Headline

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia

Fokus

MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan

Bansos bukan untuk Judol

09/7/2025 05:00

TIDAK ada kata lain selain miris setelah mendengar paparan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dengan temuan penyimpangan penyaluran bantuan sosial (bansos). PPATK menemukan lebih dari 571 ribu penerima bansos juga aktif bermain judi online (judol).

Angka tersebut diperoleh setelah mencocokkan 28,4 juta nomor induk kependudukan (NIK) penerima bansos dan 9,7 juta NIK pemain judol. Hasilnya terdapat 571.410 NIK punya kesamaan identitas. Angka itu sama dengan 2% dari total penerima bansos tahun lalu. Mereka tercatat melakukan 7,5 juta transaksi judol dengan total deposit mencapai Rp957 miliar.

Temuan menyesakkan itu sejatinya semakin mengonfirmasi bahwa sengkarut penyaluran bansos menjadi problem yang tak pernah terselesaikan. Lagi-lagi, tentu saja ini menyangkut persoalan data penerima bansos yang dari tahun ke tahun selalu saja menjadi penghambat tujuan penyaluran bansos untuk memperkecil ketimpangan sosial dan mengurangi angka kemiskinan.

Pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang lambat dan tidak dilakukan berkala kerap disebut sebagai pemicu munculnya ketidaksesuaian antara data dan kondisi di lapangan ketika bansos disalurkan. Akibatnya banyak bantuan yang salah sasaran atau tidak benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan.

Kini, dengan adanya tambahan data temuan PPATK, semakin terlihatlah kesemrawutan sistem pendataan dan penyaluran bansos selama ini. Ini bukan lagi sekadar penyimpangan administratif, melainkan juga sudah termasuk penyalahgunaan bantuan negara untuk aktivitas ilegal. Triliunan rupiah uang negara yang digelontorkan ternyata sebagian justru dinikmati oleh para operator dan bandar judol.

Penerima bansos yang menyalahgunakan uangnya untuk bermain judol tentu saja salah. Mereka patut kena sanksi, minimal rekening mereka diblokir dan tidak boleh lagi menerima bansos. Itu juga sudah ditegaskan Menteri Sosial Saifullah Yusuf setelah menerima laporan PPATK.

Namun, sesungguhnya tanggung jawab terbesar ada pada pemerintah sebagai penyalur bantuan negara. Celah-celah pelanggaran atau penyalahgunaan seperti itu seharusnya dapat mereka deteksi lebih dini sehingga bisa disiapkan langkah-langkah antisipasi. Dengan segala perangkat dan aparat yang dimiliki, pemerintah mestinya mampu membuat sistem pemberian bantuan yang lebih prudent atau hati-hati.

Akan tetapi, faktanya tidak begitu. Kasus dan kisruh penyaluran bansos terus terjadi. Janji akan adanya evaluasi dan perbaikan yang selalu terlontar setiap kali muncul kisruh, sering kali berhenti sebagai wacana dan rencana. Kalaupun pemerintah mengeklaim sudah mengeksekusi janji itu, semua serbatanggung, tidak tuntas pada akar masalah. Temuan PPATK jelas menjadi bukti tak terbantahkan akan ketidaktuntasan itu.

Bertubi-tubi masalah yang terus melingkari program bansos tersebut semestinya membuat pemerintah mulai mempertimbangkan untuk mengubah pola, model, dan sistem penyaluran bantuan negara yang dimaksudkan sebagai bantalan sosial bagi masyarakat. Sungguh tidak arif bila pemerintah terus memaksa mempertahankan sistem yang tidak efektif.

Dalam perspektif ini kita menyambut baik komitmen Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar yang akan memperkenalkan paradigma penanggulangan kemiskinan dengan membangun ekosistem pemberdayaan dari hulu ke hilir. Dengan paradigma baru itu, pengentasan masyarakat dari kemiskinan tak lagi berfokus ke pemberian bansos, tapi pemberdayaan masyarakat secara langsung.

Namun, publik juga mesti mengawal betul komitmen itu, jangan lagi-lagi hanya menjadi pernyataan tanpa tindakan konkret. Jangan pula para politikus berbaju pejabat terkesan ingin meninggalkan bansos, tapi nanti ketika tahun pemilu sudah menjelang, semua komitmen itu lenyap. Bansos lagi-lagi menjadi pilihan karena, setidaknya belajar dari dua pemilu terakhir, politisasi bansos terbukti sangat mangkus sebagai barter elektoral.

 



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik