Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
TIDAK ada kata lain selain miris setelah mendengar paparan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dengan temuan penyimpangan penyaluran bantuan sosial (bansos). PPATK menemukan lebih dari 571 ribu penerima bansos juga aktif bermain judi online (judol).
Angka tersebut diperoleh setelah mencocokkan 28,4 juta nomor induk kependudukan (NIK) penerima bansos dan 9,7 juta NIK pemain judol. Hasilnya terdapat 571.410 NIK punya kesamaan identitas. Angka itu sama dengan 2% dari total penerima bansos tahun lalu. Mereka tercatat melakukan 7,5 juta transaksi judol dengan total deposit mencapai Rp957 miliar.
Temuan menyesakkan itu sejatinya semakin mengonfirmasi bahwa sengkarut penyaluran bansos menjadi problem yang tak pernah terselesaikan. Lagi-lagi, tentu saja ini menyangkut persoalan data penerima bansos yang dari tahun ke tahun selalu saja menjadi penghambat tujuan penyaluran bansos untuk memperkecil ketimpangan sosial dan mengurangi angka kemiskinan.
Pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang lambat dan tidak dilakukan berkala kerap disebut sebagai pemicu munculnya ketidaksesuaian antara data dan kondisi di lapangan ketika bansos disalurkan. Akibatnya banyak bantuan yang salah sasaran atau tidak benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan.
Kini, dengan adanya tambahan data temuan PPATK, semakin terlihatlah kesemrawutan sistem pendataan dan penyaluran bansos selama ini. Ini bukan lagi sekadar penyimpangan administratif, melainkan juga sudah termasuk penyalahgunaan bantuan negara untuk aktivitas ilegal. Triliunan rupiah uang negara yang digelontorkan ternyata sebagian justru dinikmati oleh para operator dan bandar judol.
Penerima bansos yang menyalahgunakan uangnya untuk bermain judol tentu saja salah. Mereka patut kena sanksi, minimal rekening mereka diblokir dan tidak boleh lagi menerima bansos. Itu juga sudah ditegaskan Menteri Sosial Saifullah Yusuf setelah menerima laporan PPATK.
Namun, sesungguhnya tanggung jawab terbesar ada pada pemerintah sebagai penyalur bantuan negara. Celah-celah pelanggaran atau penyalahgunaan seperti itu seharusnya dapat mereka deteksi lebih dini sehingga bisa disiapkan langkah-langkah antisipasi. Dengan segala perangkat dan aparat yang dimiliki, pemerintah mestinya mampu membuat sistem pemberian bantuan yang lebih prudent atau hati-hati.
Akan tetapi, faktanya tidak begitu. Kasus dan kisruh penyaluran bansos terus terjadi. Janji akan adanya evaluasi dan perbaikan yang selalu terlontar setiap kali muncul kisruh, sering kali berhenti sebagai wacana dan rencana. Kalaupun pemerintah mengeklaim sudah mengeksekusi janji itu, semua serbatanggung, tidak tuntas pada akar masalah. Temuan PPATK jelas menjadi bukti tak terbantahkan akan ketidaktuntasan itu.
Bertubi-tubi masalah yang terus melingkari program bansos tersebut semestinya membuat pemerintah mulai mempertimbangkan untuk mengubah pola, model, dan sistem penyaluran bantuan negara yang dimaksudkan sebagai bantalan sosial bagi masyarakat. Sungguh tidak arif bila pemerintah terus memaksa mempertahankan sistem yang tidak efektif.
Dalam perspektif ini kita menyambut baik komitmen Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar yang akan memperkenalkan paradigma penanggulangan kemiskinan dengan membangun ekosistem pemberdayaan dari hulu ke hilir. Dengan paradigma baru itu, pengentasan masyarakat dari kemiskinan tak lagi berfokus ke pemberian bansos, tapi pemberdayaan masyarakat secara langsung.
Namun, publik juga mesti mengawal betul komitmen itu, jangan lagi-lagi hanya menjadi pernyataan tanpa tindakan konkret. Jangan pula para politikus berbaju pejabat terkesan ingin meninggalkan bansos, tapi nanti ketika tahun pemilu sudah menjelang, semua komitmen itu lenyap. Bansos lagi-lagi menjadi pilihan karena, setidaknya belajar dari dua pemilu terakhir, politisasi bansos terbukti sangat mangkus sebagai barter elektoral.
KONFLIK lama Thailand-Kamboja yang kembali pecah sejak Kamis (24/7) tentu saja merupakan bahaya besar.
NEGERI ini memang penuh ironi. Di saat musim hujan, banjir selalu melanda dan tidak pernah tertangani dengan tuntas. Selepas banjir, muncul kemarau.
Berbagai unsur pemerintah pun sontak berusaha mengklarifikasi keterangan dari AS soal data itu.
EKS marinir TNI-AL yang kini jadi tentara bayaran Rusia, Satria Arta Kumbara, kembali membuat sensasi.
SEJAK dahulu, koperasi oleh Mohammad Hatta dicita-citakan menjadi soko guru perekonomian Indonesia.
MUSIBAH bisa datang kapan pun, menimpa siapa saja, tanpa pernah diduga.
MEGAPROYEK pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada awalnya adalah sebuah mimpi indah.
PROSES legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan lagi-lagi DPR dan pemerintah mengabaikan partisipasi publik.
DIBUKANYA keran bagi rumah sakit asing beroperasi di Indonesia laksana pedang bermata dua.
AKHIRNYA Indonesia berhasil menata kembali satu per satu tatanan perdagangan luar negerinya di tengah ketidakpastian global yang masih terjadi.
BARANG oplosan bukanlah fenomena baru di negeri ini. Beragam komoditas di pasaran sudah akrab dengan aksi culas itu.
DPR dan pemerintah bertekad untuk segera menuntaskan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Semangat yang baik, sebenarnya.
PERSAINGAN di antara para kepala daerah sebenarnya positif bagi Indonesia. Asal, persaingan itu berupa perlombaan menjadi yang terbaik bagi rakyat di daerah masing-masing.
DALAM dunia pendidikan di negeri ini, ada ungkapan yang telah tertanam berpuluh-puluh tahun dan tidak berubah hingga kini, yakni ganti menteri, ganti kebijakan, ganti kurikulum, ganti buku.
JULUKAN ‘permata dari timur Indonesia’ layak disematkan untuk Pulau Papua.
Indonesia perlu bersikap tegas, tapi bijaksana dalam merespons dengan tetap menjaga hubungan baik sambil memperkuat fondasi industri dan diversifikasi pasar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved