Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
APAKAH Indonesia termasuk negara gagal versi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) seperti yang kini sangat ramai diperdebatkan di media sosial? Jawabannya: tergantung dari sudut mana kita memandang. Tapi, jika pertanyaannya diganti menjadi: apakah Indonesia bisa menjadi negara gagal sebagaimana disampaikan oleh PBB? Jawabannya amat benderang: bisa.
Perdebatan soal apakah Indonesia masuk sebagai salah satu negara gagal versi PBB ramai di media sosial beberapa hari terakhir. Pemicunya ialah tweet yang diunggah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan (@AnthonyBudiawan).
Ia mengatakan bahwa negara yang membayar bunga pinjaman lebih besar daripada anggaran kesehatan atau pendidikan masuk kategori negara gagal sistemik.
Faktanya, bunga utang yang mesti dibayar oleh pemerintah masih di bawah anggaran pendidikan, tapi di atas anggaran kesehatan. Justinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bidang Komunikasi Strategis, menegaskan Indonesia masuk kategori negara berpendapatan menengah versi Bank Dunia.
Justinus memaparkan fakta total anggaran pendidikan dan kesehatan dalam APBN 2022 yang mencapai Rp649 triliun, atau 168% dari total belanja bunga utang Rp386 triliun. Tapi, itu anggaran gabungan. Bila kita pilah satu per satu, akan terlihat bahwa apa yang dikritisi oleh Anthony Budiawan tidak sepenuhnya meleset.
Pada APBN tahun lalu, total anggaran pendidikan Rp472,6 triliun. Itu lebih besar daripada anggaran untuk membayar bunga utang yang Rp386 triliun. Tapi, bila perbandingannya ialah anggaran kesehatan, kritik Anthony benar. Total anggaran kesehatan di APBN 2022 ialah Rp176,7 triliun, atau kurang dari separuh biaya untuk membayar bunga utang.
Anthony boleh jadi benar karena menggunakan kata 'atau' di antara kata 'pendidikan kesehatan'. Berbeda dengan Justinus yang menggunakan kata 'dan' di tengah-tengah kata 'pendidikan kesehatan'. Anthony memilih salah satu, sedangkan Justinus menggabungkan keduanya.
Asal mula perbincangan soal 'negara gagal' diungkapkan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres. Ia menyebut separuh dunia tenggelam dalam bencana pembangunan yang dipicu krisis utang. Bahkan, PBB mengeklaim sekitar 3,3 miliar orang hidup di negara yang terlilit utang. Negara tersebut lebih banyak menghabiskan anggaran mereka untuk membayar bunga utang ketimbang untuk pendidikan atau kesehatan.
Dari situlah mulai muncul narasi bahwa jangan-jangan Indonesia termasuk salah satu negara yang tenggelam dalam bencana pembangunan itu. Apalagi, Sekjen PBB menggunakan kata 'atau' di tengah kata 'pendidikan kesehatan'. Guterres memberikan peringatan tersebut terutama untuk negara miskin, seperti Afrika, yang memiliki tingkat bunga utang paling tinggi, yakni 11,6%.
Guterres memang tidak menunjuk 'hidung' Indonesia secara langsung. Tapi, saya termasuk yang yakin bahwa peringatan Sekjen PBB itu amat mungkin melanda Indonesia bila kehati-hatian dalam mengelola utang mengendur. Rasio utang terhadap produk domestik bruto yang berada di angka 38%, meski masih dalam batas yang diperkenankan undang-undang, mesti segera diwaspadai.
Apalagi, potensi angka utang Indonesia masih akan membesar. Itu karena neraca APBN masih defisit. Juga, pagu rasio utang terhadap PDB masih terbuka bagi negara untuk menambah utang. Padahal, kita tidak tahu sampai kapan ketidakpastian global akan berlangsung.
Baik kiranya kita simak kembali analisis peneliti penting Daron Acemoglu (Institut Teknologi Massachusetts) dan James A Robinson (Universitas Harvard), yang mereka tuliskan dalam buku Mengapa Negara Gagal?. Menurut mereka, kemajuan atau kemunduran suatu negara ditentukan oleh desain institusi politik dan ekonominya.
Suatu negara dapat terus berjalan dan mencapai kemakmuran bila dikelola dengan sistem yang tepat, bukan tergantung orang. Meskipun negara kaya sumber daya alam dan ditopang iklim yang mendukung (seperti Indonesia), bisa saja menjadi negara gagal bila tidak dijalankan dengan sistem yang tepat.
Kedua akademisi itu memisahkan institusi politik dan ekonomi ke dalam dua bentuk: inklusif dan ekstraktif. Institusi politik ekonomi inklusif bersandar pada kebijakan yang tidak hanya menguntungkan kaum elite, tapi juga memberi kemakmuran kepada rakyat. Sebaliknya, institusi ekstraktif terjadi ketika sumber daya hanya dikuasai segelintir orang (oligarki) yang didukung kekuatan politik dan kekuasaan.
Dalam sistem kebijakan politik ekonomi inklusiflah pengelolaan utang mesti disandarkan agar negeri ini terhindar dari jerat utang yang mendatangkan petaka pembangunan. Jadi, beri ruang partisipasi publik untuk bicara utang, termasuk kritik pedas sekalipun. Pemerintah enggak perlu terus-menerus menangkis, apalagi nyolot, saat ada yang mengkritisi soal utang.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved