KORUPSI ialah kejahatan luar biasa. Karena itu, memberantasnya memerlukan langkah yang luar biasa dari hulu sampai hilir. Pemberantasan dari hulu bersifat pencegahan. Jangan sampai penyelenggara negara yang awalnya korupsi kecil-kecilan karena dibiarkan dan tidak ada yang mencegahnya akhirnya korupsi gede-gedean. Kombinasi niat dan kesempatan membuat penggarongan uang negara semakin paripurna.
Pencegahan korupsi melalui instrumen laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Instrumen itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2022 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Meskipun LHKPN hukumnya wajib bagi penyelenggara negara, masih banyak penyelenggara negara yang belum melaporkan kekayaan mereka. Kalaupun sang pejabat melaporkan kekayaan, datanya tidak sesuai dengan kenyataan alias penuh kepalsuan.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan tingkat kepatuhan LHKPN pada 2020 anggota legislatif paling rendah di antara pejabat lainnya walaupun tingkat kepatuhan LHKPN anggota legislatif itu berada di atas angka 90%.
Perkara LHKPN diduga palsu mencuat ketika anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Mario Dandy Satriyo, melakukan penganiayaan terhadap seorang remaja bernama Cristalino David Ozora. Tersangka Mario diketahui gemar memamerkan kemewahan di media sosial, seperti mengendarai Jeep Rubicon dan Harley Davidson. Rupanya sang ayah (pejabat pajak), Rafael Alun Trisambodo, tidak memasukkan kedua kendaraan mewah tersebut dalam LHKPN-nya.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ternyata telah mengirimkan laporan harta kekayaan Rafael ke KPK, Kejaksaan Agung, dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan pada 2021 setelah menemukan transaksi yang mencurigakan, tetapi ketiga lembaga tersebut tidak menggubrisnya. Barulah setelah kasus anak Rafael mencuat, laporan kekayaan mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan II itu bakal diperiksa KPK dan Itjen Kemenkeu.
Kunci sukses pemberantasan korupsi ditentukan kontribusi seluruh aparatur penegak hukum, termasuk inspektorat di seluruh kementerian dan lembaga. Laporan hasil analisis PPATK semestinya jangan dianggap angin lalu. Bayangkan jika tidak ada kasus Mario, pejabat pajak itu mungkin masih terus mengumpulkan pundi-pundi kekayaan yang tidak sesuai dengan profilnya sebagai pejabat eselon III. Jumlah total kekayaan Rafael dalam LHKPN sebesar Rp56 miliar.
KPK sebagai lembaga yang menangani LHKPN harus bersungguh-sungguh melakukan verifikasi. Bukan sekadar verifikasi administratif, melainkan juga verifikasi faktual bilamana mengetahui laporan kekayaan yang melenceng jauh dari profilnya sebagai penyelenggara negara.
Kita tentu masih ingat sejumlah pejabat kepolisian beberapa waktu lalu diketahui memiliki rekening jumbo, bahkan sebagian besar kekayaan mereka berasal dari hibah tanpa akta dari ‘Hamba Allah’. Namun, lembaga pemberantasan korupsi itu tidak menyentuhnya.
Kasus Rafael menjadi momentum pencegahan korupsi besar-besaran KPK dan aparat penegak hukum lainnya, terutama Itjen Kemenkeu yang memang pejabatnya bekerja di lahan yang ‘basah’. Saking basahnya, sejumlah pejabat pajak tenggelam dalam praktik rasuah. Jangan biarkan kewajiban melaporkan harta kekayaan sekadar basa-basi.