Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
PRESIDEN Joko Widodo pernah menyinggung fenomena masyarakat saat ini dalam menyampaikan tuntutan, bahwa segala keluhan dan tuntutan diviralkan masyarakat. Fenomena itu memang benar dan Presiden tidak usah heran. Belakangan, di Republik ini perubahan baru terjadi jika sudah viral di jagat maya. Tanpa itu, telinga penguasa seperti tuli meski sebenarnya di lapangan sudah banyak protes dilayangkan langsung.
Contoh terbaru ialah polemik tingginya uang kuliah tunggal (UKT) yang ditetapkan sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) menyusul keluarnya Permendikbud No 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional pada Pendidikan Tinggi Negeri (SSBOPTN) di Lingkungan Kemendikbud-Ristek, yang dikeluarkan Mendikbud-Ristek, awal tahun ini.
Setelah setidaknya sebulan gaduh, ramai diberitakan, dan diviralkan netizen, barulah Senin (27/5), Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim dipanggil Presiden Jokowi. Nadiem kemudian mengumumkan penaikan UKT tahun ini dibatalkan. Apa pun, kita mengapresiasi pembatalan itu.
Namun, meski memang patut, sebenarnya model pembatalan seperti itu semakin menunjukkan pemerintah sangat gemar mengeluarkan solusi reaktif. Pun dengan pembatalan penaikan UKT itu, terlihat betul itu dicetuskan hanya untuk meredam keriuhan di jagat maya dan unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah. Pokok persoalannya, yang tidak lain ialah Permendikbud No 2 Tahun 2024, malah tidak terusik.
Padahal, tanpa pencabutan Permendikbud 2/2024 itu, pembebanan UKT selangit sangat mungkin terjadi lagi pada tahun-tahun mendatang. Beleid yang menjadi landasan kampus negeri menaikkan UKT itu semestinya segera dicabut karena banyaknya pasal abu-abu yang membuat PTN dapat ‘sewenang-wenang’ menilai golongan ekonomi keluarga para mahasiswa.
Sejumlah PTN, nyatanya, juga hanya melihat besaran gaji orangtua tanpa memperhatikan jumlah tanggungan lainnya. Akibatnya, banyak calon mahasiswa dari keluarga menengah pas-pasan yang jadi korban. Itu menjadi fenomena kelam mahasiswa-mahasiswa Indonesia.
Benar belaka bila dikatakan UKT di PTN saat ini tidak mencerminkan prinsip keadilan dan inklusivitas. Gelombang kritik dan protes yang terjadi di banyak PTN membuktikan polemik UKT bukanlah kasuistis, melainkan memang tidak berkeadilan dan tidak inklusif. Padahal, dua prinsip itu yang digembar-gemborkan Nadiem sebagai dasar Permendikbud 2/2024.
Terus berlanjutnya Permendikbud 2/2024 tidak saja dapat mengulang kesewenangan UKT pada tahun mendatang, tapi juga memperparah angka pengangguran yang sudah terjadi di gen Z. Jika mengacu data yang belum lama ini dirilis BPS, 9,9 juta pemuda Indonesia berusia 15-24 tahun atau sering disebut gen Z terjebak dalam kategori NEET (not in education, employment, or training).
Angka itu setara dengan 22,25% dari total populasi usia tersebut, dengan mayoritas (59,23%) berasal dari lulusan SMA/SMK. Salah satu penyebabnya ialah ketidakselarasan antara kebutuhan dunia kerja dan keterampilan, serta pengetahuan yang dimiliki lulusan sekolah alias masalah link and match.
Pada titik inilah pendidikan tinggi semestinya ikut menjadi solusi untuk mencegah semakin besarnya gen Z dalam kubangan NEET. Namun, yang terjadi malah sebaliknya, alih-alih menawarkan solusi, pendidikan tinggi malah menciptakan masalah tersendiri.
Karena itu, kita mendesak Permendikbud 2/2024 mutlak dicabut. Tidak hanya itu, penerapan status PTN BH harus dievaluasi. Status PTN BH yang merupakan buah UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memang dipahami merupakan upaya untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian PTN-PTN.
Namun, hingga satu dekade berjalan, nyatanya kebanyakan kampus negeri di Tanah Air, bahkan yang kampus tertua sekalipun, belum mampu menciptakan kemandirian finansial ala negara Barat. Pada akhirnya mereka mengambil jalan mudah dengan membebankan pendanaan kepada mahasiswa, seperti dengan memberlakukan UKT tinggi.
Seluruh imbas kelam di dunia pendidikan tinggi itu harus disadari betul oleh pemerintah. Temukan solusi permanen karena jika situasi ini dibiarkan berlambat-lambat, akan menghambat mimpi-mimpi besar bangsa ini di bidang pendidikan.
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Immanuele 'Noel' Ebenezer Gerungan dan 10 orang lainnya sebagai tersangka.
DUA kasus besar yang terjadi di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) saat ini tidak bisa dianggap remeh.
PEMERINTAH mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan pada 2026, atau mengambil porsi 20% lebih APBN tahun depan.
SUDAH tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi.
KONSTITUSI telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu prinsip yang tak bisa ditawar ialah soal kepastian hukum.
UNGKAPAN tidak ada manusia yang sempurna menyiratkan bahwa tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan.
BERANI mengungkap kesalahan ialah anak tangga pertama menuju perbaikan.
DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika.
BERCANDA itu tidak dilarang. Bahkan, bercanda punya banyak manfaat untuk kesehatan fisik dan mental serta mengurangi stres.
MULAI 2026, penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air memasuki era baru. K
BUKAN masuk penjara, malah jadi komisaris di BUMN. Begitulah nasib Silfester Matutina, seorang terpidana 1 tahun 6 bulan penjara yang sudah divonis sejak 2019 silam.
PERSOALAN sengketa wilayah Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat di tengah kian mesranya hubungan kedua negara.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia.
PEMERIKSAAN dua menteri dari era Presiden Joko Widodo oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi menjadi sorotan publik.
SAMA seperti perang terhadap korupsi, perang melawan narkoba di negeri ini sering dipecundangi dari dalam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved