Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
TANGGAL 23 Juli mendatang kita peringati Hari Anak Nasional. Sebuah hari yang selama ini peringatannya dipenuhi dengan sukacita yang menggambarkan optimisme masa depan anak Indonesia. Namun, pada tahun ini, sebelum kita merayakannya dengan gembira, mari kita merenung sejenak sambil menjawab pertanyaan ini: Apakah anak-anak Indonesia sudah tumbuh dengan bahagia? Sudahkah hak-hak anak-anak Indonesia terpenuhi? Termasuk di dalamnya ialah hak tumbuh berkembang di lingkungan yang mendukung mereka menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Jika kita mau bersikap jujur, fakta di lapangan menunjukkan Indonesia tengah menghadapi krisis moral yang serius, mulai tingkat individu, masyarakat, hingga negara. Kata-kata kotor, ujaran kebencian, juga kebohongan sering dilontarkan, korupsi merajalela, halangan terhadap keberagaman belum mereda, bumi dicederai tanpa jeda, hingga keadilan yang terasa semakin jauh dari cita-cita pendiri bangsa.
Yang lebih menyedihkan, tidak sedikit hal-hal tersebut justru dilakukan mereka yang seharusnya menjadi teladan. Pembiaran dan normalisasi terhadap itu semua berdampak buruk terhadap anak-anak kita.
Anak-anak mudah menyerap perilaku dari lingkungan dan media di sekitarnya. Namun, justru merekalah yang sering disalahkan. Padahal, perilaku mereka mencerminkan lingkungan tempat mereka dibesarkan. Jika kita benar-benar peduli, sudah seharusnya kita mengevaluasi peran kita dalam menciptakan lingkungan yang sehat bagi tumbuh kembang mereka.
LINGKUNGAN YANG MENDUKUNG
Ketika kita bermaksud membentuk anak-anak kita menjadi anak berakhlak mulia, kita harus memastikan mereka berada dalam lingkungan yang mendukung tercapainya tujuan tersebut. Lingkungan tidak hanya berarti ruang fisik seperti rumah atau sekolah, tetapi juga mencakup relasi sosial, akses terhadap informasi, serta nilai-nilai yang diperlihatkan masyarakat luas.
Lingkungan terdekat, seperti keluarga dan sekolah, sering dikatakan sebagai lingkungan yang memiliki tanggung jawab terbesar dalam pembentukan akhlak anak. Orangtua dan guru menjadi orang dewasa yang memiliki pengaruh kuat dalam lingkungan tersebut. Akan tetapi, dalam dunia saat ini ketika informasi hadir tidak terbendung, pengaruh pembentukan akhlak anak juga datang dari lingkungan yang lebih luas. Gawai pintar menjadi perantara masuknya lingkungan luar yang kemudian ikut memengaruhi pembentukan akhlak anak.
Jika melihat dari kerangka pendidikan perdamaian, lingkungan tumbuh kembang anak haruslah bebas dari segala bentuk kekerasan, baik kekerasan langsung, struktural, maupun kultural. Namun, pendidikan perdamaian bukan hanya tentang membebaskan anak dari kekerasan, melainkan juga tentang membekali mereka dengan pengetahuan, keterampilan, dan nilai hidup yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi masalah dan tantangan yang akan semakin kompleks setiap harinya, dengan tetap mengedepankan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial (Fountain, 1999).
Anak-anak perlu berlatih memiliki empati yang mendalam, keberanian moral membela yang benar, kemampuan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, dan sikap hormat terhadap keberagaman (Navarro-Castro dan Nario-Galace, 2019). Semua itu tidak hadir secara alamiah, tetapi harus dilatih sejak dini dan hanya bisa tumbuh jika lingkungan di sekitar anak, terutama dari orang dewasanya, menghidupi dan mempraktikkan perdamaian secara konsisten.
Menghadirkan lingkungan seperti itu menjadi sangat krusial. Akan tetapi, hal tersebut tidak selalu mudah diwujudkan ketika informasi yang tak tersaring datang ke gawai pintar yang dipegang anak. Anak bisa mendapatkan informasi yang positif seperti cerita tentang merayakan keberagaman dan empati dari video di platform digital.
Namun, pada saat yang sama, informasi negatif seperti ujaran kebencian, kebohongan, dan ketidakadilan juga dapat mereka akses. Anak yang belum mampu berpikir dan mengambil keputusan bijak rentan terjerumus melakukan hal tidak baik. Apalagi jika orang dewasa terdekat dengan mereka abai melakukan pendampingan.
Sering kali ketika anak melakukan hal yang tidak semestinya, orang dewasa dengan segera menyalahkan mereka. Orang dewasa menimpakan tanggung jawab pada anak, padahal anak masih berada dalam tahap belajar dan kadang belum bisa membedakan mana yang pantas dilakukan dan sebaliknya. Anak diberi konsekuensi atau bahkan hukuman, sedangkan orang dewasa yang memberikan pengaruh tetap bebas dari tanggung jawab.
ORANG DEWASA SEBAGAI TELADAN
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat sekeliling mereka. Mereka meniru perkataan dan perilaku dari orang-orang dewasa yang mereka jumpai dalam hidup. Jadi, sebenarnya setiap orang dewasa, apa pun latar belakang dan profesinya, apakah ia orangtua, guru, tokoh agama, pejabat negara, selebritas, kreator konten, hingga masyarakat biasa, ialah guru kehidupan yang diam-diam sedang mengajar anak-anak kita.
Peran mendidik bukan hanya milik keluarga dan sekolah, melainkan juga tanggung jawab moral kolektif yang tersebar di seluruh ruang sosial tempat anak tumbuh. Sayangnya, kita sering tidak menyadari peran tersebut.
Di rumah, ketika orangtua secara rutin mengajak anak membersihkan rumah, mereka sebenarnya sedang berkontribusi membentuk individu yang cinta kebersihan.
Di sekolah, ketika guru menyemangati setiap siswa di kelas apa pun capaian prestasinya, dia sebenarnya sedang berkontribusi membentuk individu yang punya empati dan tidak membeda-bedakan. Di media sosial, ketika selebgram mengingatkan temannya tidak menggunakan kata-kata kotor, dia sebenarnya sedang berkontribusi membentuk individu yang mampu berkomunikasi dengan sopan.
Di dunia hukum, ketika hakim memberikan keputusan yang adil, dia sebenarnya sedang berkontribusi membentuk individu yang akan selalu bersikap adil. Sebaliknya dari pembelajaran baik yang sudah disebutkan, jika kita orang dewasa mempertontonkan keburukan, kejahatan, dan ketidakadilan, kita sebenarnya berkontribusi untuk membentuk individu bermasalah secara akhlak. Perlu kerja kolaborasi dari seluruh masyarakat untuk mampu menghadirkan pendidikan perdamaian (Harris dan Morrison, 2013).
Dalam konteks membentuk anak berakhlak mulia, yang nantinya akan membawa Indonesia ke kejayaan, itu bukanlah tanggung jawab orangtua dan guru di sekolah semata. Setiap orang dewasa di negara ini memiliki peran strategis. Orangtua sebagai pembimbing utama, guru di sekolah memperkuat penanaman nilai mulia, dan tokoh publik sebagai anutan perilaku. Peran itu juga diperkuat institusi media sebagai penyaring informasi dan negara sebagai penyedia sistem yang adil dan berpihak pada perlindungan anak. Semua pihak harus bergerak bersama untuk membentuk anak-anak Indonesia menjadi manusia berakhlak mulia.
BELAKANGAN ini, perdebatan seputar akses terhadap pendidikan kembali mencuat di ruang publik.
PENDIDIKAN dipercaya sebagai cara paling baik untuk memupuk dan mengembangkan pengetahuan demi kehidupan yang lebih baik.
THE principal’s role is not a career promotion from teaching, but a fundamentally different responsibility requiring leadership of the whole system (Michael Fullan, 2014).
PEMBELAJARAN abad ke-21 menuntut perubahan mendalam dalam dunia pendidikan.
DALAM beberapa tahun terakhir, konsep pembelajaran mendalam (PM) semakin mendapat perhatian dalam dunia pendidikan.
DI era digital yang serbacepat, gawai dan media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved