Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

Guru Berdaya

Victor Yasadhana Direktur Kerja Sama antarlembaga Yayasan Sukma
23/12/2024 05:00
Guru Berdaya
(Dok. Pribadi)

“AS a classroom community, our capacity to generate excitement is deeply affected by our interest in one another, in hearing one another’s voices, in recognizing one another’s presence.” Bell Hooks (1994).

MI/Duta

 

Bersekolah sejak lama dipercaya sebagai salah satu jawaban atas persoalan ketimpangan. Bersekolah dianggap membuat seseorang semakin terdidik dan memiliki kesempatan untuk memperbaiki status sosial-ekonomi mereka.

Bersekolah juga dipercaya sebagai jalan untuk 'menjadi manusia yang lebih baik' dengan memahami, menghormati, dan mempraktikkan nilai-nilai luhur yang dipercaya akan diperlukan dalam kehidupan. Bersekolah ialah cara untuk lebih berdaya dengan cara memanusiakan manusia. Namun, pada kenyataannya, bersekolah juga menjadi muasal stratifikasi sosial dan berbagai persoalan yang rumit yang tidak manusiawi.

Sistem dan pengelolaan pendidikan masih diwarnai dengan berbagai praktik yang justru tidak memanusiakan dan memberdayakan mereka yang belajar. Guru dan murid harus menghadapi berbagai belenggu yang menjauhkan mereka dari kesempatan untuk menjadi manusia seutuhnya dan memaksimalkan potensi mereka.

Belenggu kurikulum memaksa murid untuk hanya mengutamakan capaian-capaian akademik melalui serangkaian tes yang cenderung seragam, menumpulkan kepekaan mereka terhadap persoalan nyata di sekitar mereka, dan mengesampingkan banyak aspek nonkognitif sebagai manusia. Belenggu yang sama juga memaksa guru terus berkutat dengan target ketuntasan dan berbagai beban administratif yang justru menjauhkan peluang mereka untuk mencapai potensi maksimal mereka.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, setidaknya berbagai upaya perbaikan telah dilakukan. Semangat untuk memberi ruang untuk bermanuver bagi guru dan murid telah dimulai dan diupayakan. Ide dan praktik Kurikulum Merdeka, misalnya, terlepas dari berbagai kritik atas kelemahannya, diinisiasi dengan niatan memberi ruang kebebasan bagi guru dan murid untuk memilih minat, fleksibilitas dalam proses belajar mengajar, orientasi pada kerja sama, menumbuhkan etika, dan membangun karakter.

Meskipun dalam penerapannya, berbagai kritik, baik dalam tataran konsep maulun filosofi, hingga (terutama) praktik pelaksanaan masih terus muncul, Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi optimisme dan kepercayaan melalui semangat bahwa guru dan murid (seharusnya) merupakan subjek yang aktif dalam proses pembelajaran; sebuah penghargaan terhadap kodrat kemanusiaan.

Tentu saja masih perlu dibuktikan lebih lanjut apakah skenario pendidikan dengan Kurikulum Merdeka itu akan menyemai peluang bagi mereka yang belajar untuk lebih berdaya sebagai manusia.

Salah satu hal yang perlu dipikirkan dalam upaya menjadikan bersekolah menjadi sebuah proses belajar yang memberdayakan ialah perubahan cara pandang dan kualitas guru. Guru ialah elemen penting dalam kerangka pendidikan yang memberdayakan. Guru perlu memahami bahwa kehadiran mereka dalam proses belajar merupakan kunci untuk memastikan murid dan diri mereka sendiri menjadi berdaya.

 

Engaged pedagogy

Dalam pendekatan engaged pedagogy, misalnya, Bell Hooks--salah satu tokoh penting dalam pendekatan ini--menyatakan lima hal penting terkait dengan proses belajar yang perlu diperhatikan guru (Hooks: 1994).

Pertama, proses mengajar seharusnya ialah aktivitas yang menumbuhkan semangat belajar dan kegembiraan. Murid diperlakukan bukan sebagai objek yang hadir untuk mengonsumsi pengetahuan secara pasif, melainkan sebagai individu yang berharga dan perlu untuk turut berpartisipasi aktif dalam proses belajar.

Guru membangun hubungan yang baik dengan murid dan bukan hanya menjejali mereka dengan pengetahuan. Itu disebabkan saat murid turut terlibat dalam proses belajar, mereka akan menemukan kegembiraan dalam belajar, situasi yang memungkinkan pertumbuhan intelektual dan spiritual. Kontribusi mereka dalam proses belajar dapat menjadi sumber pembelajaran dan modal terbentuknya komunitas belajar.

Kedua, guru harus tampil menjadi manusia yang utuh karena mereka ialah panutan yang menjadi muasal contoh baik. Bukan hanya terkait dengan kapasitas keilmuan, melainkan juga dalam bersikap; pribadi yang sama dalam ucapan dan tindakan. Bahkan di luar konteks kelas dan sekolah.

Ketiga, proses belajar harus menjadi praktik pembebasan. Proses belajar bukan hanya sekadar proses transfer ilmu, melainkan juga kesempatan untuk menciptakan 'tempat netral dan aman' yang mana semua orang terlibat, berefleksi, mengubah cara berpikir dan sikap mereka. Guru harus memastikan keterlibatan murid dalam proses belajar.

Pendapat yang lahir dari pengalaman dan dibagikan melalui diskusi kolektif menjadi dasar bagi pemikiran kritis, refleksi, dan perubahan positif.

Keempat, proses belajar harus menjadi sarana bagi murid untuk mencapai potensi maksimal mereka. Guru dituntut untuk melepaskan pola pikir tradisional yang hanya berfokus pada mengajar yang mana guru dianggap sebagai satu-satunya pemegang otoritas ilmu. Pandangan seperti itu mengabaikan keberanian murid dalam menyampaikan pendapat dan menegaskan asumsi bahwa mereka tidak berkontribusi dalam pembelajaran. Sebaliknya, guru harus berperan sebagai pembelajar sejati yang percaya bahwa kesempatan untuk belajar dari murid selalu terbuka.

Kelima, guru perlu memahami dirinya, apa yang diinginkan, secara fisik maupun emosional. Memisahkan begitu saja kebutuhan fisik dan emosi akan memengaruhi cara seseorang memperlakukan orang lain. Kesadaran akan kebutuhan fisik dan emosi diri akan membantu guru memilih dan menentukan cara yang paling tepat dalam memperlakukan murid.

Dengan memahami dan mempraktikkan kelima hal tersebut, proses belajar mengajar akan memberi penekanan pada pentingnya menumbuhkan kolaborasi, memastikan kapasitas intelektual dan spiritual yang bertumbuh, serta hubungan guru-murid yang lebih bermakna. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk memastikan proses belajar yang memberdayakan?

 

Sekolah yang belajar

Mewujudkan proses belajar sebagai laku pemberdayaan jelas menyaratkan dukungan yang serius dan konstan bagi guru. Hanya dengan menyemai dan menumbuhkan budaya belajar dalam entitas sekolah, dukungan yang diperlukan dapat disediakan.

Sekolah perlu mengambil posisi sebagai organisasi yang memungkinkan seluruh anggotanya memiliki keinginan belajar dan bertransformasi secara terus-menerus sesuai dengan tantangan perubahan yang dihadapi. Adaptasi terhadap berbagai perubahan membutuhkan keluwesan yang memungkinkan sekolah tidak gagap dan menikmati perubahan sebagai bagian dari peneguhan keinginan meraih potensi maksimal bagi seluruh entitas atau setiap pribadi di dalamnya.

Jika sekolah hanya menjalankan fungsi tradisional sebagai tempat para murid dan guru mencari pengetahuan dan mengajar, berorientasi pada capaian kognitif semata, menegakkan disiplin yang membabibuta dan tidak menyadari peluang bahwa semua orang bisa saling belajar, sesungguhnya sekolah sedang menggerus kemungkinan belajar untuk berdaya menjadi tiada.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya