Kampanye Menerabas Netralitas

22/8/2023 05:00
Kampanye Menerabas Netralitas
(MI/Seno)

ADA sejumlah ruang publik yang selama ini dijaga netralitasnya dari gempuran kampanye peserta pemilihan umum (pemilu). Tempat ibadah, fasilitas pemerintah, dan fasilitas pendidikan. Netralitas ketiga tempat itu diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam pasal itu tegas dinyatakan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

Namun, sayangnya, penjelasan pasalnya justru memunculkan ketaksaan (ambiguitas) karena menawarkan kelonggaran. Dalam penjelasan itu dikatakan bahwa kampanye di ketiga tempat tersebut bisa dilakukan asalkan tidak menggunakan atribut kampanye dan atas undangan dari pihak penanggung jawab. Sangat ambigu karena isi pasalnya melarang tanpa syarat, tapi penjelasannya malah membolehkan dengan sejumlah syarat.

Ambiguitas itulah yang kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pemohon Handrey Mantiri dan Ong Yenni. MK kemudian mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Kini, dalam beleid baru berdasarkan amar putusan MK, hanya tempat ibadah yang dilarang tanpa syarat untuk dimasuki kampanye. Adapun fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan (sekolah dan kampus) dikecualikan dari larangan tersebut sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.

Niat MK sejatinya ingin menghilangkan ambiguitas beleid pemilu itu. Namun, suka tidak suka, secara tidak langsung putusan MK tersebut mereduksi netralitas kedua fasilitas yang dikecualikan itu. Padahal, secara fatsun politik, fasilitas pemerintah dan fasilitas pendidikan sesungguhnya adalah tempat yang mesti dijauhkan dari kepentingan elektoral para peserta pemilu. Baik elektoral partai politik (parpol), calon anggota legislatif, maupun calon presiden dan calon wakil presiden.

Kenetralan fasilitas pemerintah hendaknya dijaga seperti halnya negara memagari aparatur sipil negara (ASN) untuk tetap bersikap netral dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Dengan logika paling awam sekalipun, kita bisa membayangkan apabila kampanye di lingkungan pemerintah diizinkan, bukankah itu justru akan memancing atau bahkan mendorong para ASN untuk melupakan netralitas mereka?

Begitu pun dengan kampanye di lembaga pendidikan, terutama di sekolah. Apa pun bentuknya, kampanye di sekolah, jika itu ditafsirkan sebagai penggunaan fasilitas lahan dan bangunan sekolah, tentu akan mengganggu proses belajar mengajar. Demi kepentingan elektoral, kepentingan siswa, guru, dan orangtua dikorbankan. Lagi pula, sesungguhnya tidak ada urgensinya kampaye di sekolah tingkat dasar hingga menengah yang tidak semua siswanya punya hak pilih.

Yang paling mungkin akan menjadi sasaran dari dibolehkannya kampanye di lembaga pendidikan ialah universitas atau kampus. Di kampuslah berkumpul kaum muda dan milenial. Mereka bagian dari pemilih muda yang diproyeksi menguasai 68% pemilih pada Pemilu 2024 mendatang. Mereka pasar yang amat menggiurkan bagi peserta pemilu untuk menjaring elektoral.

Karena itu, kita mesti kirim sinyal waspada agar institusi intelektualitas selevel kampus tak semata dijadikan pasar suara. Tidak sekadar digunakan fasilitas lahan dan gedungnya untuk mengumpulkan dan mengerahkan massa. Kampus seharusnya dibebaskan menjadi ruang untuk mengkaji dan mempelajari ilmu politik sekaligus wadah menggodok kebijakan politik dengan tujuan mencari solusi melalui pendekatan akademis. Kampus adalah tempat untuk menguji, mengadu gagasan dan program para parpol, caleg, maupun capres.

Kalaupun memang kampanye di kampus tak bisa dilarang, semestinya KPU membuat rambu-rambu bahwa kampanye yang boleh dilakukan di lingkungan kampus hanyalah kampanye dialogis atau debat antarkandidat. Model kampanye seperti itu akan sangat positif sekaligus memperbesar peluang pemilu kita menghasilkan pemimpin yang cerdas, berintegritas, dan punya visi masa depan.



Berita Lainnya