Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

MK, Vox Populi, dan Keseriusan Parpol

Umbu TW Pariangu, Dosen Fisipol Undana, Kupang
08/1/2025 05:05
MK, Vox Populi, dan Keseriusan Parpol
(Dok. Pribadi)

SETELAH 32 kali Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terkait dengan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, MK akhirnya luluh juga dengan menghapus ketentuan presidential threshold (PT) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Putusan itu disampaikan MK pada Kamis (2/1) setelah mengadili empat perkara terkait dengan uji materi Pasal 222 Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu. Ambang batas dianggap bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

Kalau ditelusuri ke belakang, penerapan PT pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004, 2009, dan 2014 sepi dari kritik. Bisa dimaklumi karena waktu itu pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD lebih dahulu dilaksanakan, baru kemudian pilpres. Karena itu, setiap parpol peserta pemilu menjadikan angka perolehan suara pada pemilu anggota legislatif sebagai syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden.

Pada Pilpres 2019, karena pilpres dan pemilihan legislatif serentak, ambang batas yang digunakan ialah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Ini berlaku pula pada Pilpres 2024 yang mana untuk mengusung calon presiden (capres), partai, atau gabungan partai politik memperoleh minimal 15% jumlah kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR periode sebelumnya.

 

Kabar baik

Penghapusan syarat ambang batas pencalonan presiden (PT) menjadi kabar baik bagi rakyat dan pembangunan demokrasi. Selama ini partai politik yang meraih suara terbanyak di parlemen yang bisa mengajukan capres dalam pilpres. Untuk mengusung capres, partai atau gabungan partai politik harus memperoleh minimal 15% jumlah kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR periode sebelumnya.

Hal tersebut tentu saja tidak rasional dan nirkonstitusional karena menggunakan syarat pemilu terdahulu untuk diterapkan pada peserta pemilu berikutnya. Padahal, konstelasi politik yang memengaruhi kualitas hasil pemilu mestinya berjalan secara progresif mengikuti dinamika masyarakat yang berkembang.

Kontestasi politik ialah ajang mengukur bobot kualitas hasil politik, dari input (mekanisme, tata cara yang melibatkan masyarakat), proses (pelaksanaan kontestasi yang profesional dan demokratis), serta hasil (hasil pemilu yang berkualitas, akuntabel dan berintegritas) sebagai satu kesatuan demokratis yang menentukan masa depan rakyat.

Memang parpol ialah institusi yang diberikan mandat oleh konstitusi untuk menjalankan rekrutmen, kaderisasi, termasuk menominasikan calon pemimpin. Namun, mandat tersebut harus dijiwai oleh prinsip yang inklusif, memastikan bahwa suara dan aspirasi rakyat dapat terwakili dalam kontestasi agar pemilu yang jujur dan adil dapat terwujud.

Terkait dengan hal tersebut, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pernah mengkritik aturan PT dalam pidatonya di acara penganugerahan gelar doktor honoris causa (HC) di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur (25 Juli 2022). Baginya, aturan tersebut mengekang hak seluruh warga negara untuk bisa mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa.

PT tak ubahnya 'tiket politik' yang hanya diberikan kepada mereka (parpol-parpol) yang mampu membayarnya (lewat sejumlah kursi parlemen yang berhasil diraih). Ini akhirnya menutup hak-hak warga untuk menyodorkan calon pemimpin yang representatif dan berkualitas karena PT justru lebih mewakili angka negosiasi antarelite yang memiliki suara di parlemen untuk mengatur kontestasi (pilpres) agar diikuti oleh kontestan yang 'dikehendaki' mereka.

Kerap kali koalisi parpol yang tercipta hanya untuk menggenapkan angka ambang batas ketimbang didasarkan pada keinginan untuk menajamkan dukungan politik berbasis platform ideologi politik parpol.

Dengan pemberlakuan ambang batas, partai yang tak memiliki kursi di parlemen tak bisa mencalonkan capresnya karena tak memiliki 'tiket politik' dimaksud. Padahal, tidak semua calon-calon pemimpin yang disukai rakyat karena integritas dan prestasinya bisa dicalonkan oleh parpol peraih kursi terbanyak di parlemen. Ada semacam kultur ekslusifisme politik dalam partai yang membatasi suara-suara demokrasi menghuninya.

Bahkan, yang lebih miris, potensi terwujudnya calon tunggal dalam pemilu dengan kondisi tersebut sangat mudah terjadi karena konsensus para elite akhirnya digerakkan oleh pragmatisme elite parpol untuk mendapatkan insentif kekuasaan pasca-pilpres.

 

Terobosan demokrasi

Apa dampaknya dari semua itu? Pemilu akhirnya kehilangan spirit kontestasi karena yang dikontestasikan pada pemilu ialah calon-calon pilihan yang lebih banyak berdasarkan faktor-faktor nonelektoral, bukan faktor kualitas kompetensi calon.

Di sisi lain, harapan publik untuk mendapat pemimpin yang memiliki watak progresif dan kontekstual untuk menghasilkan perubahan yang berdampak luas bagi bangsa lewat pemimpin terpilih akan sulit tercapai. Itu disebabkan pemimpin terpilih ialah manifestasi dari proses transaktif tanpa melalui sensivitas menyerap aspirasi genuine masyarakat, termasuk masyarakat paling bawah (grass root).

Itu sebabnya PT di negara yang menganut sistem presidensial dibuat hanya dalam kebutuhan menghitung keterpilihan seorang capres menjadi presiden. Seperti di Brazil, yang mana PT-nya ialah 50% plus satu, di Equador 50% plus satu atau 45% asalkan selisihnya 10% dari kandidat terkuat; di Argentina, 45%, atau 40%. PT di negara-negara tersebut ialah syarat seorang capres untuk terpilih menjadi presiden, bukan syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden (Wardhana, 2018).

MK sudah membuat terobosan penting bagi masa depan demokrasi rakyat lewat penghapusan PT. Hal itu perlu dirayakan rakyat dan entitas politik nasional sebagai momentum menjemput masa depan demokrasi yang menghargai suara rakyat (vox populi). Pemilu 2029 memang masih lima tahun lagi, tetapi parpol kini bisa segera fokus untuk mempersiapkan kader-kader terbaiknya antara lain dengan serius menyalakan mesin meritokrasi dalam melakukan rekruitmen dan kaderisasi secara objektif, terukur, dan transparan.

Sembari itu, parpol harus terus menancapkan akar-akar dukungan ideologis dan elektoralnya di seluruh daerah seiring dengan penguatan fungsi edukasi, manajemen konflik dan sarana pastisipasi politik publik, yang terus diprogresifkan. Itu semata-mata agar sensitivitas parpol terhadap kehendak dan aspirasi masyarakat kian terpupuk dengan baik.

Lima tahun bukan waktu yang panjang untuk menggalang dukungan rakyat sekaligus mempersiapkan dan mempromosikan para kader terbaik.

Saatnya suara rakyat benar-benar mendapat ruang kultivasinya di setiap institusi parpol dan ruang demokrasi pemilu sehingga parpol makin intim dengan (suara) rakyat dan gerak demokrasi bangsa ini mampu menerbitkan optimisme dan dukungan positif dari seluruh rakyat.

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya