Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

PPATK Diminta Berani Sita Duit Judol Rp86 Triliun

Syarief Oebadillah
10/12/2024 22:28
PPATK Diminta Berani Sita Duit Judol Rp86 Triliun
PENCAPAIAN PEMBERANTASAN JUDI ONLINE: Menko Polkam Budi Gunawan (kedua kanan), Menkomdigi Meutya Hafid (ketiga kiri kiri), Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro (kedua kiri), Menteri Agama Nasaruddin Umar (kanan), Kepala BSSN Hinsa Siburian didampi(MI/Usman Iskandar)

CENTER for Banking Crisis (CBC) mencatat pendapatan bank, e-wallet, dan operator seluler yang memfasilitasi transaksi judi online (Judol) yang seharusnya dikembalikan ke negara mencapai Rp86,3 triliun. Jika bisa dirampas negara, dana tersebut nantinya dapat digunakan untuk program makan bergizi gratis pada tahun 2025.
 
"Berdasarkan UU No 8/2010 tentang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk mengambil pendapatan Judol di lembaga pembayaran seperti bank, aplikasi e-wallet, atau layanan keuangan digital melalui operator seluler yang menjadi media pembayaran Judol," kata Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Aboe Bakar Al Habsy di Jakarta dalam keterangannya, Selasa (10/12).

Jika PPATK tidak bisa mengambil uang dari transaksi Judol di bank dan operator seluler, katanya, pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sebagai payung hukumnya.

"Isi Perppu adalah menambah kewenangan PPATK agar bisa mengambil dana transaksi judol di lembaga sistem pembayaran resmi seperti bank, aplikasi e-wallet, atau operator seluler," terang Aboe Bakar.

Dengan pemberian kewenangan PPATK, kata dia, itu akan mempercepat pemberantasan judol yang sampai saat ini belum mampu diatasi.

"Adanya penarikan dana-dana itu akan memberikan efek jera kepada lembaga penyedia sistem pembayaran yang selama ini terkoneksi dengan merchant judol," terangnya.

Berdasarkan UU ITE Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 45 Ayat (2), bank, e-wallet, serta operator seluler yang memfasilitasi judol, baik sengaja maupun tidak disengaja diancam penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar. Selain itu, Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara atau denda Rp 25 juta bagi pelaku perjudian.

Bank juga dapat kehilangan dana hasil judol yang dianggap sebagai hak pemerintah, dan pendapatan dari aktivitas ilegal itu akan disita.

"Sanksi ini menegaskan bahwa keterlibatan dalam judol tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa risiko serius bagi reputasi dan operasional bank," papar Aboe Bakar.

Saat ini, berdasarkan data intelijen dari Kemenko Politik dan Keamanan, jumlah masyarakat yang bermain judol sepanjang 2024 mencapai 8,8 juta orang. Sebanyak 80% di antaranya adalah masyarakat menengah ke bawah.

"Jadi judol merusak kehidupan masyarakat, baik sosial ekonomi, kesehatan, dan mental. Di sisi lain, ada yang menikmati judol dari sistem transaksi yang melibatkan lembaga pembayaran seperti bank, dan e-wallet," imbuhnya.

Pandangan senada disampaikan Presiden Direktur Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri. Dalam pandangannya, judol sebagai fenomena global yang berkembang pesat di era digital menjadi masalah yang mendesak diselesaikan pemerintah.

"Kemudahan sistem pembayaran judol melalui bank, e-wallet, dan pulsa meluas karena lemahnya pengawasan perbankan oleh OJK dan pengawasan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia," kata Deni.

Dikatakannya, saat ini koneksi pembayaran melalui application programming interface atau API dari perbankan atau e-wallet ke penyedia sistem pembayaran (PJP) sangat mudah. Hal itu melemahkan E-KYC (Electronic Know Your Costumer) dan E-KYB (Electronic Know Your business).

"Banyak perbankan dan e-wallet yang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu adanya koneksi dalam sistem pembayaran di internalnya terkoneksi merchant berbasis judol," ungkapnya.

Saat ini, lanjut dia, PJP yang mendapat izin operasi dari BI sesuai PBI No 22/23/PBI/2020 dan PJP yang mendapat izin PSE (penyelenggara sistem elektronik) PP No No 71/2019 dari Menkodigi, banyak yang berevolusi menjadi media transaksi pembayaran dan merchant judol.

"Ini yang menyebabkan judol berkembang pesat. Perbankan, e-wallet, operator seluler adalah media yang digunakan untuk pembayaran judol secara digital. Layanan tersebut mendapat untung atau cuan atau fee pendapatan dari setiap transaksi judol," kata Deni.

Berdasarkan data Center for Banking Crisis (CBC), pendapatan bank dari judol yang seharusnya dikembalikan ke negara sepanjang 2017-2024 mencapai Rp70,6 triliun. Sedangkan pendapatan e-wallet dari judol yang seharusnya dikembalikan ke negara periode 2017-2024 mencapai Rp11,5 triliun.

Selain itu, pendapatan sejumlah operator seluler sepanjang 2017-2024 mencapai Rp 4,2 triliun. Jika ditotal negara bisa mendapatkan Rp86,3 triliun.  

"Selain itu, beberapa transaksi yang diblokir OJK senilai Rp101 trilliun yang melibatkan 6.400 rekening, bahkan lebih, tersangkut judol. Selanjutnya, harus menjadi deposito pemerintah," tegas Deni.

Seluruh dana yang tersangkut aktivitas judol, kata dia, sesuai hukum yang berlaku, uang tersebut harus disita oleh negara sebagai bagian dari tindakan penegakan hukum.

"Agar penarikan dana di layanan sistem pembayaran tidak terganggu, sebaiknya ditarik secara bertahap selama setahun dan pajak yang telah dibayar atas hasil pendapatan tersebut diperhitungkan sebagai pajak  yang dibayar di muka," terangnya.

Selain itu, lanjut Deni, pendapatan bank, aplikasi e-wallet, dan operator seluler dari transaksi judol akan dimasukan dalam APBN 2025. Dana tersebut dapat digunakan untuk program makan bergizi gratis.

"Proses penyitaan dilakukan melalui mekanisme penyelesaian di luar pengadilan dengan kesepakatan bahwa uang tersebut tetap diserahkan ke negara," pungkasnya. (E-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Mirza
Berita Lainnya