Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Korupsi Politik Dimulai dari Pemilu yang Kotor

Tri Subarkah
18/7/2024 17:44
Korupsi Politik Dimulai dari Pemilu yang Kotor
Petugas KPPS berjaga di depan bilik suara di TPS(ANTARA FOTO/Olha Mulalinda)

FENOMENA korupsi politik atau praktik korupsi yang dilakukan oleh figur politik dimulai dari proses pemilu maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) yang kotor. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara sama-sama berperan penting untuk melahirkan calon pemimpin dan wakil rakyat yang bersih.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenur Rohman menekankan pentingnya penegakan hukum antipolitik uang pada gelaran Pilkada 2024. Praktik culas dalam pilkada, sambungnya, dapat dimulai sejak proses pencalonan kepala daerah.

"Mulai dari candidacy buying sampai vote buying, ini harus diberantas. Kalau mau menyelamatkan masa depan demokrasi bangsa ini, agar bermakna dan tidak transaksional materialistis, itu harus memberantas politik uang," kata Zaenur kepada Media Indonesia, Kamis (18/7).

Baca juga : Ongkos Politik Mahal Penyebab Utama Kasus Korupsi

Menurut Zaenur, KPU harus mewajibkan bakal calon kepala daerah untuk melaporkan harta kekayaan sebelum ditetapkan sebagai calon. Hal tersebut penting sebagai bahan pertimbangan bagi pemilih sebelum menentukan pilihannya.

"Sedangkan bagi Bawaslu, harus menggencarkan gerakan antipolitik uang di masyarakat, termasuk menyiapkan instrumen pengawasan sebaik mungkin agar nantinya bisa menanggulangi politik uang," terangnya.

Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia 2024 di angka 3,85 poin. Skor itu turun jika dibanding 2023, yakni 3,92 poin. Bagi Zaenur, Pemilu 2024 turut memperparah skor IPAK Indoesia. Pasalnya, masyarakat dinilai lebih permisif terhadap politik uang.

Baca juga : Bukan Mahar, melainkan Biaya Saksi

Ia menilai, sikap permisif itu juga didorong oleh mulai putus harapannya publik dalam menyikapi pemberantasan korupsi di Tanah Air dengan keruntuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta masih bercokolnya mafia hukum.

"ini tentu bisa berdampak besar pada upaya pemberantasan korupsi ke depannya. Dengan sikap permisifnya masyarakat yang sangat tinggi seperti itu, semakin susah untuk memberantas korupsi," tandas Zaenur.

KPU Lebih Aktif Telusuri Rekam Jejak Cakada

Terpisah peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah, meminta KPU untuk lebih aktif melakukan penelusuran rekam jejak para calon kepala daerah (cakada) pada Pilkada 2024 mendatang. Menurutnya, yang paling penting adalah tidak membiarkan mantan terpidana, khususnya kasus korupsi, yang belum menyelesaikan masa jeda lima tahun sejak dinyatakan bebas mencalonkan diri.

Di sisi lain, KPU juga dapat berkoordinasi denga partai politik sebagai saringan para calon kepala daerah. Menurutnya, partai politik harus benar-benar menawarkan calon yang memiliki rekam jejaknya memadai.

"Bahkan harusnya yang mantan koruptor jangan sampai dicalonkan lagi oleh parpol. Orang yang gagal menjalankan amanah kok masih diberi ruang," pungkasnya. (Tri/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya