MEMIMPIN federasi sepak bola di negeri yang prestasinya kalah jauh jika dibandingkan dengan kontroversi dan kebobrokan pengelolaannya memang tidak mudah. Bahkan sangat sulit.
Yang dibutuhkan tidak cuma kapabilitas dan profesionalitas tinggi, tapi juga nyali besar untuk menggusur semua persoalan dan benalu yang terus menggelayuti persepakbolaan nasional.
Berkali-kali Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) berganti pemimpin, tapi prestasi sepak bola kita tak jua terungkit. Malah yang selalu muncul di setiap era kepemimpinan PSSI ialah permasalahan, baik yang sudah menahun maupun yang baru. Tentang karut-marutnya kompetisi, maraknya praktik pengaturan skor (match fixing), buruknya kualitas wasit, bentrokan antarsuporter dan banyak lainnya.
Semua itu pada akhirnya menciptakan skeptisme masyarakat. Skeptis terhadap persepakbolaan dalam negeri secara umum, pun skeptis terhadap sosok-sosok yang menjadi ketua dan jajaran pengurus PSSI. Publik yang sudah capai menunggu perubahan, nyaris selalu disuguhi kondisi yang status quo dan sengkarut tata kelola yang tak pernah becus. Nyaris tidak pernah ada perubahan, apalagi kemajuan.
Terpilihnya Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI pada Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI, kemarin, pun tak terhindar dari respons skeptis dari publik. Dalam pemilihan Ketua Umum PSSI itu, Erick mendapatkan 64 suara dari total 86 pemilik suara sah. Kandidat terdekatnya La Nyalla Mattalitti hanya mendapatkan 22 suara.
Berlatar skeptisme tadi, muncullah pertanyaan, mampukah Erick membenahi sepak bola Indonesia dengan sebenar-benarnya? Punya nyalikah dia membersihkan persepakbolaan nasional dari kotoran-kotoran yang selama ini seolah tak tersentuh?
Beranikah sang Menteri BUMN itu menjauhkan jarak antara posisinya sebagai Ketua Umum PSSI dan hasrat politik, khususnya untuk kepentingan Pemilu 2024?
Secara kapabilitas dan rekam jejak, mungkin kita tak perlu meragukan Erick Thohir. Sebagai anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC), ia tentu paham betul bagaimana menangani tata kelola organisasi olahraga. Sebagai mantan pemilik klub Liga Itali, Inter Milan, Erick sangat mengerti memperlakukan sepak bola sebagi sebuah industri. Ia juga tahu bagaimana permainan dan pelaku kotor dalam industri itu bekerja.
Karena itu, seperti yang juga dikatakan Erick Thohir dalam pernyataan pertamanya kepada wartawan setelah menjadi Ketua Umum PSSI, kemarin, yang paling dibutuhkan saat ini ialah nyali. Dia bilang tidak perlu teori untuk memperbaiki sepak bola Indonesia, tapi nyali.
Cocok. Artinya sudah ada kesepahaman di awal antara keinginan publik dan Erick. Tinggal kita tunggu pembuktian dari ucapan dan janji sang ketua umum yang baru.
Kita tahu saat ini PSSI punya sederet utang permasalahan yang belum terselesaikan, baik yang mesti ditanggapi cepat maupun untuk jangka panjang. Pembenahan liga pasca-Tragedi Kanjuruhan dan peningkatan prestasi tim nasional sepak bola ialah salah duanya. Ingat pula, Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada Mei 2023.
Anggaplah itu semua ujian awal bagi Erick. Jika betul ia punya nyali untuk melengkapi kualitas dan skill yang dia punya, bolehlah kita menepikan dulu skeptisme dan mulai menaruh harapan akan masa depan sepak bola Indonesia yang lebih baik. Namun, bila ternyata nyalinya ciut, tak perlu ragu kita lontarkan kritik seperti yang sudah-sudah. Buktikanlah Erick.