Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

Pembebasan Bersyarat Setnov Preseden Buruk Pemberantasan Korupsi

M Ilham Ramadhan Avisena
18/8/2025 14:37
Pembebasan Bersyarat Setnov Preseden Buruk Pemberantasan Korupsi
Ilustrasi(Antara/Wasril)

PEMBERIAN pembebasan bersyarat kepada terpidana kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto memberikan preseden buruk pada pemberantasan korupsi di Indonesia. Itu sekaligus dinilai mengonfirmasi bahwa pemangku kepentingan tak pernah serius untuk memberantas korupsi.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Yassar Aulia menilai pembebasan bersyarat Setya Novanto merupakan kemunduran dari agenda pemberantasan korupsi. Setya Novanto, seperti diketahui, membuat negara merugi hingga Rp2,3 triliun dari kasus pengadaan KTP elektronik. 

Setidaknya, kata dia, terdapat dua alasan penanganan perkara korupsi yang melibatkan eks Ketua DPR Setya Novanto itu menjadi preseden buruk. Pertama, penegak hukum gagal dalam menerapkan pasal pencucian uang untuk menelusuri aliran uang hasil tindak pidana korupsi.

"Penanganan dugaan TPPU korupsi pengadaan KTP elektronik oleh Bareskrim Polri terhadap Setya Novanto disinyalir mangkrak," kata Yassar melalui keterangan tertulisnya. 

Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki fungsi supervisi penanganan perkara penegak hukum lain gagal dalam menangani kasus tersebut. Dampaknya, kata Yassar, saat Setya Novanto menjadi terpidana patut diduga kabur dan plesiran. 

Itu karena upaya penegakkan hukum terhadap Setya Novanto tak dilakukan dengan tuntas, utamanya dalam hal perampasan aset milik eks Ketua Umum Partai Golkar tersebut.

Kedua, kata Yassar, ialah putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan peninjauan kembali (PK) Setya Novanto dengan memotong masa hukuman badan dan pengurangan masa pencabutan hak politik.

"Menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius dalam memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Pemberian efek jera melalui pidana badan dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik masih sangat diperlukan di saat RUU Perampasan Aset juga masih mangkrak oleh pemerintah dan DPR," kata Yassar.

"Menjadi krusial juga bagi KPK untuk mengungkapkan ke publik apakah pidana tambahan berupa pembebanan uang pengganti sudah sepenuhnya dilunaskan. Jangan sampai yang bersangkutan melenggang bebas tanpa sebelumnya membayar beban pidana tambahan berupa uang pengganti senilai US$7,3 juta sebagaimana diputus oleh pengadilan," pungkasnya. (Mir/I-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irvan Sihombing
Berita Lainnya