Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
DIIZINKANNYA organisasi kemasyarakatan (ormas) untuk mengelola usaha pertambangan disambut antusias oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ormas keagamaan terbesar di dunia itu akan membuka lembaran baru melalui badan usaha mereka untuk menjadi salah satu pengelola tambang batu bara.
Seiring dengan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang diteken pada 30 Mei, setiap ormas diberi hak kelola pertambangan. Namun, hingga kini, baru PBNU yang paling cepat merespons. Dua ormas keagamaan, yakni Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), menolak mengambil hak kelola tambang itu.
Begitu juga dengan Muhammadiyah, yang hingga kini belum menentukan sikap, apakah mengambil atau tidak opsi pengelolaan tambang yang diberikan pemerintah. Sementara itu, NU berjanji akan mengisi badan usaha yang mereka bentuk dengan merekrut ratusan profesional dari kalangan NU, termasuk yang selama ini sudah bekerja di luar negeri. Penghasilan dari perusahaan itu kemudian akan digunakan untuk kebutuhan organisasi, bukan individu. Sebuah niat baik, yang kita akan tunggu realisasinya.
Namun, bagi ormas keagamaan yang tidak akan mengajukan izin usaha tambang, mereka juga memiliki niat yang tak kalah mulia. Mereka merasa tidak memiliki kemampuan di bidang tambang dan khawatir akan kehilangan legitimasi moral. Selain itu, ada yang menekankan prinsip kehati-hatian dan akan mempertimbangkan tawaran itu dari sisi positif, negatif, serta kemampuan diri.
Dengan respons yang berbeda seperti itu, layak kiranya jika publik bertanya-tanya, apa urgensi pembolehan ormas untuk mengelola tambang? Bahkan, publik layak mempertanyakan apa niat sesungguhnya dari pembukaan opsi pengelolaan tambang kepada ormas? Belum lagi bila muncul pertanyaan soal kapasitas pengelolaan tambang yang sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, apakah ormas bisa menggaransinya?
Selama ini, publik berharap ormas mampu memainkan peran sebagai perekat kohesi sosial. Ormas keagamaan, misalnya, diharapkan untuk tidak melalaikan tugas dan fungsi utama dalam membina umat. Apalagi, pekerjaan rumah pembinaan umat itu masih sangat banyak. Kita melihat kondisi toleransi beragama yang masih kerap terganggu merupakan salah satu pekerjaan yang belum sepenuhnya tuntas hingga saat ini.
Ormas, khususnya ormas keagamaan, juga dituntut untuk menuntun masyarakat kian mencintai lingkungan. Di tengah daya dukung lingkungan yang rusak dari waktu ke waktu, ketiadaan jaminan pengelolaan tambang yang ramah lingkungan malah berpotensi menjadikan masyarakat korban rusaknya lingkungan akibat usaha tambang yang abai terhadap tata kelola berkelanjutan.
Selama ini, kehadiran ormas keagamaan amat dibutuhkan umat untuk mendampingi, bahkan mengadvokasi, para korban praktik penambangan yang abai terhadap kelestarian lingkungan tersebut. Posisi seperti itu amat mungkin bisa bergeser sebaliknya bila ormas justru menjadi pemain utama pengelola pertambangan layaknya korporasi.
Publik tentu tidak rela bila ormas yang dekat dengan mereka justru terseret praktik-praktik culas yang bisa saja terjadi bila mereka masuk ke ranah izin usaha pertambangan. Kita belum bisa melupakan bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat mantan bendahara ormas keagamaan dalam pusaran kasus izin usaha pertambangan.
Karena itu, pemberian izin usaha pertambangan kepada ormas mesti dijalankan secara hati-hati. Jangan sampai berharap mendatangkan manfaat, yang banyak muncul justru mudarat. Prinsip menolak mudarat mesti didahulukan ketimbang memetik manfaat.
Kini, tantangan yang mesti kita hadapi terkait dengan relasi antara tambang dan keberlangsungan lingkungan masih bertumpuk. Memastikan masalah yang lama tuntas saja belum bisa kita jamin kapan akan terjadi. Apalagi, bila hal itu kian ditambah dengan tantangan baru pengelolaan tambang yang belum sanggup dijamin sepenuhnya kemampuan tata kelola keberlanjutannya.
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Immanuele 'Noel' Ebenezer Gerungan dan 10 orang lainnya sebagai tersangka.
DUA kasus besar yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tidak bisa dianggap remeh.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan pada 2026, atau mengambil porsi 20% lebih APBN tahun depan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved