PERGURUAN tinggi berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada saat bersamaan, ia menjadi lembaga persemaian kaum intelektual yang peduli dengan kemanusiaan.
Fakta memperlihatkan bahwa perguruan tinggi tidak selamanya tegak lurus menjaga muruah persemaian intelektual. Kampus mulai terjebak pada disorientasi keberpihakan dan mereduksi pemaknaan intelektualitas.
Kampus mulai disusupi radikalisme, menolak nilai-nilai pluralitas dan universalitas kemanusiaan. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar pada saat kuliah umum di Universitas Bung Karno, Jakarta, Selasa (24/5), mengklaim pihaknya memiliki data mengenai sejumlah kampus dan sivitas akademika yang terpapar radikalisme.
Klaim BNPT itu bukanlah isapan jempol. Pada Februari lalu, Densus 88 Antiteror menangkap seorang dosen terduga teroris di Bengkulu. Tentu saja itu bukan kasus pertama.
Kasus teranyar ialah seorang mahasiswa di Malang ditangkap Densus 88 Antiteror. Mahasiswa perguruan tinggi negeri itu ditangkap pada Senin (23/5). Mabes Polri menyebut sang mahasiswa terlibat dalam kegiatan pengumpulan dana untuk membantu kegiatan ISIS di Indonesia. Dia juga disebut mengelola media sosial untuk menyebarkan materi-materi ISIS mengenai terorisme.
Selain itu, menurut Mabes Polri, mahasiswa tersebut berkomunikasi intens dengan seseorang berinisial MR, tersangka perkara terorisme dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang ditangkap pada awal 2022 karena diduga terlibat dalam perencanaan serangan bom bunuh diri di fasilitas umum dan kantor-kantor polisi.
Jangan pernah lengah dan lelah menghadapi terorisme sebab aksi tersebut terus bermutasi, baik modus maupun pelakunya. Di Indonesia, aksi teror itu bahkan pernah melibatkan anak-anak dan perempuan dalam satu keluarga.
Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dikatakan demikian karena merupakan kejahatan atas pelanggaran kemanusiaan yang dampaknya begitu luas di masyarakat, seperti menyebabkan ketakutan, ancaman, ketidaknyamanan, ketidaktenteraman, penderitaan fisik, psikis, bahkan kematian.
Jaringan teroris terus berupaya melalui berbagai cara untuk melancarkan aksi, dari mengumpulkan dana lewat berbagai modus hingga melibatkan anak-anak, remaja, dan perempuan.
Mencegah terorisme tentu bukan semata tugas Densus 88 dan BNPT, tapi juga perlu melibatkan sejumlah instansi dan lembaga, termasuk sekolah dan perguruan tinggi. Di samping itu, masyarakat, sampai lingkungan terkecil di keluarga, perlu dilibatkan untuk mengantisipasi aksi terorisme ini.
Langkah tersebut penting karena pendidikan di dalam keluargalah yang jadi benteng utama untuk menghindarkan anggotanya dari pengaruh atau anasir-anasir kelompok radikal semacam ini. Di lingkup rukun tetangga/warga pun demikian, harus saling mengawasi, jangan sampai terpengaruh gerakan/aksi terorisme. Bila perlu, laporkan kepada pengurus RT/RW setempat jika ada yang berperilaku mencurigakan. Jangan main hakim sendiri. Bimbing jika memang mereka telah dianggap sesat.
Modus terorisme yang terus berkembang di Indonesia mengharuskan pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat terlibat aktif dalam upaya mencegah aksi kekerasan ini. Kepedulian kita kepada lingkungan sekitar amat penting untuk meminimalkan gerak jaringan ini.
Di lingkup sekolah dan perguruan tinggi, misalnya, perlu ditanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi kepada sesama agar siswa/mahasiswa tidak mudah terpengaruh paham-paham radikal yang mengajarkan cara-cara kekerasan dan intoleran. Kiranya, kita memang perlu menjadikan terorisme sebagai musuh bersama, musuh kemanusiaan. Harus tegas ditolak kampus sebagai persemaian terorisme.