpan sebagai pegangan mengarungi hidup: ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh. Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, makna falsafah yang sejatinya bersumber dari pesan pujangga Ranggawarsita itu, kira-kira, ialah 'jangan gampang kaget/terkejut, jangan gampang heran/terpukau, jangan mentang-mentang'.
Dalam bidang apa pun, untuk siapa pun, sampai kapan pun, ajaran 'tiga jangan' itu tampaknya bisa masuk. Terlebih buat para pemimpin dan calon pemimpin, baik pemimpin di lingkup terkecil maupun level yang paling besar seperti negara. Kiranya bakal lebih dekat kepada kemudaratan kalau kita punya pemimpin yang kagetan, gumunan, sekaligus suka mentang-mentang atau aji mumpung.
Mungkin tidak perlu sampai tiga-tiganya. Satu saja dulu soal kagetan. Satu sifat itu saja sudah mencerminkan bukan ciri-ciri pemimpin yang baik. Orang yang suka kagetan konon jiwanya kecil. Lantas bagaimana kalau orang yang jiwanya kecil itu harus memimpin orang banyak dengan semua persoalan dan tantangan yang harus ia panggul di pundaknya? Bisa-bisa kerjanya hanya terkaget-kaget setiap hari.
Lebih celaka lagi kalau sikap kagetan itu ditunjukkan hanya sebagai gimik. Berpura-pura mudah kaget demi menarik simpati. Pura-pura terkejut mendengar harga telur ayam sampai Rp40 ribu/kilogram saat blusukan, misalnya, cuma biar kelihatan punya empati dan kepedulian terhadap apa yang dirasakan masyarakat banyak. Padahal, sebagai pemimpin atau calon pemimpin, ia mestinya tahu persis akar persoalannya melalui data dan fakta yang selalu ia dapatkan.
Yang ditunggu dari seorang pemimpin ialah kebijaksanaan dan solusi atas permasalahan yang ada, bukan wajah atau malah topeng kekagetan. Bila pemimpin mudah kaget (betulan), sedikit-sedikit kaget atas kondisi rakyatnya, sangat mungkin ia akan lebih sering mengambil kebijakan reaksioner, hanya didasari emosional tanpa konsep dan analisis yang jelas. Ujung-ujungnya, kebijakannya bisa keliru atau jauh dari kata solusi.
Lain lagi kalau pemimpin suka memamerkan kekagetan palsu, boleh jadi dia bahkan tidak bakal menawarkan solusi apa-apa karena memang bukan itu tujuan dia. Menemukan jalan keluar jadi urusan nomor sekian, syukur-syukur ada, tapi kalau tidak ada ya tidak masalah. Yang penting dia sudah menunjukkan empati (dengan kekagetannya) dan di saat yang sama ia berharap simpati publik balik datang ke dia.
Kata The Beatles, kehidupan ini ibarat 'long and winding road''. Kadang kita disuguhi jalanan yang lurus dan mulus, tetapi tikungan, kelokan, bahkan jalan terjal juga akan selalu muncul dan mesti dilewati. Di balik turunan pasti ada tanjakan, begitu adagium yang kerap jadi patokan para pehobi sepeda alias goweser.
Begitu pun dalam kehidupan berbangsa, dinamika persoalannya tak pernah berhenti, apalagi berakhir. Kalau yang kita hadapi jalanan mulus terus, barangkali tidak terlalu masalah punya pemimpin kagetan. Namun, bagaimana ketika tiba-tiba jalan terjal berliku nongol di depan mata, apa iya kita mau membiarkan si pemimpin kagetan menuntun langkah kita, sementara dia sendiri terkaget-kaget sepanjang jalan?
Kalau sudah begini, tampaknya masyarakat yang harus lebih cerdas menyikapi. Terutama bagi golongan generasi muda, jangan malah ikut-ikutan kagetan. Biarlah perilaku itu jadi gimik orang-orang tua kolot yang secara fisik dan usia memang makin gampang terkena serangan kagetan.
Jika bicara dalam konteks memilih pemimpin negeri, publik masih punya waktu sekitar tujuh bulan sebelum pelaksanaan Pemilu 2004, Februari 2024 mendatang. Dengan tidak ikut gampang terkena sindrom kaget, rakyat bisa lebih matang dalam memilah mana pemimpin atau calon pemimpin yang kagetan dan mana yang tidak. Mana pula pemimpin yang hanya mengandalkan reaksi dan mana pemimpin yang memiliki visi.
Tidak seperti dulu, kini informasi soal calon pemimpin atau wakil rakyat melimpah ruah di ruang-ruang dunia maya. Visinya apa, rencana programnya bagaimana, rekam jejaknya seperti apa, arah politiknya ke mana, dan rupa-rupa informasi lain. Begitu pula informasi dan data perihal isu-isu nasional bahkan global, di berbagai sektor, yang akan menjadi tantangan bangsa ini ke depan.
Semua terpampang lebar di era keterbukaan informasi. Jadi, sebetulnya tidak ada alasan buat kita untuk ikut-ikutan menjadi masyarakat yang kagetan, gampang terbengong-bengong, atau bahkan jadi masyarakat yang mudah terpukau alias gumunan.
Kalau masih gampang terkaget-kaget, masih suka terbengong-bengong, berarti tidak ada bedanya dengan pemimpin yang kagetan. Antara malas menggali informasi, fakta, dan data, atau memang mereka sedang berpura-pura bodoh.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved