Merespons Separatisme

02/1/2016 00:00
GERAKAN separatis masih terus membayangi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski jumlahnya makin kecil, ia tetap menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan NKRI. Aksi separatisme di mana pun sama, yaitu berpakaian sipil, tetapi bersenjata sehingga mengancam bukan saja rakyat, melainkan juga aparat. Gerakan pemisahan diri ini, baik di Aceh maupun Papua, juga Maluku selalu mengusung isu yang sama, biasanya erat terkait dengan persoalan ekonomi dan kesejahteraan yang tidak merata. Kegagalan pemerintah untuk menciptakan keadilan didapuk sebagai sumber motivasi utama gerakan separatis.

Paling tidak terdapat tiga pendekatan untuk merespons gerakan separatisme, yakni pendekatan politik, pendekatan persuasif, dan pendekatan represif. Dalam pendekatan politik, perjuangan bersenjata gerakan separatis berubah menjadi perjuangan politik melalui partai politik. Kelompok separatis bermetamorfosis menjadi partai politik.

Inilah yang terkaji ketika Gerakan Aceh Merdeka menjadi partai politik bernama Partai GAM. Itu juga yang terjadi di Irlandia Utara ketika Tentara Pembebasan Irlandia atau IRA yang hendak memisahkan diri dari Inggris Raya berubah menjadi partai politik bernama Sein Fein. Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia, lewat Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso terhadap kelompok bersenjata Din Minimi di Aceh baru-baru ini, merupakan contoh pendekatan persuasif.

Dalam tindakan persuasif biasanya ada negosiasi. Kelompok bersenjata bersedia menyerah bila, misalnya, pemerintah memberi pengampunan kepada mereka. Itulah sebabnya Presiden Jokowi berniat memberikan amnesti kepada kelompok Din Minimi dengan terlebih dulu meminta pertimbangan DPR. Pendekatan politik ataupun persuasif jelas merupakan kebijakan yang baik. Kebijakan ini akan memperkecil korban, baik di pihak rakyat, aparat, maupun kelompok separatis.

Sangat melelahkan jika terus-menerus negara ini diwarnai kontak bersenjata antara aparat keamanan dan gerakan separatis. Ujung-ujungnya, ibarat ungkapan dua gajah berkelahi pelanduk mati di tengah-tengahnya, rakyat juga yang jadi korban. Namun, tidak semua gerakan separatis bisa direspons dengan pendekatan politik. Gerakan separatis di Papua, misalnya, sulit bisa direspons dengan pendekatan politik dengan mengubah Organisasi Papua Merdeka menjadi partai politik.

Itu karena OPM berbeda dengan GAM. GAM bisa disebut sebagai satu-satunya gerakan separatisme di Aceh ketika itu. Namun, OPM terdiri atas banyak faksi. Bahkan, pendekatan persuasif pun sulit dilakukan karena banyaknya faksi dalam tubuh OPM. Ketika pemerintah berhasil bernegosiasi dengan satu faksi, faksi lain boleh jadi terus melakukan perlawanan.

Namun, kita tetap merekomendasi pemerintah melakukan pendekatan persuasif melalui negosiasi untuk merespons gerakan separatis di Papua. Jika benar gerakan separatis berakar pada perasaan diperlakukan secara tidak adil dalam hal ekonomi, pendekatan persuasif yang juga perlu dilakukan pemerintah ialah pendekatan kesejahteraan.

Pendekatan pemerintahan Presiden Jokowi yang memulai pembangunan dari Indonesia Timur, termasuk Papua dan Maluku, bisa dijadikan instrumen merespons gerakan separatis melalui pendekatan persuasif berupa pendekatan kesejahteraan. Namun, negara tetap tidak boleh ragu melancarkan pendekatan represif kepada kelompok-kelompok separatis yang terus melakukan perlawanan, yang emoh direspons dengan pendekatan politik dan persuasif. Pendekatan apa pun yang dilakukan negara terhadap gerakan separatis, apakah politik, persuasif, atau represif, ia harus bertujuan melindungi kedaulatan rakyat dan kewibawaan negara Indonesia.




Berita Lainnya