Headline

Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Bukan Bangsa Pelanduk

10/7/2025 05:00

PENGENAAN tarif timbal balik dagang sebesar 32% oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia mengisyaratkan tantangan serius dalam tatanan perdagangan global yang semakin protektif. Besaran tarif itu akan semakin membengkak jika tarif tambahan 10% bagi anggota blok ekonomi BRICS juga diberlakukan untuk Indonesia.

Indonesia perlu bersikap tegas, tapi bijaksana dalam merespons dengan tetap menjaga hubungan baik sambil memperkuat fondasi industri dan diversifikasi pasar. Kebijakan protektif itu menimbulkan kekhawatiran di berbagai kalangan, baik pemerintah maupun pelaku usaha.

Langkah tersebut dinilai sebagai bagian dari strategi dagang AS untuk melindungi industri domestik mereka. Bagi Indonesia, hal itu dapat memberikan dampak serius terhadap ekspor, hubungan bilateral, dan stabilitas sektor industri tertentu.

Selama ini Indonesia mencatatkan surplus dalam neraca perdagangan dengan Amerika Serikat. 'Negeri Paman Sam' itu merupakan negara penyumbang surplus terbesar dalam hubungan dagang bilateral dengan Indonesia pada tahun ini yang mencapai US$5,44 miliar.

Terhitung sejak Mei 2020, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus selama 61 bulan berturut-turut. Hingga Mei 2025, Indonesia telah membukukan surplus kumulatif sebesar US$15,38 miliar.

Dengan tarif sebesar 32%, plus jika nanti tambahan 10%, produk-produk Indonesia di pasar AS menjadi jauh lebih mahal, mengurangi daya saing jika dibandingkan dengan produk dari negara lain yang tidak dikenai tarif serupa. Tentu kinerja ekspor produk dalam negeri untuk pasar Amerika bisa lesu.

Hal itu akan sangat mengkhawatirkan mengingat produk ekspor Indonesia ke negara itu didominasi oleh sektor padat karya, yakni elektronik, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, palm oil, karet, furnitur, serta udang dan produk-produk perikanan laut lainnya.

Belum lagi sejumlah negeri jiran di kawasan yang banyak menghasilkan produk serupa untuk pasar Amerika Serikat tidak dikenai tarif sebesar Indonesia. Tarif yang dikenai kepada Indonesia lebih besar jika dibandingkan dengan tarif impor untuk Malaysia sebesar 25%. Untuk Vietnam, Presiden AS Donald Trump sempat mengumumkan akan mengenakan tarif impor sebesar 20%. Sementara itu, Myanmar dan Laos dikenai tarif 40%, kemudian Thailand dan Kamboja 36%.

Indonesia tentu patut untuk melihat strategi negosiasi Vietnam yang berhasil menurunkan tarif mereka lebih dari separuh. Vietnam awalnya dihadapkan pada tarif sebesar 46%. Namun, dengan kegigihan tim negosiasi, mereka mampu mereduksi tarif hanya tinggal 20%.

Untuk itulah, pemerintah perlu segera melobi pemerintah AS dengan sangat keras untuk membuka dialog bilateral. Saat ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berada di Washington DC untuk melanjutkan perundingan dengan perwakilan pemerintah AS untuk memastikan adanya ruang negosiasi.

Langkah itu penting untuk menjelaskan posisi Indonesia dan mencari jalan tengah. Jangan sampai upaya tersebut kembali tidak menghasilkan perubahan apa pun seperti ketika negosiasi tahap pertama. Namun, tentu negosiasi yang dijalankan tetap harus mengutamakan kepentingan nasional.

Selain terus mengupayakan negosiasi dengan Amerika, penguatan diversifikasi pasar ekspor menjadi penting dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan perang dagang itu. Perkuat hubungan ekonomi dengan negara di luar AS, baik itu dengan BRICS, Uni Eropa, maupun negara-negara Timur Tengah.

Kemandirian ekonomi dan diplomasi perdagangan yang kuat akan menjadi kunci dalam menghadapi tekanan eksternal semacam itu. Pasalnya, pengenaan tarif kali ini bukan sekadar persoalan menyeimbangkan neraca perdangan, melainkan juga terkait dengan persaingan geopolitik yang lebih besar.

Jika Indonesia sampai terseret terlalu dalam, tanpa kemandirian sikap dan ekonomi, bisa saja negeri ini menjadi korban sampingan dari perang dagang dua blok ekonomi terbesar di dunia. Jangan sampai kita menjadi pelanduk di tengah perang dagang yang terus berkecamuk.

 

 



Berita Lainnya
  • Mencurahkan Hati untuk Papua

    11/7/2025 05:00

    JULUKAN ‘permata dari timur Indonesia’ layak disematkan untuk Pulau Papua.

  • Bansos bukan untuk Judol

    09/7/2025 05:00

    IDAK ada kata lain selain miris setelah mendengar paparan PPATK terkait dengan temuan penyimpangan penyaluran bantuan sosial (bansos).

  • Dicintai Rakyat Dibenci Penjahat

    08/7/2025 05:00

    KEJAKSAAN Agung (Kejagung) bukan lembaga yang menakutkan. Terkhusus bagi rakyat, terkecuali bagi penjahat.

  • Investasi Enggan Melesat

    07/7/2025 05:00

    PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto tampaknya mulai waswas melihat prospek pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2028-2029.

  • Di Laut, Kita Dikepung Petaka

    05/7/2025 05:00

    LAGI dan lagi, publik terus saja dikagetkan oleh peristiwa kecelakaan kapal di laut. Hanya dalam sepekan, dua kapal tenggelam di perairan Nusantara.

  • Jangan Menyerah Lawan Kekejian Israel

    04/7/2025 05:00

    MEMBICARAKAN kekejian Israel adalah membicarakan kekejian tanpa ujung dan tanpa batas.

  • Musim Potong Hukuman Koruptor

    03/7/2025 05:00

    SINDIRAN bahwa negeri ini penyayang koruptor kian menemukan pembenaran. Pekik perang terhadap korupsi yang cuma basa-basi amat sulit diingkari.

  • Menjerat Penjaja Keadilan

    02/7/2025 05:00

    ADA angin segar dalam penegakan hukum terhadap koruptor.

  • Lagu Lama Korupsi Infrastruktur

    01/7/2025 05:00

    PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.

  • Mendesain Ulang Pemilu

    30/6/2025 05:00

    MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia

  • Jangan lagi Ditelikung Koruptor

    28/6/2025 05:00

    PEMERINTAH kembali terancam ditelikung koruptor.

  • Berhenti Membebani Presiden

    27/6/2025 05:00

    MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.

  • Mitigasi setelah Gencatan Senjata

    26/6/2025 05:00

    GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.

  • Nyalakan Suar Penegakan Hukum

    25/6/2025 05:00

    KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.

  • Menekuk Dalang lewat Kawan Keadilan

    24/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.