Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Menjaga Sukma Pendidikan

Satia Zen Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
14/7/2025 05:10
Menjaga Sukma Pendidikan
(Dok. Prubadi)

BELAKANGAN ini, perdebatan seputar akses terhadap pendidikan kembali mencuat di ruang publik. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan pemerintah menggratiskan pendidikan dasar—baik di sekolah negeri maupun swasta—memunculkan kontroversi. Salah satu alasan utama di balik kebijakan itu ialah keterbatasan jumlah sekolah di sejumlah daerah, yang membuat sekolah swasta didorong untuk menampung siswa tanpa memungut biaya.

Kedua, rencana pendirian sekolah rakyat di 100 lokasi secara serentak di seluruh Indonesia juga menimbulkan pro dan kontra. Kebijakan itu ditujukan untuk memutus mata rantai kemiskinan, khususnya bagi masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi rendah, berdasarkan hasil pendataan terkini. Sekolah rakyat akan tetap mengacu pada kurikulum nasional, tetapi diperkaya dengan penguatan karakter dan elemen-elemen khusus yang dirancang untuk mendorong perkembangan siswa secara optimal.

Dari dua kebijakan itu, kita melihat bahwa tantangan akses pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya teratasi, khususnya dalam pemerataan layanan pendidikan berkualitas. Kesenjangan sosial ekonomi masih menjadi penghalang utama. Meski kebijakan-kebijakan itu berpotensi membuka akses, dampaknya masih terlalu dini untuk diukur.

Program sekolah swasta gratis baru mulai membuka pendaftaran di Kota Depok, Jawa Barat, sementara sekolah rakyat masih dalam tahap persiapan. Kedua inisiatif itu berpotensi menjadi laboratorium penting bagi implementasi kebijakan pendidikan publik di masa depan. Namun, penting bagi kita untuk memandang akses pendidikan dari sudut pandang yang lebih mendalam.

 

MASALAH AKSES PENDIDIKAN

Sistem pendidikan di banyak negara dibangun di atas cita-cita besar: pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan berkualitas bagi semua warga. Secara sederhana, akses pendidikan berarti bahwa setiap anak usia sekolah memiliki peluang untuk belajar tanpa hambatan yang bersumber dari latar belakang sosial, ekonomi, gender, etnik, agama, disabilitas, atau kondisi lainnya.

Dari kerangka itu, dua aspek penting dalam menilai akses pendidikan ialah, pertama, sejauh mana pendidikan berkualitas tersedia secara gratis atau sangat terjangkau dan, kedua, sejauh mana akses itu terbuka tanpa diskriminasi.

Dalam konteks itu, dua kebijakan yang tengah diuji dapat dilihat sebagai bentuk perluasan akses berbasis kategori tertentu—misalnya, sekolah rakyat untuk keluarga prasejahtera. Meski bersifat afirmatif, pendekatan kategorikal seperti itu dapat menimbulkan konsekuensi tak terduga. Ketika akses pendidikan dibatasi untuk kelompok tertentu, kelompok lain di luar kategori tersebut bisa terdampak secara tidak langsung. Artinya, akar persoalan akses pendidikan kita belum sepenuhnya dituntaskan.

 

SUKMA PENDIDIKAN DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN

Salah satu cara penting untuk memahami akses pendidikan secara lebih utuh ialah dengan menengok kembali pada apa yang disebut sebagai sukma pendidikan, yakni sejauh mana pendidikan memberi pengalaman belajar yang memelihara jiwa anak secara utuh. Konsep itu kerap terpinggirkan dalam perumusan kebijakan karena dianggap abstrak dan sulit diukur. Namun, justru ketika unsur itu absen, pendidikan kehilangan ruhnya.

Peterson (1999) mengingatkan, pendidikan bukan sekadar soal metode dan strategi penyelesaian masalah. Jiwa manusia tidak bisa diperlakukan seperti kerusakan yang harus diperbaiki; ia butuh perhatian personal yang konsisten, baik lewat momen kecil yang bermakna dalam keseharian maupun melalui keputusan besar yang mengubah hidup.

Di sisi lain, pendekatan kebijakan yang terlalu mengandalkan klasifikasi—seperti label 'siswa inklusi' atau 'siswa prasejahtera'—berisiko menyempitkan makna keberagaman dan justru mereduksi potensi siswa. Studi di Finlandia (Jarvinen et al, 2023), misalnya, menunjukkan anak-anak dari keluarga miskin, meski mengakses pendidikan berkualitas, tetap cenderung memiliki disposisi dan aspirasi pendidikan yang negatif. Itu memperlihatkan bahwa akses fisik belum tentu menjamin pengalaman belajar yang bermakna. Di sinilah pentingnya sukma pendidikan: memperlakukan semua anak sebagai manusia utuh, bukan sebagai entitas yang kurang atau perlu dikategorikan.

 

SUKMA PENDIDIKAN SEBAGAI LANDASAN PERUBAHAN SISTEM

Perbaikan sistem pendidikan yang kompleks seperti di Indonesia memerlukan waktu, komitmen politik yang kuat, dan dukungan finansial jangka panjang. Namun, langkah awalnya harus berangkat dari pertimbangan sukma pendidikan, yakni memandang anak sebagai manusia utuh, bukan individu yang cacat atau defisit.

Kebijakan pendidikan perlu dirancang dengan memperhatikan relasi antarpelaku dalam sistem secara mendalam sehingga dapat mendorong sekolah untuk menerima semua anak dan mengembangkan potensi mereka melalui pendidikan yang menghargai keberagaman.

Pengalaman Sekolah Sukma Bangsa selama 19 tahun terakhir menjadi bukti bahwa membuka akses pendidikan berkualitas saja belum cukup. Menjaga sukma pendidikan, yakni proses pembelajaran yang menguatkan dan memperkaya jiwa anak, memerlukan pemaknaan ulang yang berkelanjutan oleh seluruh komunitas sekolah.

Sekolah itu menerima siswa dari beragam latar belakang: korban konflik dan tsunami di Aceh, penyintas gempa di Palu, siswa berkebutuhan khusus, dan mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan.

Pengalaman Sekolah Sukma Bangsa menerima siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi justru menumbuhkan kesadaran bahwa sukma pendidikan tumbuh melalui dialog yang berkelanjutan antara visi-misi, semangat belajar bersama, dan kesadaran kolektif akan tanggung jawab moral.

Sekolah itu membuka pintu bagi siswa dari keluarga kurang mampu, termasuk penyintas konflik dan tsunami di Aceh, korban likuefaksi dan gempa di Palu, siswa berkebutuhan khusus, hingga mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan. Dari pengalaman itulah, sekolah belajar memaknai keragaman secara lebih luas sebagai bagian dari merawat sukma pendidikan.

Setelah didirikan di era Kurikulum KTSP, melewati Kurikulum 2013, hingga kini pada Kurikulum Merdeka, Sekolah Sukma Bangsa berupaya menjaga agar proses belajar tetap menyenangkan dan bermakna. Pengalaman menghadapi berbagai tantangan, mulai bencana alam hingga pandemi, mengajarkan nilai-nilai seperti gotong royong, kebersamaan, dan kekeluargaan ialah napas pendidikan sejati.

Pendidikan yang benar-benar berkualitas tidak berangkat dari pengelompokan atau pemisahan, tetapi dari penerimaan yang tulus, interaksi yang bermakna, dan proses yang konsisten. Di sinilah sukma pendidikan hidup dan tumbuh. Dari sinilah pula, pendidikan kita akan menemukan kembali jati dirinya yang paling dalam: memanusiakan manusia.

Dirgahayu Sekolah Sukma Bangsa yang sedang berulang tahun ke-19. Semoga terus menjadi ruang yang merawat sukma pendidikan Indonesia.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik