Headline

Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.

Fokus

Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.

Tukang Kritik

Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group
11/7/2022 05:00
Tukang Kritik
Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

KRITIK hakikatnya ialah oksigen bagi paru-paru demokrasi. Ketika kritik dibungkam, demokrasi menjemput ajalnya, proses koreksi dan pengawasan pun terabaikan.

Hanya negara yang pejabatnya otoriter yang mati-matian membungkam kritik. Akan tetapi, pejabat otoriter sekalipun tetap sadar bahwa kritik menjadi tuntutan peradaban modern. Karena itu, ia ingin dikenang sebagai pejabat yang demokratis.

Di panggung depan ia minta dikritik. Ia menyebut kritik dan dukungan sama penting baginya dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, di panggung belakang sudah disiapkan regulasi yang setiap saat bisa menjerat tukang kritik.

Tidak terbilang tukang kritik yang dikirim ke bui. Mereka dijerat dengan pasal-pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Tukang kritik menarik napas lega tatkala pada 4 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi menyimpan pasal-pasal penghinaan itu dalam peti mati lewat putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Sejak itu proses berbangsa dan bernegara tidak lagi berjalan di tengah kesepian kritik.

Kritik pun mulai panjat sosial. DPR secara resmi menggelar lomba meme dan stand up comedy bertajuk Kritik DPR pada 30 Agustus 2018. Lega rasanya mendengar pidato Ketua DPR saat itu Bambang Soesatyo yang kini menjadi Ketua MPR. Ia mengatakan kritik terhadap DPR tak boleh mati.

Sama leganya mendengarkan pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2019. “Kita tidak boleh alergi terhadap kritik. Bagaimanapun kerasnya kritik itu harus diterima sebagai wujud kepedulian, agar kita bekerja lebih keras lagi memenuhi harapan-harapan rakyat,” ucap Presiden Jokowi.

Setelah 16 tahun berlalu muncul lagi keinginan untuk menghidupkan pasal-pasal yang sudah masuk peti mati itu. Jika dihidupkan lagi, tidak salah untuk menyebutnya sebagai pasal-pasal zombi.

Pasal-pasal zombi itu diberi napas buatan dalam Rancangan KUHP yang saat ini dibahas DPR bersama pemerintah. Alasannya untuk menjaga martabat dan harkat presiden dan wakil presiden dengan sedikit modifikasi penjelasan bahwa boleh kritik asal konstruktif dan sedapatnya mungkin memberikan baik suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan dengan cara yang objektif.

Boleh-boleh saja membangun argumentasi pasal zombi untuk membangun kritik yang sesuai dengan budaya politik negeri ini. Kritik yang konstruktif dan berdasarkan budaya Pancasila.

Kritik yang sesuai budaya itu sesungguhnya masih berada dalam kegelapan yang wujudnya bisa diketahui dalam proses meraba-raba. Bukankah negeri ini memiliki beragam budaya yang proses kritiknya berbeda-beda cara? Ada budaya yang menghaluskan kritik, ada pula yang berterus terang sampai kuping tipis memerah.

Perdebatan soal kritik dalam RKUHP jangan sampai berujung mencari-cari format baku kritik ala Indonesia. Ujung-ujungnya kritik yang sesuai dengan budaya Pancasila diartikan sebagai tidak boleh ada kritik.

Kiranya perlu diingatkan bahwa pengalaman berbangsa dan bernegara di atas muka bumi ini, setiap upaya membungkam kritik hanya melanggengkan kediktatoran. Setiap upaya mematikan aspirasi hanyalah mempercepat jatuhnya rezim.

Seno Gumira Ajidarma dalam epilog buku Matinya Tukang Kritik (2006) karya Agus Noor mengatakan dunia bertambah sempurna karena kontribusi sikap kritis, dan karena itu berlaku diktum: kritik itu mutlak perlu demi kemajuan zaman dan kebaikan bersama. Setuju, kritik itu mutlak, yang penting substansi bukan bungkusannya.

Kritik tidak mesti dibungkus dalam penghalusan kata. Agus Noor memberi contoh kritik dengan sarkasme. “Tapi, percayalah! Sebagai ‘calon Menteri Kesehatan Republik Indonesia’, Saya cukup sehat. Detak jantung saya 150 knot/jam. Ini jelas lebih baik, jika dibandingkan dengan rata-rata kualitas kesehatan para anggota legislatif kita yang menderita anemia, hingga mereka jadi gampang lelah, ngantuk, dan tertidur ketika sidang.”

Kiranya pembuat undang-undang tidak menderita anemia pada saat membahas RKUHP yang digagas sejak 1963. RKUHP sudah dibahas DPR periode 2009-2014, dilanjutkan lagi DPR periode 2014-2019, kemudian DPR periode 2019-2024.

Salah satu faktor yang membuat RKUHP tak kunjung disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang ialah kekuatan suara tukang kritik melalui parlemen jalanan.

Sudah saatnya pembuat undang-undang mendengarkan tukang kritik. Kata WS Rendra, apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, hidup akan menjadi sayur tanpa garam, lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan, tidak mengandung perdebatan, dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.

Monopoli kekuasaan itulah yang sedang dibangun dalam RKUHP dengan menghidupkan pasal zombi. Karena itu, setiap upaya membungkam tukang kritik harus ditolak. Jika masih lolos, bolehlah diuji di Mahkamah Konstitusi.



Berita Lainnya
  • Negosiasi Vietnam

    12/7/2025 05:00

    DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.

  • Akhirnya Komisaris

    11/7/2025 05:00

    PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.

  • Tiga Musuh Bansos

    10/7/2025 05:00

    BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.

  • Senjata Majal Investasi

    09/7/2025 05:00

    ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.

  • Beban Prabowo

    08/7/2025 05:00

    Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

  • Senja Kala Peran Manusia

    07/7/2025 05:00

    SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.

  • Dokter Marwan

    05/7/2025 05:00

    "DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."  

  • Dilahap Korupsi

    04/7/2025 05:00

    MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.

  • Museum Koruptor

    03/7/2025 05:00

    “NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”

  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

Opini
Kolom Pakar
BenihBaik