IHWAL pemberantasan korupsi di negeri ini selalu dilabeli sebagai pekerjaan luar biasa, tetapi hasilnya justru menunjukkan kemunduran. Lebih dari dua dekade sejak reformasi, tingkat korupsi di negeri ini seolah tidak beranjak dari masa kelam Orde Baru.
Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia terjun empat poin dari 38 pada tahun lalu, menjadi 34 pada tahun ini. Penurunan terburuk IPK Indonesia terjadi sejak masa reformasi. Bukan sesuatu yang membanggakan karena IPK merupakan rujukan penilaian tingkat korupsi di sebuah negara.
Dengan indikator itu, artinya praktik korupsi di negara kita masih begitu besar. Itu tentu menjadi pekerjaan rumah bersama bagaimana IPK bisa terus ditingkatkan. Padahal, rupa-rupa kebijakan pemberantasan korupsi sudah dibuat, baik itu di sisi pencegahan maupun penindakan.
Agenda reformasi birokrasi terus berlanjut, deregulasi aturan masif dilakukan. Begitu juga pembenahan sistem, seperti one stop service, pajak online, e-budgeting, dan e-purchasing, telah menjadi bagian integral birokrasi untuk mengurangi tindakan penyimpangan, penyelewengan, dan korupsi.
Langkah masif penindakan juga tidak pernah absen. Pada tahun lalu, banyak sekali pejabat yang berkuasa yang terkena operasi tangkap tangan (OTT). Tidak kurang dari 10 pejabat negara ditangkap tangan oleh KPK.
Namun, ternyata, berbagai upaya untuk memberantas kejahatan luar biasa tersebut tidak mampu membuat tingkat korupsi di Indonesia membaik. Serasa ada yang salah dalam penerapannya, seolah teori dan praktiknya tidak berkorelasi positif.
Transparency International yang mengeluarkan peringkat IPK tersebut menyoroti makin masifnya korupsi politik dan konflik kepentingan antara kebijakan dan iklim bisnis di negeri ini. Pejabat publik ikut menentukan bisnis, memiliki perusahaan, serta melindungi bisnis saudara dan kroni mereka.
Kondisi itu mengingatkan pada praktik korupsi di masa Orde Baru. Korupsi yang identik dengan praktik nepotisme. Persekongkolan korupsi politik penguasa bersama dengan keluarga dan kroni-kroni mereka. Salah satu prakondisi yang membuat meletusnya reformasi di negeri ini.
Sebuah kemunduran yang harus segera disikapi serius. Jangan sampai bangsa ini terus-menerus terjebak dalam kubangan korupsi tanpa mampu bangkit. Jika korupsi masih mengalir dalam setiap nadi kehidupan bangsa ini, niscaya Indonesia tidak akan beranjak menjadi negeri yang maju dan sejahtera.
Presiden Joko Widodo telah memanggil Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Ketua KPK Firli Bahuri, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, serta Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin guna membahas perihal anjloknya IPK Indonesia.
Dibutuhkan evaluasi total dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Reformasi metode dan pendekatan mutlak dilakukan. Jika pembenahan sistem masih terasa majal, pendekatan budaya juga menjadi keniscayaan.
Sikap antikorupsi harus membudaya di tengah masyarakat. Sebaik apa pun sistem, celah untuk mengakalinya selalu ada. Menanamkan nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan sama krusialnya dengan penindakan dan pembangunan sistem yang transparan demi membuat perilaku korupsi enyah dari bumi Nusantara.
Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan satu komitmen saja. Komitmen itu harus diterjemahkan ke strategi pengurangan korupsi yang komprehensif. Upaya pencegahan korupsi dapat dilakukan secara preventif, terdeteksi, dan memberikan efek jera.