KELANGKAAN minyak goreng yang terjadi sejak awal bulan lalu sudah tidak dapat dimaklumi. Terlebih, lonjakan harga merembet pula ke bahan pangan lainnya, termasuk daging, ayam, dan telur.
Namun, alih-alih tertangani, kita harus kembali dibuat geram dengan cara penanganan Kementerian Perdagangan. Jika sebelumnya Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi hanya bisa ikut heran atas kelangkaan minyak goreng, kini jajarannya justru melemparkan kesalahan kepada masyarakat.
Inspektur Jenderal Kemendag Didid Noordiatmoko pada kunjungan kerja di Palembang, Sabtu (5/3), mengatakan bahwa kelangkaan barang dan kenaikan harga merupakan akibat dari panic buying. Ia menilai banyak rumah tangga menstok minyak goreng melebihi kebutuhan.
Kesimpulan cupet itu hanya didasarkan pada telah digelontorkannya ratusan juta liter minyak goreng. Sebab itu, ia merasa semestinya kebutuhan masyarakat telah tercukupi, bahkan sangat berlebih. Ketika kondisi di lapangan tidak sesuai, ia tidak merasa perlu memikirkan faktor lain. Cukup rakyat disalahkan. Toh, selama ini rakyat itu tempat salah dan keliru, dianggap mudah panik.
Pernyataan demi pernyataan pejabat sejatinya tidak boleh membuat rakyat ikut sesat pikir. Tiba saatnya rakyat meluruskan syak wasangka pejabat terkait kelangkaan minyak goreng.
Sebab, justru hal yang sangat tidak logis ketika rakyat dianggap tidak memiliki kebutuhan mendesak lainnya hingga mampu menimbun minyak goreng. Apalagi, fakta-fakta lapangan telah menunjukkan permasalahan serius dalam distribusi.
Satgas Pangan di sejumlah daerah menemukan penimbunan besar-besaran. Contohnya, Polda Sumut pada pertengahan Februari menemukan penimbunan 1,1 juta kg minyak goreng di Deli Serdang. Belum lama ini Polda Sulteng juga menemukan penimbunan 53 ton minyak goreng di dua gudang di Kota Palu. Kemudian, Polda Kalsel membongkar penimbunan lebih dari 31 ribu liter. Belum ada temuan penimbunan minyak goreng di dapur rakyat.
Maka, menjadi pertanyaan besar mengapa para petinggi dan pucuk pimpinan Kemendag cuek akan temuan-temuan itu dan justru menyalahkan rakyat? Memang, bulan lalu Mendag pernah sesumbar akan memberi sanksi tegas kepada para distributor yang terbukti menimbun minyak goreng. Namun, hingga kini, sidak ke gudang-gudang distributor hanya terlihat gencar oleh Satgas Pangan dari kepolisian, atau bahkan anggota DPRD. Sementara itu, jajaran Kemendag hanya senang dengan kunjungan ke pasar-pasar dan mencecar para pedagang, yang sebenarnya hanya pasrah mengikuti harga dan suplai distributor.
Karena itu, kita sangat mendukung langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut mengusut permasalahan kelangkaan ini. Kemarin, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan pihaknya bertekad ikut memperbaiki tata niaga komoditas bahan pokok dengan mengusut kemungkinan tindak korupsi di sektor tersebut.
Langkah KPK bukan hanya penting untuk membuka kebobrokan tata niaga minyak goreng, tapi juga demi mencegah krisis berkepanjangan serupa pada komoditas penting lainnya. Saat ini pun harga daging, ayam, dan cabai telah terkerek naik. Belum lagi penyakit lama ketergantungan kedelai impor yang belum juga teratasi hingga membuat rakyat tercekik mahalnya harga segala kebutuhan pokok.
Berlarutnya permasalahan minyak goreng hanya memberi angin segar kepada para pengusaha nakal dan spekulan bahan pangan untuk terus bermain. Perbaikan tata niaga minyak goreng sesungguhnya ujian nyata kemampuan pemerintah karena komoditas ini menyangkut berbagai kebijakan, termasuk soal domestic market obligation (DMO) sampai celah penimbunan di pengusaha distribusi.
Jika permasalahan minyak goreng saja tidak kunjung teratasi, bagaimana mungkin tata niaga komoditas lain yang sangat bergantung pada impor dapat tertangani? Ketidakcakapan yang berlarut hanya membawa bangsa ini kian dalam dan juga kian banyak mengandalkan barang impor. Apalagi, Ramadan dan Idul Fitri sudah di depan mata. Kecupetan pejabat mencari solusi terkait pangan hanya menambah masalah, dan rakyat pula yang disalahkan.