Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
HARTA kekayaan para pejabat di Kementerian Keuangan masih menjadi sorotan. Bukan lagi semata soal besarnya harta Rafael Alun Trisambodo yang kini sedang diusut sumbernya oleh KPK. Perbincangan publik saat ini memanjang hingga tentang banyaknya pejabat di institusi tersebut yang merangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan pelat merah.
Tema itu terangkat bermula dari pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang meminta agar masyarakat tidak menyamaratakan kasus Rafael dengan besarnya harta kekayaan para pejabat yang lain. Menurut dia, harta kekayaan dalam jumlah besar yang dimiliki banyak pejabat di Kemenkeu tidak melulu berasal dari sumber yang tak jelas atau mencurigakan.
Sudah menjadi rahasia umum, para pejabat di Kementerian Keuangan selain memiliki penghasilan bulanan dari gaji dan tunjangan kinerja (tukin), sebagian mereka juga memperoleh tambahan pendapatan yang tak kalah besar dari jabatan mereka sebagai komisaris di sejumlah BUMN.
Dalam catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), ada 11 pejabat eselon 1 Kementerian Keuangan yang rangkap jabatan menjadi komisaris di BUMN. Salah satunya Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, yang sejak Desember 2019 merupakan Wakil Komisaris Utama PT PLN. Ada juga nama Sekretaris Jenderal Kemenkeu Heru Pambudi yang menjabat Komisaris PT Pertamina (persero) dan setidaknya 9 nama lain.
Dari perspektif kewajaran, wajar saja bila mereka memiliki harta kekayaan dalam jumlah besar karena punya dua sumber penghasilan resmi yang sama-sama besar. Dengan dasar itu, KPK meminta masyarakat supaya tidak usah heran dengan besarnya harta kekayaan dari kalangan pejabat eselon 1 di Kemenkeu. Asal tidak nyolong, KPK mengganggap itu wajar.
Memang betul, tak perlu korupsi atau melakukan kejahatan keuangan lain, mereka tidak bakal sulit menumpuk kekayaan melalui gaji, tunjangan, dan renumerasi bulanan yang bila dijumlah tentu sangat besar. Fitra bahkan menengarai seorang pejabat eselon 1 yang menjadi komisaris di BUMN bisa mendapatkan renumerasi hingga Rp2 miliar setiap bulan. Sedap betul.
Namun, tentu ada perspektif lain yang lebih kritis, yakni perspektif kepatutan dan kemanfaatan. Sebetulnya bolehkah secara hukum ataupun etis para pejabat kementerian, bahkan sampai wakil menteri, rangkap jabatan? Lalu kalau pejabat-pejabat itu menjadi komisaris di BUMN, adakah faedahnya? Apakah justru tidak memuncukan konflik kepentingan?
Jika menyimak isi Pasal 23 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, memang hanya menteri yang dilarang merangkap jabatan. Namun, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No 80/PUU-XVII/2019, MK menegaskan larangan rangkap jabatan yang berlaku pada menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara juga harus berlaku terhadap wakil menteri.
Artinya, jelas, seperti halnya menteri semestinya wakil menteri tak boleh 'nyambi' menjadi komisaris di mana pun, apalagi perusahaan negara. Adapun untuk pejabat eselon 1, secara hukum memang tidak ada yang dilanggar. Namun, bukankah secara kepatutan seorang pejabat publik semestinya mencurahkan fokus dan konsentrasinya untuk bekerja di posisi jabatan publiknya? Tidak mendua dan tidak membelah fokusnya?
Lagi pula sesungguhnya masyarakat juga tak terlalu melihat efektivitas fungsi pejabat tinggi di kementerian sebagai pengawas BUMN. Jangan-jangan seperti kecurigaan Fitra, penempatan mereka di BUMN sebagai bentuk pengawasan sebetulnya hanya sekadar gimik.
Karena itu, mumpung persoalan kekayaan pejabat kementerian masih menjadi sorotan publik, ada momentum bagi pemerintah untuk membuat regulasi yang lebih tegas. Larang saja seluruh level pejabat publik rangkap jabatan di perusahaan, baik negara maupun swasta. Itu lebih fair.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved