Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
SEORANG teman dalam grup percakapan Whatsapp membagi tautan dari Facebook berisi ‘penjelasan ilmi ah’ tentang ‘ulama sejuk’ dan ‘ulama keras’. Meskipun memakai istilah ‘penjelasan ilmiah’, jatuhnya tetap saja menghadap- hadapkan, menggampangkan kesimpulan (cenderung stigmatisasi juga), dan jauh dari metode penjelasan ilmiah yang ketat. Kontan saja, tulisan itu memantik pro dan kontra anggota grup WA.
Di beberapa grup percakapan lainnya, dikotomi serupa dengan sebutan berbeda juga marak terjadi. Ada yang membaginya dengan istilah ‘ustaz sejuk’ dan ‘ustaz keras’. Kendati beda sebutan, framing dalam konten itu sama: cenderung nyinyir kepada mereka yang suka ‘sosok sejuk’ dan ‘menaikkan derajat’ mereka yang condong ke ‘sosok keras’.
Misalnya tulisan ‘penjelasan ilmiah’ seperti berikut ini: “Saudara sepupu saya sangat mengidolakan beberapa ulama yang dia sebut ulama sejuk. Sebaliknya, dia sangat anti dengan beberapa ulama yang dia sebut ulama garis keras. Alasan dia, ulama harus bertutur kata lembut. Mengajak dan menasihati. Bukan membuat orang jadi saling membenci. Tentu saja sikap sepupu saya ini sangat lumrah.”
Sang penulis lalu melanjutkan, “Saya bilang, tidak ada yang salah dengan sikap untuk lebih menyukai ‘ulama-ulama sejuk’ tadi. Hanya saja jadi salah kalau dilanjut dengan sikap membenci ulama-ulama yang dianggap garis keras. Ajaran Islam bukan cuma mengajak dan menasihati. Tapi juga ‘melarang’. Setiap orang Islam diwajibkan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Mengajak ke kebaikan dan mencegah kemungkaran.”
Sampai di sini saya masih bisa memahami logika sang penulis. Sampai kemudian mata saya tertuju pada deretan kalimat berikutnya: “Sudah sifat manusia lebih senang diajak daripada dicegah. Lebih suka dinasihati daripada dilarang. Makanya wajar kalau pemabuk, penjudi, agen narkoba, koruptor, dan penjahat lainnya lebih senang dengan ‘ulama sejuk’ yang cuma menasihati daripada ‘uama garis keras’ yang akan melarang dan mencegah aktivitas dosa mereka.”
Sang penulis juga berkesimpulan bahwa beban ‘ulamaulama’ yang berani berceramah untuk mencegah kemungkaran jauh lebih berat dan berisiko daripada ulama yang lebih memilih ‘ceramah sejuk’.
Ulama-ulama sejuk, lanjut dia, biasanya juga akan disukai penguasa. Sebaliknya, ulama-ulama yang ‘berani nahi munkar’ akan dibenci oleh penguasa. Itu karena--ini kesimpulan dia yang gampangan--penguasa dan kekuasaan sangat identik dengan kezaliman dan orang-orang zalim. Ia pun mempertanyakan, kenapa ‘kita-kita yang bukan penjahat’ juga keberatan dengan ‘ulama garis keras’?
Sang penulis akhirnya terjebak pada kesimpulan yang berisi ‘vonis’. Kata dia, “Bagi saudara-saudara muslim (atau yang mengaku Islam) yang cuma mencintai ulama-ulama sejuk dan sebaliknya membenci ‘ulama garis keras’, menurut saya keimanan dan keislaman Anda baru separuh.”
Saya lalu menulis di WAG demi menanggapi tulisan yang katanya ‘ilmiah’ tapi nyatanya tendensius, tersebut dengan kalimat sederhana: keras itu bukan berarti kasar. Keras itu tegas dan penuh prinsip. Sedangkan kasar itu penuh amarah, kegeraman, kekotoran, dan kebencian.
Buya HAMKA, Gus Dur, Buya Syafi i Maarif, KH Musthofa Bisri itu keras dan tegas pada masalah-masalah yang prinsip, namun tidak kasar. Banyak hal prinsip mereka sampaikan dengan tegas, lugas, keras, tapi tidak kasar. Cara mereka tetaplah sejuk, tidak menebar kebencian, tanpa kata makian, pula tanpa ujaran kebencian.
Merekalah para teladan bahwa dakwah itu mengajak bukan mendepak, merangkul bukan memukul, meneguhkan bukan menceraiberaikan, menjelaskan bukan mengeluarkan makian. Apakah kesejukan mereka, ketidakkasaran mereka, merupakan bentuk ‘penghambaan’ terhadap kekuasaan? Jelas tidak. Beberapa kali para sosok tersebut berseberangan dengan pemerintah dan kebijakan negara.
Toh, mereka tetap sejuk, menyampaikan kritik dengan takaran yang keras, tapi tidak kasar. Risiko mereka juga tak kalah tinggi bila dibandingkan dengan sosok-sosok pengumbar kekasaran.
Saya kok yakin, kadar keimanan dan keislaman orangorang yang menyukai mereka sangat tinggi, jauh lebih dari separuh sebagaimana yang dipersangkakan tadi (tentu penilai kadar yang sesungguhnya ialah Yang Maha Tahu). Justru mereka itu mengamalkan perintah Tuhan: ‘Ajaklah orang-orang menuju jalan Tuhan dengan hikmah dan caracara yang baik. Bila ada perdebatan (adu argumentasi), lakukanlah dengan cara yang baik, penuh keadaban’.
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved