Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
ADA paradoks yang sangat mengganggu akal sehat kita. Di dunia yang semakin menua dengan segala bentuk kemajuan teknologi dan modernitasnya, kejahatan seksual yang sebetulnya merupakan kejahatan paling primitif masih saja bisa tumbuh subur di dalamnya.
Kejahatan dan kekerasan seksual bahkan seperti menemukan jodoh baru ketika modernitas itu menawarkan teknologi komunikasi yang kian canggih, yang pada ujungnya makin memudahkan pelaku untuk menjerat korban. Di era digital, beragam modus baru kejahatan seksual terus bermunculan, berkelindan dengan modus-modus lama yang juga tetap bertahan.
Intinya bermuara pada satu kesimpulan bahwa predator seksual tak pernah habis, tak kenal zaman, malah makin bergentayangan. Banyaknya kasus kejahatan seksual yang terungkap belakangan ini mestinya menjadi keprihatinan kita bersama. Bahkan tidak cukup dengan prihatin karena sejatinya kita tidak tahu di balik angka kejahatan yang terekspos itu jangan-jangan masih banyak lagi kasus yang tidak terungkap.
Tanggung jawab untuk mengakhiri kekerasan seksual tidak hanya ada di tangan pemerintah (negara), tapi juga menjadi tanggung jawab individu maupun sosial. Namun, harus diakui, kehadiran negara dalam hal ini masih jauh dari cukup. Keseriusan negara memerangi kejahatan ini kalah jauh bila dibandingkan dengan kecepatan predator seksual 'bermutasi' diri. Predator bertumbuh cepat, negara masih saja bergerak lambat.
Contoh paling nyata kekurangseriusan itu ialah ruwetnya pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang terus terang saja membuat jengkel. Kasus kekerasan seksual nyata terpampang berkali-kali di depan mata, tapi regulasi yang memungkinkan negara ini mencegah semua itu terjadi justru tak kunjung diselesaikan.
Secara nalar hukum, apalagi dengan kondisi darurat kejahatan seksual seperti sekarang ini, Republik ini jelas membutuhkan undang-undang yang secara khusus mengatur penghapusan kekerasan seksual. Undang-undang itu akan menjadi dasar hukum yang kuat untuk mencegah dan menangani tindak kekerasan seksual, sekaligus melindungi korban.
Di satu sisi, predator seksual harus kita ganyang lewat mekanisme penindakan yang tegas dengan hukuman berat. Terkait hal itu, kita sesungguhnya punya senjata berupa Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Dengan adanya PP tersebut, maka pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap anak akan dikebiri kimia. Selain itu, pada pelaku yang sudah terbukti di pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap, juga akan dipasang alat pendeteksi elektronik. Nama-nama pelaku yang sudah terbukti secara hukum pun akan diumumkan ke khalayak ramai bahwa mereka sudah melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
Namun, di lain sisi, pencegahan harus lebih menjadi pilihan jika kita berangkat dari perspektif perlindungan terhadap korban. Pada poin inilah sejatinya UU TPKS menjadi sangat dibutuhkan. Undang-undang ini diharapkan mampu menjadi dasar bagi para penegak hukum untuk menangani kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual secara komprehensif.
Ada sejumlah aspek yang diatur dalam UU tersebut, antara lain terkait sanksi dan tindakan, hukum acara, hak-hak korban, pencegahan, rehabilitasi, dan pengawasan. Spirit dari aspek-aspek tersebut ialah pencegahan terhadap tindakan kekerasan seksual.
Jadi, wahai para pemangku jabatan di pemerintahan dan DPR, masih patutkah kita bermain-main dalam pembahasan regulasi pencegahan kejahatan seksual, sementara di tempat tak jauh dari kita, para predator seksual leluasa mengintai anak dan keluarga kita?
SINDIRAN bahwa negeri ini penyayang koruptor kian menemukan pembenaran. Pekik perang terhadap korupsi yang cuma basa-basi amat sulit diingkari.
PROYEK pembangunan ataupun pembenahan terkait dengan jalan seperti menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi.
MAHKAMAH Konstitusi kembali menghasilkan putusan progresif terkait dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved