Headline
RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) RI mengatakan pihaknya belum memiliki rencana terkait pembahasan resmi bersama DPR mengenai revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan Pemilu nasional dan lokal.
Komisioner KPU RI, Betty Epsilon Idroos menjelaskan bahwa saat ini, lembaga penyelenggara pemilu itu masih menyusun kajian internal untuk dijadikan bahan masukan jika nantinya pembahasan RUU tersebut dimulai di komisi II DPR.
“Kemarin kita baru RDP soal persiapan Pilkada ulang dan PSU. PSU di tiga wilayah, kami belum dipanggil lagi untuk bahas tentang revisi Undang-Undang (Pemilu dan Pilkada)” kata Betty di Jakarta pada Kamis (24/7).
Betty mengatakan kajian internal yang dilakukan internal KPU saat ini fokus menyusun dokumen brief policy yang akan memuat sejumlah poin evaluasi dan catatan penting dari pengalaman penyelenggaraan pemilu dan pilkada sebelumnya.
“Tapi dari sisi internal KPU, kami sedang menyusun brief policy terkait dengan dari sisi penyelenggara itu kira-kira apa yang menjadi pengalaman untuk dapat kita sampaikan menjadi perbaikan,” ujarnya.
Menurut Betty, hasil kajian tersebut akan menjadi sangat penting sebagai awal untuk menjadi bahan masukan dalam RUU Pemilu dan Pilkada. Beberapa catatan yang mengemuka, kata Betty, menyangkut perbedaan istilah dalam sistem pendataan pemilih antara pemilu dan pilkada yang dinilai berpotensi membingungkan publik.
“Pendataan pemilih, definisi pemilih antara Pilkada dan pemilu berbeda. Lalu kemudian penamaannya juga berbeda. Jadi menurut saya itu akan membingungkan masyarakat,” tukasnya.
Di samping itu, KPU juga menyoroti pentingnya kejelasan status sistem informasi pemilu seperti apakah bersifat sebagai alat bantu atau alat utama dalam penentuan hasil khususnya pada proses perhitungan suara.
“Sistem informasi yang kita gunakan ini dipakemkan, apakah jadi alat bantu atau dia jadi alat utama. Alat utama lah ya, dalam penentu hasil sirekap atau silon, sipol,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, belum ada keputusan dari pimpinan DPR maupun Bamus menugaskan alat kelengkapan dewan untuk membahas revisi UU Pemilu.
“Keputusan siapa yang ditugaskan untuk membahas revisi Undang-Undang Pemilu belum ada. Kami masih menunggu momentumnya,” ujar Rifqi di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/7).
Rifqy menuturkan Komisi II DPR masih fokus pada proses evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak 2024. Evaluasi meliputi Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) dan persiapan Pilkada.
Terlebih lagi, katanya, masih ada sejumlah daerah yang harus menghadapi tahapan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dan Pilakda ulang.
“Masih ada beberapa provinsi, kabupaten atau kota yang harus melakukan PSU. Baik pada 6 Agustus maupun 26 Agustus 2025,” katanya.
Dalam proses evaluasi tersebut, kata dia, Komisi II DPR telah melibatkan banyak pihak, termasuk akademisi, lembaga masyarakat sipil, serta pakar kepemiluan. Hal ini dilakukan untuk menyerap masukan terkait isi dan arah perubahan UU Pemilu yang akan datang.
Rifqi menegaskan, bila nantinya Komisi II DPR ditugaskan resmi membahas revisi UU Pemilu oleh pimpinan DPR, pihaknya siap melaksanakannya dengan maksimal.
“Kami sangat siap membahas ini dengan bobot dan kualitas terbaik,” tegas politisi Fraksi NasDem itu.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Bahtra Banong mengaku masih mencari formula yang tepat untuk mengimplementasikan putusan MK terkait pemisahan Pemilu lokal dan nasional. Pihaknya tak mau gegabah menjalankan putusan tersebut.
“Putusan MK bersifat final dan mengikat. Tapi, di sisi lain putusan itu bisa melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 soal pemilu harus digelar lima tahun sekali," ujar Bahtra di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Bahtra mengatakan, pimpinan DPR telah mengumpulkan pimpinan Komisi II dan III DPR membahas putusan MK. Namun, hingga saat ini belum ada kesimpulan.
“Di jeda waktu yang panjang kita gunakan untuk menerima masukan dari berbagai pihak," ucap politikus Gerindra ini.
Saat ini, lanjut Bahtra, DPR masih mencari dasar hukum agar Pemilu lokal, yakni DPRD dan juga Pilkada bisa ditunda hingga 2031 sesuai putusan MK. Sebab, dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa Pemilu harus dilaksanakan satu kali dalam lima tahun. (Dev/P-3)
Betty menjelaskan saat ini belum ada pembahasan khusus antara KPU dan semua pemangku kepentingan pemilu terkait e-voting.
Netralitas ASN merupakan salah satu isu krusial yang harus ditangani dengan penuh komitmen dan kokohnya peran Kemendagri dalam menangani permasalahan tersebut.
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) RI akan segera memperbaharui dinamika perubahan data pemilih pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah.
KPU Mochammad Afifuddin mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk memisahkan pemilu tingkat nasional dan lokal mulai 2029.
KPU bakal mempelajari secara detail mengenai putusan MK tersebut yang berangkat dari uji materi oleh Perludem selaku pemohon.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved