Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
SETIAP tahun jutaan masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami turun kelas. Sebagian turun ke level calon kelas menengah (aspiring middle class), sebagian lagi anjlok menuju masyarakat rentan miskin. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah turun tajam dalam lima tahun terakhir, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024.
Apakah ini bisa dianggap persoalan remeh dan layak disepelekan pemerintah? Jelas tidak. Bagaimana mau dipandang sepele kalau masyarakat kelas menengah yang sesungguhnya punya kontribusi besar terhadap pergerakan ekonomi itu kian hari justru kian terimpit dan terjepit. Bagaimana bisa dianggap enteng bila kelas menengah terus-terusan mendapat tekanan dari dua sisi: pendapatan yang melambat dan biaya hidup yang makin tinggi.
Saat ini, jika digabung masyarakat kelas menengah dan calon kelas menengah, jumlahnya mencapai 66,35% dari total penduduk Indonesia. Dari mereka, nilai konsumsi pengeluarannya mencakup 81,49% dari total konsumsi nasional. Kelas menengah juga merupakan penyokong penerimaan pajak yang besar. Maka, ketika proporsi kelas menengah terus menipis, perekonomian menjadi kurang resilien terhadap guncangan.
Menurunnya jumlah kelas menengah sejatinya menjadi indikasi kuat bahwa ada problem serius dalam hal fundamental ekonomi nasional, sekaligus menunjukkan betapa kedodorannya kebijakan ekonomi pemerintah. Kelas menengah selalu disebut-sebut sebagai bantalan dari perekonomian nasional, tetapi strategi untuk mengungkit kapasitas mereka tak pernah terlembagakan dengan baik.
Alih-alih menaikkan kelas, untuk sekadar menjaga mereka tetap berada di gerbong kelas menengah saja pemerintah kepayahan. Terbukti dari data BPS selama lima tahun terakhir tadi, berjuta-juta masyarakat kelas menengah justru terpaksa turun kasta. Masyarakat kelas menengah dan aspiring middle class kini malah lebih dekat kepada garis kemiskinan ketimbang kelas di atasnya.
Pemerintah semestinya tidak boleh mengamuflase persoalan sekrusial ini dengan sekadar menganggap itu sebagai tren fenomena global. "Itu problem yang terjadi hampir di semua negara," kata Presiden Joko Widodo saat ditanya wartawan terkait dengan terus menyusutnya jumlah kelas menengah, Jumat (30/8) lalu.
Dari jawaban bernada ngeles itu, kiranya publik boleh menduga bahwa pemerintah memang tak memiliki strategi jitu untuk lepas dari jerat masalah tersebut. Jawaban seperti itu hampir sama nuansanya seperti ketika pemerintah terus saja menyalahkan pandemi covid-19 sebagai biang kerok luruhnya pertahanan kaum kelas menengah.
Betul, tidak ada yang membantah bahwa pandemi covid-19 menimbulkan dampak jangka panjang (scarring effect) terhadap perekonomian nasional. Namun, jangan lupa, ada data lain yang disampaikan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, bahwa penurunan jumlah kelas menengah itu sudah terjadi sejak 2018 atau dua tahun sebelum pandemi covid-19 melanda dunia.
Artinya, sebelum penurunan kelas menengah itu menjadi fenomena di hampir semua negara alias menjadi tren global pascapandemi, Indonesia sudah memulai tren itu sebelumnya. Maka, bila berpatokan dari itu, boleh jadi bukan pandemi yang jadi biang keroknya, melainkan pemerintah yang tidak sigap mengantisipasi gejalanya sejak awal.
Pilar dari kelas menengah ialah sektor formal dan manufaktur, terutama yang memiliki produktivitas tinggi. Tanpa memfokuskan kebijakan pada dua hal tersebut, upaya mengerek kelas menengah hanya akan jadi angan-angan. Celakanya, di saat yang sama, kinerja manufaktur domestik juga terus melemah dan tertekan.
Karena itu, tidak ada cerita lain, pemerintah harus melakukan reformasi iklim usaha secara struktural dan mempercepat reformasi kualitas SDM. Itu tidak hanya akan menguatkan lagi sektor manufaktur, tapi juga sekaligus menjadi langkah awal untuk meningkatkan jumlah masyarakat kelas menengah.
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
EKONOMI Indonesia melambung di tengah pesimisme yang masih menyelimuti kondisi perekonomian global maupun domestik.
BERAGAM cara dapat dipakai rakyat untuk mengekspresikan ketidakpuasan, mulai dari sekadar keluh kesah, pengaduan, hingga kritik sosial kepada penguasa.
MANTAN Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan mantan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto telah resmi bebas dari tahanan.
Kebijakan itu berpotensi menciptakan preseden dalam pemberantasan korupsi.
ENTAH karena terlalu banyak pekerjaan, atau justru lagi enggak ada kerjaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir puluhan juta rekening milik masyarakat.
KASUS suap proses pergantian antarwaktu (PAW) untuk kader PDI Perjuangan Harun Masiku ke kursi DPR RI masih jauh dari tutup buku alias belum tuntas.
Intoleransi dalam bentuk apa pun sesungguhnya tidak bisa dibenarkan.
KEPALA Desa ibarat etalase dalam urusan akuntabilitas dan pelayanan publik.
KONFLIK lama Thailand-Kamboja yang kembali pecah sejak Kamis (24/7) tentu saja merupakan bahaya besar.
NEGERI ini memang penuh ironi. Di saat musim hujan, banjir selalu melanda dan tidak pernah tertangani dengan tuntas. Selepas banjir, muncul kemarau.
Berbagai unsur pemerintah pun sontak berusaha mengklarifikasi keterangan dari AS soal data itu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved