RUU KUHAP Dikritik Lemahkan KPK, Wamenkum: tak Perlu Khawatir

Rahmatul Fajri
29/7/2025 22:01
RUU KUHAP Dikritik Lemahkan KPK, Wamenkum: tak Perlu Khawatir
Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej(MI/Usman Iskandar)

WAKIL Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej buka suara soal  kritikan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang disebut melemahkan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani perkara korupsi. 

Edward mengatakan RUU KUHAP mengatur acara pidana secara umum. Ia mengatakan ketika diteliti dalam RUU KUHAP, ada tindakan yang itu dikecualikan untuk KPK. Misalnya, koordinator pengawasan penyidikan dilakukan oleh Polri tidak berlaku untuk penyidik di Kejaksaan, KPK dan TNI. 

"Upaya paksa seperti penangkapan-penangkapan harus berkoordinasi dengan Polri. Tetapi itu dikecualikan untuk Kejaksaan, TNI, dan KPK. Jadi sebetulnya tidak perlu dikhawatirkan, tidak akan pernah menghambat pemberantasan korupsi," kata Edward di Auditorium BPSDM Hukum, Depok, Selasa (29/7).

Edward mengakui bakal ada kritikan terhadap RUU KUHAP. Menurutnya, kritikan itu akan diterima dan dibahas di Komisi III DPR RI. 

"Jadi tidak perlu dikhawatirkan dan saya yakin bahwa DPR akan membuka kembali untuk mendengarkan aspirasi publik," katanya. 

Melemahkan KPK

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menyebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sedang dibahas di Komisi III DPR menimbulkan kekhawatiran akan potensi pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjalankan fungsi penindakan tindak pidana korupsi. 

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi sekaligus Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Erma Nuzulia menjelaskan salah satu problem mendasar dalam RUU KUHAP adalah ketentuan mengenai pelaksanaan penyidikan dan mekanisme penyerahan berkas perkara yang secara sistematis dapat melemahkan independensi KPK dalam menangani perkara korupsi. 
 
Erma menjelaskan pada Pasal 7 ayat (3) dan (4) mewajibkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik tertentu untuk berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Meskipun ada pengecualian bagi KPK dalam ayat (5), celah problematik justru tampak terang dalam ketentuan Pasal 8 ayat (3), yang mengatur bahwa penyerahan berkas perkara ke penuntut umum (JPU) harus dilakukan melalui penyidik Polri tanpa pengecualian untuk KPK.

"Ketiadaan klausul pengecualian ini menjadi sinyal serius adanya pergeseran arah politik hukum acara pidana yang tidak lagi menempatkan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang independen. Padahal, prinsip independensi merupakan salah satu tulang punggung efektivitas kerja KPK yang selama ini memungkinkan penanganan perkara korupsi kelas tinggi tanpa intervensi atau hambatan struktural dari lembaga lain," kata Erma melalui keterangannya, Jumat (25/7).

Erma mengatakan konstruksi hukum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) membuka celah transaksional baru. Dalam sistem tersebut, seluruh berkas perkara yang berasal dari penyidik tertentu, termasuk penyidik KPK harus terlebih dahulu diserahkan kepada penyidik Polri sebelum sampai ke tangan penuntut umum. 

Erma menilai hal ni menciptakan dua masalah sekaligus, yakni adanya potensi penghambatan administratif dalam jalur koordinasi yang tidak perlu dan kerawanan manipulasi proses hukum, termasuk kemungkinan intervensi dalam hal waktu, substansi, atau bahkan keputusan apakah perkara akan dilanjutkan ke penuntutan atau tidak.

"Kewajiban pelimpahan berkas perkara melalui penyidik Polri menghapus jalur langsung yang sebelumnya dimiliki KPK, dan mengubahnya menjadi jalur yang rentan terhadap praktik-praktik tidak profesional dan beraroma politis. Hal ini berpotensi dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan negosiasi di belakang layar, terutama pada perkara yang menyangkut elit politik atau pejabat tinggi negara," katanya. 

Erma mengatakan ketidakkonsistenan antara Pasal 7 dan Pasal 8 dalam memberikan pengecualian kepada KPK menunjukkan adanya ketidakselarasan antara prinsip hukum dan teknik perumusan norma. Di satu sisi, RUU KUHAP tampak mengakui keistimewaan institusi seperti KPK dalam hal penyidikan pada Pasal 7 ayat 5, tetapi pada saat yang sama mencabut atau mengaburkan keistimewaan itu saat menyangkut proses penuntutan pada Pasal 8 ayat 3.

"Secara doktrinal, perumusan seperti ini mencederai prinsip due process of law dan mengaburkan batas-batas kerja antar lembaga penegak hukum. Padahal, pembentukan KPK melalui UU No. 30 Tahun 2002 dimaksudkan untuk menjamin adanya mekanisme pemberantasan korupsi yang tidak tunduk pada struktur penegakan hukum konvensional yang terbukti tidak cukup efektif," pungkasnya. (Faj/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya