Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
SAHAM-saham AS ditutup melemah tajam pada Senin (21/4). Dolar AS merosot karena investor mencermati ketidakpastian tarif yang berkelanjutan dan dampak dari upaya Presiden Donald Trump yang terus berlanjut untuk menyingkirkan Ketua Federal Reserve, Jerome Powell.
Dow Jones turun 972 poin atau 2,48%. Indeks S&P 500 turun 2,36%. Nasdaq Composite, yang banyak dihuni saham teknologi, merosot 2,55%. Ketiga indeks utama ini melemah sepanjang hari sebelum sedikit pulih di sore harinya.
Penurunan pada Senin terjadi secara luas, hampir semua saham dalam indeks Dow dan S&P 500 ditutup lebih rendah. Ketiga indeks utama ini juga mencatatkan pekan yang negatif dan berada di jalur untuk mencatat bulan terburuk sejak tahun 2022.
Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang asing, turun lebih dari 1% ke level terendah dalam lebih dari tiga tahun.
Wall Street sudah gelisah sejak Kamis lalu ketika Trump melancarkan serangan terhadap Powell. Trump menyatakan di media sosial bahwa “pemecatannya tidak bisa datang cukup cepat!”
Trump mengecam Powell karena tidak menurunkan suku bunga — keluhan yang telah ia lontarkan berkali-kali kepada Ketua The Fed. Serangan itu muncul setelah Bank Sentral Eropa memangkas suku bunga acuannya, dan menyusul peringatan Powell pekan lalu soal dampak ekonomi dari agenda tarif Trump.
“Kalau saya ingin dia keluar, dia akan keluar dengan sangat cepat, percayalah,” ujar Trump kepada wartawan di Oval Office, Kamis lalu. “Saya tidak senang dengannya.”
Trump pada Senin kembali menyerang Powell, menyebutnya sebagai “pecundang besar” dalam unggahan media sosial yang menekan pemimpin bank sentral agar menurunkan suku bunga.
Direktur Dewan Ekonomi Nasional, Kevin Hassett, pada Jumat mengatakan pemerintahan Trump “akan terus mempelajari” kemungkinan untuk mencopot Powell. Ia mengatakan ingin meninjau “analisis hukum baru” sebelum menentukan apakah Trump bisa atau seharusnya memecat Powell.
Meskipun banyak ahli menyatakan presiden secara hukum tidak memiliki kewenangan untuk memecat Ketua The Fed hanya karena perbedaan kebijakan, Trump tampaknya siap untuk menabrak norma dan preseden, bahkan jika hal itu menimbulkan dampak besar.
“Saya rasa Wall Street tidak menyukai kenyataan bahwa presiden mencoba mengontrol kebijakan moneter, yang tentu bukan hal baik dalam jangka panjang,” kata Sam Stovall, Kepala Strategi Investasi di CFRA Research.
Powell pada Rabu lalu mengatakan dalam sebuah acara di Chicago bahwa tarif-tarif Trump adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern, dengan potensi memicu inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Peringatan tegas ini menunjukkan bahwa tarif bisa memperumit jalur pemangkasan suku bunga oleh The Fed.
Trump, yang menunjuk Powell selama masa jabatan pertamanya, telah lama bersitegang dengannya soal suku bunga. Independensi The Fed dari pengaruh politik merupakan ciri khas bank sentral, dan para analis secara luas memperkirakan pasar akan bereaksi negatif terhadap upaya memecat Powell. Serangan Trump terhadap independensi The Fed juga memicu kekhawatiran investor bahwa stabilitas pasar AS bisa terganggu.
“Kritik baru Presiden Trump terhadap Ketua The Fed Powell pekan ini mengingatkan kita bahwa kebijakan perdagangan bukan satu-satunya saluran dari pendekatan tidak konvensional pemerintahan ini yang bisa melemahkan dolar dan pasar aset AS,” kata Jonas Goltermann, Ekonom Senior Pasar di Capital Economics.
Biasanya ketika saham anjlok, investor mencari aset aman seperti obligasi pemerintah AS dan dolar. Kali ini investor justru menjual dolar sementara aset aman lain seperti emas melonjak. Dolar secara umum telah melemah sepanjang tahun ini — pertanda potensi menurunnya kepercayaan terhadap AS.
Krishna Guha, Wakil Ketua di Evercore ISI, mengatakan dalam catatannya hari Jumat bahwa “aksi pasar terbaru menunjukkan hilangnya kepercayaan pada kebijakan ekonomi Trump,” merujuk pada imbal hasil obligasi yang lebih tinggi dan pelemahan dolar.
Analis di Macquarie menyebut dalam catatan hari Senin bahwa “pelarian dari dolar AS” berasal dari “kekhawatiran terhadap independensi The Fed” dan minimnya pengumuman kesepakatan dagang.
“Contoh kasus perundingan AS-Jepang pekan lalu gagal menghasilkan kesepakatan soal perdagangan dan tarif,” kata Thierry Wizman, ahli strategi global FX dan suku bunga di Macquarie. “Hal ini menunjukkan masa negosiasi bilateral yang bisa berlangsung hingga Juli, dan menimbulkan keraguan tentang kesediaan AS dan sekutunya untuk melakukan konsesi.”
Menurut Stovall, pasar pada Senin bereaksi negatif terhadap tekanan Trump terhadap Powell dan ketiadaan pengumuman kesepakatan perdagangan setelah pertemuan Trump dengan pejabat Jepang pekan lalu.
Imbal hasil obligasi Treasury 10 tahun naik di atas 4,4% pada Senin, meningkat dibanding Kamis. Perdagangan AS tutup pada Jumat untuk memperingati Jumat Agung.
Dewan Gubernur The Fed dijadwalkan bertemu pada awal Mei untuk menentukan keputusan berikutnya soal suku bunga acuan. Sekitar 88% pelaku pasar memperkirakan The Fed akan mempertahankan suku bunga tetap, menurut alat CME FedWatch.
“Powell menegaskan kembali bahwa The Fed kemungkinan tetap dalam mode menunggu dan melihat sembari menilai dampak tarif terhadap ekonomi,” tulis analis Morgan Stanley pada hari Senin.
Harga emas melonjak lebih dari 3% pada Senin dan mencetak rekor tertinggi baru di atas US$3.400 per ons troy. Logam mulia ini melesat tajam sepanjang tahun ini seiring investor berbondong-bondong mencari aset aman. Emas naik sekitar 30% sepanjang tahun ini, melampaui kenaikan 27% selama tahun 2024.
Wall Street pekan ini juga akan mencermati laporan pendapatan kuartal pertama. Investor diperkirakan akan fokus pada arahan dan proyeksi para CEO untuk sisa tahun ini di tengah ketidakpastian tarif yang meningkat.
Tesla (TSLA), yang anjlok 5,75% pada Senin, dijadwalkan melaporkan pendapatan setelah penutupan pasar pada Selasa. Alphabet (GOOGL), yang turun 2,31%, akan menyusul pada Kamis.
“Tarif akan tetap menjadi perhatian utama dalam beberapa bulan mendatang, namun investor kemungkinan akan kembali fokus jangka pendek pada musim laporan pendapatan Q1 2025,” ujar Stovall dari CFRA Research. (CNN/Z-2)
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI), pada perdagangan Kamis 26 Juni 2025, dibuka menguat 9,71 poin atau 0,14% ke posisi 6.841,85.
IHSG hari ini, Rabu 25 Juni 2025, berpeluang bergerak menguat. Sentimen utamanya tidak lain karena seiring meredanya konflik Iran vs Israel di kawasan Timur Tengah.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa, 24 Juni 2025, dibuka menguat 91,75 poin atau 1,35% ke posisi 6.878,89.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada perdagangan Kamis, 19 Juni 2025, dibuka melemah 4,73 poin atau 0,07% ke posisi 7.103,06.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu, 17 Juni 2025, dibuka menguat 6,04 poin atau 0,08% ke level 7.161,89.
Fixed Income Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Karinska Salsabila Priyatno menilai ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat sangat terbatas.
Presiden AS Donald Trump menyebut Gubernur Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell telah merugikan perekonomian AS karena menolak menurunkan suku bunga acuan.
Presiden Donald Trump menyatakan tidak berniat memecat Ketua Federal Reserve Jerome Powell, meskipun sebelumnya mengkritik tajam dan menyebut Powell sebagai “pecundang besar.”
Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, memperingatkan kebijakan tarif Presiden Donald Trump menciptakan situasi ekonomi yang belum pernah dihadapi dalam sejarah modern.
Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga acuan atau fed funds rate (FFR) sebesar 50 basis points (bps), menjadi 4,75%-5,0%, pada Rabu (19/9) waktu AS.
Ketidakpastian ekonomi diprediksi masih akan berlangsung dalam ktu cukup lama. Salah satunya disebabkan suku bunga acuan The Fed yang diprakirakan tetap tinggi dalam beberapa waktu ke depan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved