Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
BERSABAR dan tabah dalam mengelola demokrasi tidaklah gampang. Ia butuh energi penuh. Ia perlu tenaga ekstra. Ibarat perlombaan lari, mengelola demokrasi itu lomba maraton, bukan sprint.
Pesan itu pula kiranya yang bisa kita tangkap dari pernyataan Anies Baswedan, bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, saat menjadi salah satu pembicara kunci pada acara Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), pekan lalu. Ketika ditanya tentang keberlanjutan Ibu Kota Nusantara (IKN), Anies bicara tentang otot politik.
Menurut Anies, segala sesuatu yang direncanakan dengan baik dan memiliki pijakan kuat, tidak perlu otot politik untuk melaksanakannya. Segala sesuatu yang memiliki pijakan baik itu, apakah program pembangunan atau proyek apa pun, akan menggelinding dengan sendirinya karena rakyat pasti bakal mendukung penuh.
Otot politik itu menggunakan segala sumber daya kekuasaan untuk mengegolkan suatu program kendati program itu masih dalam pertanyaan. Para pengguna otot politik umumnya menihilkan partisipasi publik, hal yang jadi penanda utama demokrasi. Dengan otot politik, penguasa merasa programnya mahabenar.
Dalam ketabahan demokrasi, proses penyelenggaraan program pemerintah dimulai dari bawah. Salah satunya dengan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan. Pemilik ide program akan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat, kemudian mempersuasi sehingga semua masalah bisa diselesaikan.
Sebaliknya, dalam program yang mengandalkan otot politik, perencanaan tidak dilakukan melalui musyawarah dan mufakat dari bawah ke atas. Pendekatan kepada masyarakat dilakukan dari atas ke bawah. Maka, untuk jangka panjang, program dengan mendayagunakan otot politik ini akan bermasalah.
Pesan Anies itu sangat jelas, bahwa dalam mengupayakan apa pun jangan menggunakan kekerasan, jangan menggunakan cara-cara pemaksaan, jangan menggunakan komunikasi satu arah dari atas ke bawah. Cara-cara penggunaan otot politik itu sudah usang. Ia kelihatan efektif, tapi suatu saat akan menjadi bom waktu.
Dalam kesabaran berdemokrasi, dialog dengan masyarakat menjadi prasyarat dalam menjalankan sebuah program. Suara masyarakat amat perlu didengarkan dalam merumuskan suatu kebijakan. Dengar dulu keinginan masyarakat, baru dirumuskan. Bukan hanya menurut sudut pandang pemerintah.
Kasus pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja mestinya menjadi pembelajaran, bahwa beleid yang menihilkan partisipasi publik akan menjadi noda sejarah pembentukan undang-undang kita. Sampai kapan pun, undang-undang yang oleh Mahkamah Konstitusi disebut 'inkonstitusional bersyarat', itu akan menjadi cacat sejarah.
Pemerintah yang menolak menggunakan otot politik akan menomorsatukan pertimbangan teknokratis daripada pertimbangan politis. Kekuasaan yang tabah dalam menjalankan demokrasi akan membiarkan teknokrasi mendominasi. Prinsipnya, bila program atau kebijakan itu baik secara assessment, jalankan dengan sungguh-sungguh. Namun, bila harus dikoreksi tunjukkan letak koreksinya.
Sebaliknya, kekuasaan yang mengandalkan otot politik akan mendasarkan keputusan berdasarkan selera dan aspirasi pribadi dalam pertimbangannya. Tidak ada pandangan para ahli, para teknokrat.
Tidak ada yang instan dalam berdemokrasi. Butuh waktu panjang untuk setia pada prinsip-prinsip kesetaraan dan kedaulatan rakyat. Kedua nilai itu memerlukan kesabaran untuk terus memperjuangkannya. Tentu, tidak dengan otot politik. Benar kata Rendra, kesabaran adalah bumi.*
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved